Pinky, gadis rusuh dan ceplas-ceplos, tergila-gila pada Dev Jaycolin meski cintanya selalu ditolak. Suatu kejadian menghancurkan hati Pinky, membuatnya menyerah dan menjauh.
Tanpa disadari, Dev diam-diam menyukai Pinky, tapi rahasia kelam yang menghubungkan keluarga mereka menjadi penghalang. Pinky juga harus menghadapi perselingkuhan ayahnya dan anak dari hubungan gelap tersebut, membuat hubungannya dengan keluarga semakin rumit.
Akankah cinta mereka bertahan di tengah konflik keluarga dan rahasia yang belum terungkap? Cinta Gadis Rusuh & Konglomerat adalah kisah penuh emosi, perjuangan, dan cinta yang diuji oleh takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
"Jenny... apa yang kalian lakukan, bajingan...!" teriak Sania memecah keheningan. Suaranya menggema di ruangan sempit itu, penuh dengan kemarahan dan keputusasaan. Dengan langkah tergesa, ia menghampiri tubuh Jenny yang tergeletak di lantai dingin, tubuhnya penuh luka dan lebam.
Tangannya gemetar saat ia mengangkat wajah putrinya yang tak sadarkan diri. "Jenny... bangun... bangun!" ucapnya lirih, disertai tangis yang makin pecah. Ia memeluk Jenny erat, seakan ingin melindunginya dari sisa-sisa kekejaman yang baru saja terjadi.
Dua pria yang berdiri di sudut ruangan saling melirik, wajah mereka diliputi ketakutan. Mereka tahu, mereka telah melakukan kesalahan besar. Keringat dingin membasahi dahi mereka, tubuh mereka kaku, menunggu ledakan amarah Sania.
"Aku akan menuntut kalian! Kenapa kalian melakukan ini pada anakku?!" teriak Sania sambil bangkit. Matanya merah menyala, seperti api yang siap melahap siapa saja di hadapannya. Ia melangkah cepat ke arah mereka, tangan kanannya melayang dan menampar salah satu pria dengan keras.
Pria itu meringis, tapi tak berani melawan. "Kami... kami tidak tahu kalau mereka telah tertukar," ucapnya dengan suara gemetar, mencoba memberikan penjelasan yang terdengar semakin tak masuk akal bagi Sania.
"Tertukar? Kalian pikir itu alasan?!" Sania kembali menampar pria satunya, yang hanya bisa menunduk tanpa perlawanan. "Aku tidak akan membiarkan ini! Aku akan menahan kalian, dan aku tidak akan diam sampai kalian membayar apa yang telah kalian lakukan pada anakku!"
Tangisnya makin menjadi saat ia kembali ke sisi Jenny, memeriksa napas putrinya yang lemah. Dengan bantuan beberapa orang, Jenny segera dilarikan ke rumah sakit. Sania terus memegang tangan anaknya saat mereka mendorong ranjang beroda menuju ruang gawat darurat.
"Sania, bertahanlah... Mama di sini. Tolong jangan tinggalkan Mama..." bisiknya sambil menahan isak. Setiap langkah yang diambil menuju ruangan darurat terasa seperti menunggu vonis dari langit.
Beberapa menit kemudian, suara langkah berat terdengar dari ujung lorong. Mark, ayah Jenny, muncul dengan wajah tegang. Ia langsung menghampiri Sania yang berdiri di depan pintu ruang operasi. "Sania, apa yang terjadi? Bagaimana dengan Jenny?" tanyanya dengan suara serak.
Sania menatapnya dengan mata yang basah oleh air mata, namun dipenuhi kemarahan yang menyala-nyala. "Cari anakmu, Mark! Cari Pinky dan bawa dia ke hadapanku sekarang juga!" teriak Sania dengan nada tinggi.
Mark terdiam, kebingungan. "Sania, tenang dulu. Pinky memang keras kepala, tapi dia tidak akan melakukan sesuatu yang melampaui batas. Kau tahu itu," katanya, mencoba menenangkan situasi.
Namun, ucapan Mark justru menyulut emosi Sania lebih dalam. "Kau membelanya?! Kau tidak lihat kondisi Jenny?!" Suaranya meninggi lagi, tangannya mencengkeram kerah baju Mark. "Dia anakmu juga, Mark! Masa depannya hancur, dan kau masih membela Pinky?! Aku tidak peduli, cari dia sekarang!"
Mark menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meski kepalanya dipenuhi kekhawatiran. Ia menatap Sania, yang kini hanyalah seorang ibu yang hancur, kehilangan kontrol karena cinta dan keputusasaan.
---
Di sebuah kafe yang ramai namun tetap nyaman, Dev duduk bersama ibunya, Angelina. Wanita itu tampak anggun dalam balutan blazer krem, sementara Dev mengenakan kemeja santai yang dipadukan dengan jaket hitam. Secangkir kopi terhidang di depan mereka, mengepul lembut, menambah kehangatan suasana.
Angelina menyandarkan punggungnya, menatap putranya dengan senyum penuh kasih. "Dev, jarang sekali kita punya waktu untuk bersantai seperti ini. Kau selalu sibuk dengan urusanmu," ucapnya lembut, suaranya penuh perhatian.
Dev tersenyum kecil, menyesap kopinya sebelum menjawab. "Ma, aku akan selalu ada untuk Mama. Tenang saja. Hubungi aku kapan pun Mama butuh teman," katanya dengan nada menenangkan, matanya menatap ibunya dengan hangat.
Namun, suasana santai itu mendadak berubah saat seseorang memasuki kafe. Dev, yang kebetulan menoleh, segera menyadari siapa yang baru saja datang. Pinky. Gadis itu tampak percaya diri seperti biasanya, mengenakan kaos putih dilapisi jaket hitam dan celana jeans hitam.
Dev buru-buru mengangkat tangan kanannya, menutupi sebagian wajahnya dengan canggung. Matanya tetap mencuri pandang ke arah gadis itu, berharap Pinky tak menyadarinya.
Di sisi lain, Pinky tidak peduli pada sekitarnya. Matanya langsung tertuju pada seorang pria yang duduk di salah satu meja di sana. "Jos!" serunya sambil melangkah cepat menghampiri pria itu.
Jos, seorang pria dengan gaya santai namun menarik perhatian, tersenyum lebar. "Pinky, mari sini!" panggilnya sambil melambaikan tangan. Pinky menarik kursi dan duduk di sampingnya tanpa ragu. Dengan sikap akrab, ia berbisik sesuatu pada Jos, membuat mereka terlihat begitu dekat.
Dev mengamati pemandangan itu dari tempatnya duduk, wajahnya berubah masam. "Apakah dia selalu dekat dengan pria?" gumamnya pelan, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri. Matanya terus mengawasi Pinky, yang posisinya tepat di belakang Angelina.
Angelina mengangkat alis, mendengar gumaman putranya. "Dev, apa yang kamu bicarakan?" tanyanya sambil menatap Dev dengan rasa ingin tahu.
Dev tersentak, buru-buru mengalihkan pandangan. "Tidak ada!" jawabnya cepat, mencoba mengalihkan perhatian.
Angelina tersenyum tipis, mengaduk minuman di depannya dengan perlahan. "Kamu kenal dengan Jessie, kan? Dia akan berkencan denganmu," ucapnya santai, seolah itu hal yang biasa.
Dev menoleh dengan tatapan heran. "Berkencan? Sejak kapan aku setuju dengan rencana Mama?" tanyanya dengan nada protes.
Angelina menatap putranya dengan tegas namun lembut. "Setuju atau tidak, kau harus pergi. Mama sudah membuat perjanjian," jawabnya singkat, tak memberi ruang untuk bantahan.
Dev kembali mengalihkan pandangannya ke arah Pinky. Ia melihat gadis itu tertawa, bahkan merangkul Jos dengan sikap yang sangat akrab. Hatinya bergejolak.
"Dasar wanita tidak tahu malu, dekat dengan semua pria," gumam Dev dengan nada kesal, meski suaranya cukup pelan untuk tidak terdengar oleh Pinky.
Angelina mendengar gumaman itu dan salah paham. "Jessie bukan wanita seperti itu. Dia tidak dekat dengan siapa pun," katanya, mengira putranya sedang membicarakan Jessie.
"Hah? Bukan itu maksudku," ujar Dev sambil menatap ibunya dengan ekspresi bingung, seolah baru sadar.
Angelina meletakkan sendok di cangkirnya, menatap Dev dengan serius. "Dev, sebelum mengenalnya, jangan berburuk sangka dulu terhadap dia," ucapnya, menasihati dengan nada penuh pengertian.
Dev mengangguk pelan, meski pikirannya kembali ke arah Pinky. Matanya memperhatikan bagaimana gadis itu tertawa lepas, menciptakan suasana yang tampak begitu hangat bersama Jos.
"Jessie adalah wanita cantik yang berkelas. Kau sangat cocok dengannya," ujar Angelina lagi, mencoba mengalihkan perhatian Dev.
Namun, Dev bergumam pelan, matanya tak lepas dari Pinky. "Wanita ini pasti suka dekat dengan pria mana pun."
Angelina menatap putranya, merasa perlu meluruskan hal itu. "Dev, jangan salah paham. Jessie bukan wanita tipe seperti itu," ucapnya.
Dev menoleh, kembali bingung. "Apa? Apa yang Mama katakan tadi?" tanyanya, baru sadar ibunya berbicara.
Angelina mendesah, menatap putranya dengan sabar. "Dengarkan Mama, Dev. Kau harus mengenal seseorang lebih dalam sebelum menilai mereka," katanya tegas.
Dev mengangguk ragu, tapi matanya tetap terarah pada Pinky. Gadis itu masih asyik dengan dunianya sendiri, tanpa menyadari bahwa Dev memperhatikannya dengan penuh pikiran yang bertubrukan.
Sementara itu, Pinky dan Jos yang duduk bersebelahan Mereka tampak serius, meski sesekali senyum samar terselip di wajah mereka. Jos bersandar ke kursinya, menatap Pinky dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.
"Apa kau yakin?" tanya Jos dengan nada rendah, suaranya hampir tak terdengar di tengah keramaian kafe.
Pinky tersenyum tipis, mendekatkan tubuhnya ke arah Jos hingga jarak mereka begitu dekat. "Iya. Kalau ingin mencabut daun di pohon, maka harus cabut akar-akarnya juga. Dengan begitu, dia tidak akan tumbuh lagi," jawab Pinky, nada suaranya penuh keyakinan. Tatapannya tajam, namun senyumnya tetap terjaga, memberikan kesan misterius.
Dari kejauhan, Dev mengamati mereka dengan dahi berkerut. Matanya memperhatikan setiap gerak-gerik Pinky. Ia melihat bagaimana gadis itu tersenyum dan berbicara begitu dekat dengan Jos, membuatnya terlihat seperti pasangan yang saling jatuh cinta.
"Dasar wanita penggoda," gumam Dev, suaranya terdengar lirih namun penuh kekesalan.
Angelina yang duduk di hadapannya mengangkat alis. Ia menatap putranya dengan tatapan tajam. "Dev, jangan menuduh Jessie yang bukan-bukan," katanya dengan nada sedikit kesal.
Dev menghela napas panjang, menyadari ibunya salah paham. "Bukan itu, Ma," jelasnya buru-buru, mencoba meluruskan situasi.
Angelina menyilangkan tangan di depan dadanya, mengamati putranya yang tampak gelisah. "Kenapa kau selalu saja mencari alasan untuk menolak?" tanyanya tegas, menuntut jawaban.
Dev tersentak, menatap ibunya sejenak sebelum tersenyum kecil. "Aku tidak menolak. Aku akan menemuinya, Ma. Jangan marah," ujarnya dengan nada menenangkan.
Angelina memandangnya curiga, seakan tidak percaya begitu saja. "Apakah benar?" tanyanya, menekankan setiap kata.
Namun, Dev kembali kehilangan fokus. Matanya kembali tertuju pada Pinky, yang kini tertawa kecil sambil berbicara dengan Jos. Tatapannya penuh rasa kesal. "Lain kali kalau dia datang lagi, aku akan menendangnya," gumamnya tanpa sadar.
Angelina mendengar gumaman itu dan langsung bereaksi. "Menendang siapa? Jangan menyinggung Jessie. Mungkin saja dia adalah calonmu," ucap Angelina dengan nada sedikit kesal, merasa putranya terlalu keras kepala.
Dev langsung menggeleng, bingung bagaimana menjelaskan maksudnya. "Ma, bukan itu maksudku!" ujarnya sambil menatap ibunya dengan ekspresi frustasi.
Angelina mendesah panjang, menyeruput kopinya dengan perlahan. "Dev, kau ini benar-benar membingungkan. Dengar, Jessie adalah gadis baik. Kau seharusnya lebih terbuka," katanya sambil menggeleng pelan.
"Ada apa denganku, Kenapa aku tiba-tiba kesal," gumam Dev