Blurb :
Sebuah pernikahan yang hanya di dasari oleh cinta dari salah satu pihak, akankah berjalan mulus??
Jantung Arimbi seakan runtuh ketika pria itu mengatakan 'kita akan tidur terpisah'
Akankah ketulusan Arimbi pada putri semata wayang mampu membuat Bima, seorang TNI AU berpangkat Sersan Mayor membalas cintanya?
______
Arimbi terkejut ketika sosok KH Arifin, datang ke rumahnya bersama Pak Rio dan Bu Rio.
Yang lebih mengagetkannya, kedatangan mereka bertujuan untuk melamar dirinya menjadi istri dari putranya bernama Bima Sena Anggara, pria duda beranak satu.
Sosoknya yang menjadi idaman semenjak menempuh pendidikan di pondok pesantren milik Abi Arifin, membuat Arimbi berjingkrak dengan perjodohan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ 14 ~
Waktu sudah menunjukkan pukul 6:30 WIB. Lala sudah di pindahkan ke ruang rawat inap berkelas beberapa menit lalu.
Karena aku dan mas Bima adalah seorang ASN, kami di fasilitasi jaminan kesehatan oleh pemerintah untuk satu keluarga.
Tanpa sepengetahuan mas Bima, diam-diam aku sudah menghubungi pihak kantorku untuk meminta ijin tidak masuk kerja hari ini. Aku ingin menemani putriku yang memang sangat membutuhkanku di saat sakit begini.
Saat aku dan Lala sedang asyik bercanda, terdengar decitan pintu yang persekian detik membuat kami memusatkan pandangan ke arah sumber suara. Mas Bima muncul dari balik pintu dengan membawa totebag berisi makanan yang ia beli di restauran fastfood dekat rumah sakit.
Pria itu langsung berjalan menuju sofa dan meletakkan barang bawaannya di atas meja.
"Ayah bawa apa, bun?" tanya Lala penasaran.
"Bawa makanan, La"
"Ayah beli?" tanyanya lagi.
"Iya sayang"
Ku lihat mas Bima berjalan ke arah kamar mandi.
"Bunda bantu ayah sarapan dulu ya"
"Lala mau juga"
"Okay, nanti bunda ambilkan tapi setelah bunda bantu ayah"
Lala lantas mengangguk.
Sementara aku tersenyum sambil mengusap pipinya.
"Sebentar ya sayang"
"Iya bunda"
Berjalan beberapa langkah, aku langsung duduk di sofa membuka lalu mengeluarkan satu persatu isi dari totebag yang bertuliskan nama restauran cepat saji.
Selain sarapan, mas Bima juga membeli buah dan beberapa camilan untuk Lala.
Aku menyiapkan makannan untuk mas Bima terlebih dulu.
Ekor mataku melirik mas Bima yang baru saja keluar dari kamar mandi lalu berjalan ke arahku. Sementara jantungku, mulai berontak dengan kurang ajarnya.
"Ayah beli apa?" tanya Lala, saat mas Bima baru saja duduk di sofa.
"Ayah beli macam-macam, Thalia mau?"
"Mau, tapi kata bunda suruh tunggu sebentar aja, bunda mau bantu ayah nyiapin buat ayah dulu" Cuitan Lala membuat mas Bima langsung melirikku sekilas.
"Kamu siapin buat Thalia, ini biar aku lanjutin sendiri"
"Iya" jawabku tak berani membantah. Lagipula hanya tinggal menyiapkan air minum, mas Bima pasti bisa sendiri.
Selagi mas Bima menikmati sarapannya, aku menyiapkan untuk Lala.
Aku bawakan chicken muffin untuknya.
Ayahnya sangat tahu apa saja yang di sukai putrinya, dan apa yang tidak di sukainya. Termasuk makanan fastfood satu ini.
"Wow burger?" celetuk Lala dengan raut berbinar.
"Special for my beautifull daughters"
"Lala suka bun"
"Okay, Lala bisa habisin semuanya" Aku meletakkan burger yang ku bawa di atas nakas samping bed.
"Bunda cuci tangan dulu, sayang"
"Eung"
Tak perlu ke kamar mandi, karena di salah satu sudut ruangan ada westafle khusus untuk cuci tangan.
Tak kurang dari satu menit, aku sudah duduk di samping ranjang Lala.
Di susul oleh Lala yang juga bangkit untuk duduk, namun tiba-tiba.
"Kepala Lala sakit bun"
"Loh sakit?"
"Iya"
"Lala bobo aja, bunda suapinnya sambil Lala rebahan"
Satu suapan, dua suapan berhasil masuk ke mulut Lala, di suapan ke tiga, Lala mendadak memuntahkannya dan itu membuatku sedikit panik.
"Minum dulu nak" Ku arahkan sedotan ke mulut Lala.
"Udah bun" Ucapnya setelah menyesap air bening.
"Maem lagi ya"
"Nggak mau"
"Kenapa?"
"Burgernya nggak enak"
Aku mengerti, bukan burgernya yang tidak enak, tapi kondisi Lala yang memang sedang tidak baik-baik saja.
"Apa perut Lala sakit?" tanyaku khawatir.
Anak itu menggeleng.
"Mau di suapin ayah?" Mas Bima yang sudah menyelesaikan sarapannya, tiba-tiba melangkah mendekat.
"Nggak mau"
Ketika aku hendak bangkit untuk memberikan tempat duduk pada mas Bima, dengan cepat Lala mencegahku.
"Bunda sini aja!"
"Thalia sama ayah dulu, biarkan bunda sarapan" Mendengar ucapan sang ayah, tatapan Lala beralih fokus ke arahku.
Aku tersenyum menanggapinya.
"Bunda nggak kemana-mana kok, nak. Bunda duduk di sofa, Lala di temani ayah dulu ya"
Lala mengangguk.
Anggukan yang ku rasa begitu berat.
****
Tepat setelah aku menyelesaikan sarapanku, mami muncul dari arah pintu setelah sebelumnya mengetuknya.
"Assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikumsalam"
"Maaf mami terlambat"
Langkah mami buru-buru menghampiri sang cucu.
"Ada apa dengan cucu oma, tadi malam baik-baik saja, kenapa sekarang demam begini, hmm?"
"Demam sedikit kok oma"
"Oh, cucu oma!" Mami mengecup kening Lala.
"Kalian berangkat kerja aja, biar Lala, mami yang temani"
Aku yang sudah berdiri di samping mas bima, bisa melihat dengan jelas raut cemas di wajah mami.
"Mas pulang saja, aku sudah ijin nggak kerja hari ini"
"Lah, kok ijin?" mas Bima mengernyit.
"Nggak apa-apa, mas. Aku nggak mungkin ninggalin Lala"
"Tapi pekerjaanmu penting, Bi" kata Mami.
"Nggak ada yang lebih penting dari Lala, mih"
"Bunda mau kerja?" Lala ikut nimbrung.
Sepasang netraku langsung menatapnya.
"Enggak sayang, bunda temani Lala disini biar Lala cepat sembuh"
"Makasih, bunda. Lala sayang bunda"
"Kamu mau di bawain apa? nanti aku mampir lagi ke sini"
Rumah sakit dan Lanud memang satu arah. Sebelum Lanud, akan melewati rumah sakit ini terlebih dulu.
Aku memberikan secarik kertas yang sudah ku tulis apa yang harus mas Bima bawa kemari. Aku menulisnya sesaat setelah sarapan tadi.
"Bawain semua yang sudah ku catat di kertas ini, mas"
Mas Bima menerimanya dengan raut heran, kemudian matanya fokus menatap kertas pemberianku dan sepertinya dia tengah membacanya dalam hati.
"Semua ada di kamar, dan kamar mandi"
Aku memang sengaja menuliskan beberapa barang, termasuk pakaian dalam.
Aku menepikan rasa maluku, biarlah ku beri dia tugas untuk menemukan barang-barangku yang ku letakkan di kamar dan skincare di kamar mandi.
Usai mas Bima berpamitan pada Lala, aku mengecup punggung tangannya, sama seperti yang Lala lakukan barusan. Hal yang sama juga mas Bima lakukan pada punggung tangan mami.
"Ayah kerja dulu ya, Thalia jangan nakal, nanti pulang kerja ayah temani Lala lagi"
"Hati-hati ayah"
"Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumsalam"
"Hati-hati, mas"
"Hmm"
Pria itu benar-benar keterlaluan. Dia selalu menjawab 'Hmm' setiap kali aku mengingatkannya untuk berhati-hati._____
Beberapa jam berlalu, dokter sudah memeriksa Lala dan katanya, kondisi Lala tidak begitu parah. Dia hanya kekurangan jam tidur dan mungkin perdebatanku dengan mas Bima tadi malam, juga menjadi pemicu demam tingginya Lala.
Saat ini, anak itu tengah tertidur dengan pulasnya.
"Mih"
"Iya, Bi"
Aku duduk di single sofa, memfokuskan pandangan pada tangan mami yang tengah mengupas sunkist.
"Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan mih"
"Soal apa, Bi?"
Sempat ragu hingga beberapa detik, akhirnya aku memberanikah diri untuk bertanya.
"Apa mami dan mas Bima membuat perjanjian sebelum mas Bima menikahiku?"
Tangan mami berhenti mengupas jeruk, lalu menoleh untuk mempertemukan netra kami.
Bersambung
Semangat berkarya