Anggista Anggraini, yang lebih akrab di sapa dengan nama Gista, mencoba menghubungi sahabatnya Renata Setiawan untuk meminjam uang ketika rentenir datang ke rumahnya. Menagih hutang sang ayah sebesar 150 juta rupiah. Namun, ketika ia mengetahui sahabatnya sedang ada masalah rumah tangga, Gista mengurungkan niatnya. Ia terpaksa menemui sang atasan, Dirgantara Wijaya sebagai pilihan terakhirnya. Tidak ada pilihan lain. Gadis berusia 22 tahun itu pun terjebak dengan pria berstatus duda yang merupakan adik ipar dari sahabatnya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Kamu Sugar Baby Saya.
“Saya sudah mengirim uang ke nomor rekening kamu, Anggista. Kenapa kamu masih menggunakan jubah mandi itu?” Tanya Dirga sembari menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa.
“Ah itu.” Gista memberanikan diri untuk duduk di ujung sofa. Sepertinya ia harus bertanya dengan serius pada pria itu.
“Kenapa pak Dirga mengirim uang?” Tanya Gista kemudian. Ia menyilangkang kedua tangan di dada, guna mencegah jubah mandinya kembali terbuka.
“Bukannya saya sudah mengirim pesan? Itu untuk uang jajan kamu.” Ucap Dirga yang kemudian menumpangkan kaki kanan di atas lutut kirinya.
Kepala Gista menggeleng pelan. “Itu tidak perlu, pak. Hutang saya sudah cukup banyak pada bapak. Saya takut nanti tidak sanggup membayarnya.”
Dirga menyeringai. Kemudian menatap lawan bicaranya dengan lekat. “Itu tidak termasuk ke dalam hutang. Tetapi uang saku kamu sebagai simpanan saya.”
Gadis itu menelan ludahnya kasar. Ia kira Dirga tidak serius dengan yang diucapkan pagi tadi.
“J-jadi pak Dirga serius menjadikan saya simpanan?” Tanyanya dengan polos.
“Lalu kamu pikir saya bercanda?”
Kepala Gista mengangguk pelan.
“Setelah kamu menipu saya, kamu kira saya akan melepaskan kamu? Tidak, Anggista. Saya akan menghukum kamu sampai saya puas.” Ucap Dirga dengan tegas.
Gista seketika bergidik mendengar ucapan pria itu.
Dirga kemudian bangkit, mendekat ke arah Gista. Lalu mencengkeram kedua pipi gadis itu dengan satu tangannya.
“Saya harap kamu mengingat apa yang sudah saya katakan pagi tadi.”
Gista menganggukkan kepalanya. Ia merasakan sedikit nyeri pada pipinya.
“Bagus. Sekarang, pergi bersihkan diri kamu. Setelah itu, keluar beli segala kebutuhan kamu.” Pria itu lantas melepaskan pipi Gista. Lalu mengusapnya dengan lembut.
“A-apa saya boleh pulang untuk mengambil keperluan kuliah saya?” Tanya Gista hati-hati.
“Hmm. Ambilah. Setelah itu, cepat kembali ke tempat ini.”
“Tapi saya harus bekerja ke kafe, pak.” Jawab Gista dengan cepat.
Dirga terkekeh pelan. “Lihat jam itu, Anggista.” Ia menatap ke arah petunjuk waktu yang menempel di dinding tepat di atas televisi.
Gista pun ikut melihat ke arah sana. “Astaga. Aku terlambat.” Ucapnya melihat sudah pukul setengah tujuh malam.
“Sudah sangat terlambat. Lebih baik sekarang kamu bersiap dan cepat pergi.” Perintah Dirga.
“Biar saya yang mengurus absensi kamu di kafe.” Ucap pria itu lagi ketika Gista hendak membuka mulutnya.
Gista pun menurut. Ia bergegas membersihkan diri. Kemudian memakai pakaian kemarin yang telah kering. Tepat pukul tujuh malam, gadis itu pun keluar dari apartemen Dirga.
Rumah kontrakannya terlihat sepi dan gelap. Motor bapak pun tidak ada terparkir di halaman. Gista menghela nafas kasar. Entah kemana perginya sang ayah saat ini?
Semoga saja bapak tidak kembali terjerat masalah.
Gista kemudian bergegas mengambil barang yang ia butuhkan. Beberapa pasang pakaian formal untuk kuliah dan yang sering ia gunakan sehari-hari. Gadis itu tidak lupa membawa laptop dan buku-buku kuliahnya.
Satu koper berukuran kecil dan sebuah ransel cukup menampung barang-barang Gista. Gadis itu kemudian memesan taksi online. Sembari menunggu, ia pun mengamati ruangan rumah kontrakannya.
Entah kapan Gista akan kembali ke tempat ini lagi? Rumah penuh kenangan dirinya bersama sang bapak.
Apakah gadis itu tidak mengingat ibunya? Jawabannya, tentu ingat. Namun ia tidak ingin mengenang wanita yang telah melahirkannya itu.
Sang ibu saat ini sudah berbahagia dengan pilihan hidupnya sendiri.
\~\~\~
Pukul delapan lewat lima belas menit, Gista sudah tiba kembali di apartemen Dirga. Gadis itu pun membawa barang-barangnya ke dalam kamar di lantai satu apartemen itu.
Ruangan itu memang tidak seluas kamar yang di tempati oleh Dirga. Namun sudah cukup nyaman untuk di tempati. Ada tempat tidur berukuran besar. Sebuah lemari pakaian, dan kamar mandi.
Gista menyusun pakaiannya di dalam lemari. Kemudian beralih meletakan peralatan kuliahnya di atas meja di sudut ruangan.
“Kamu tidak membeli pakaian baru?” Tiba-tiba terdengar suara Dirga yang membuat Gista terlonjak.
“P-pak Dirga. Anda masih di rumah?” Tanya gadis itu.
Saking terburu-buru karena takut ada orang yang melihatnya turun di basemen, Gista tidak menyadari jika mobil Dirga masih berada di tempatnya.
“Menurut kamu?” Pria yang tadinya bersandar di ambang pintu, perlahan masuk. Lalu menutup papan persegi panjang itu dengan kakinya.
Gista melenan ludahnya dengan kasar, ketika pria dewasa itu berjalan ke arahnya.
“Apa pak Dirga tidak pergi ke kafe?” Tanya Gista berbasa-basi sembari menormalkan detak jantungnya.
“Apa saya perlu menjawab pertanyaan kamu?” Pria itu melontarkan pertanyaan yang di akhiri dengan seringai tipis.
Gista perlahan mundur, karena Dirga semakin mendekat.
“Aw.” Gadis itu meringis ketika kakinya membentur kursi.
“Kamu mau mencoba untuk menghindari saya?” Tanya Dirga yang dengan cepat menarik pinggang Gista agar merapat pada tubuhnya.
Kedua tangan Gista seketika berada di depan dada. Menjadi penghalang tubuh mereka.
“T-tidak, pak.” Jawab gadis itu terbata.
“Lalu kenapa kamu mundur?”
Gista memalingkan wajah saat Dirga menatapnya dengan lekat. Gadis itu belum terbiasa.
“Saya belum terbiasa, pak.” Jawabnya jujur.
Dirga terkekeh pelan. Tangan kiri pria itu terulur untuk merapikan anak rambut yang menutupi dahi Gista.
“Biasakan diri kamu, Anggista. Ingat kesepakatan kita. Di dalam apartemen ini, ada hubungan saling menguntungkan yang kita jalani. Kamu melayani saya. Dan saya akan memenuhi segala kebutuhan hidup kamu.” Suara pria itu terdengar berat dan berwibawa.
Jika tidak mengingat tentang status sosialnya, mungkin Gista dengan lancang jatuh cinta pada adik ipar sahabatnya itu. Namun ia masih sadar diri.
“Pak Dirga tidak perlu mengirim uang lagi. Saya masih bisa jajan dengan gaji dari kafe.” Gista tidak mau berhutang terlalu banyak pada Dirga.
Ia tidak ingin terjebak terlalu lama dengan pria itu.
“Saya tidak menghitung itu sebagai hutang, Anggista. Hutang kamu hanya seratus lima puluh juta itu saja. Karena kamu menggunakannya untuk orang lain. Dan yang saya transfer mulai hari ini, itu adalah hak kamu. Karena sudah memberikan kepuasan untuk saya.” Setelah mengatakan hal itu, Dirga kemudian mengangkat tubuh Gista, lalu melemparnya dengan pelan di atas ranjang.
Gista mencerna ucapan panjang pria dewasa itu. Apa itu berarti dirinya adalah sugar baby nya Dirga?
Tanpa ia sadari pria itu sudah mengukung tubuhnya.
“Pak, apa itu artinya saya—
“Iya. Kamu sugar baby saya, Anggista. Apa kamu tidak mengerti juga?”
Dirga selalu saja bisa membaca apa yang ada dalam pikiran Gista. Yang membuat gadis itu bertanya-tanya. Apa mungkin Dirga seorang cenayang?
“Kamu itu terlalu polos. Karena itu saya tau apa yang kamu pikirkan.” Bisik pria itu tepat di telinga Gista.
“P-pak—Mmhh.”
“Kamu sudah menipu saya, Anggista. Maka terima akibatnya.” Dirga menggigit pelan rahang gadis itu agar tidak meninggalkan jejak.
Ia kemudian setengah bangkit, melepaskan kemeja yang digunakannya.
“Saya sudah lama tidak berhubungan badan. Dan kamu dengan beraninya menipu saya, Anggista.” Geram pria itu dengan suara berat.
“Mmh-maafkan saya— pak Dirghh.”
...****************...