Di bawah cahaya bulan, istana di lembah tersembunyi menjadi saksi kelahiran seorang bayi istimewa. Erydan dan Lyanna, pengemban Segel Cahaya, menyambut putri mereka dengan perasaan haru dan cemas.
"Dia adalah harapan terakhir kita," ujar Erydan, matanya menatap tanda bercahaya di punggung kecil bayi itu.
Lyanna menggenggam tangannya. "Tapi dia masih bayi. Bagaimana jika dunia ini terlalu berat untuknya?"
Erydan menjawab lirih, "Kita akan melindunginya."
Namun di kejauhan, dalam bayang-bayang malam, sesuatu yang gelap telah bangkit, siap mengincar pewaris Segel Cahaya: Elarya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon monoxs TM7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20: Pengkhianatan dalam Kegelapan
Keheningan yang tercipta setelah sosok berjubah hitam itu menghilang dalam ledakan cahaya terasa begitu tegang. Elarya dan Kael berdiri saling berhadapan, tubuh mereka masih gemetar, berusaha menenangkan napas yang terengah-engah. Cahaya yang memancar dari tubuh Elarya kini mulai meredup, namun ada perasaan aneh yang mengalir dalam dirinya—sebuah perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Sesuatu yang lebih kuat dan lebih mengganggu.
Kael menatap Elarya dengan penuh perhatian, menyentuh pipinya dengan lembut. “Kau baik-baik saja?” tanyanya, masih dengan sedikit kecemasan. Namun matanya tak bisa menyembunyikan kelegaan yang begitu besar, setelah melihat Elarya mampu bertahan.
Elarya mengangguk, meskipun matanya masih dipenuhi kebingungan dan kegelisahan. “Aku... aku rasa aku baik-baik saja, Kael. Tapi ada yang salah. Kekuatan ini, cahaya ini, terasa berbeda.”
Kael mengerutkan kening, mencoba merasakan aura yang mengelilingi Elarya. “Kekuatanmu memang lebih kuat dari sebelumnya. Tapi mungkin itu karena kamu baru saja menghadapinya secara langsung. Kau terlalu banyak mengorbankan dirimu tadi.”
Namun, meskipun Kael mencoba meyakinkannya, Elarya tak bisa mengabaikan perasaan gelisah yang merasuki dirinya. Cahaya yang pernah terasa seperti bagian dari dirinya kini terasa semakin asing. Seperti ada sesuatu yang telah berubah dalam dirinya. Sesuatu yang lebih gelap, lebih berbahaya.
Tanpa peringatan, suara berat dan bergema kembali terdengar di udara. “Kalian pikir kalian telah menang?” Suara itu memancar dari segala arah, begitu familiar, namun tak teridentifikasi. “Kalian baru saja melawan bagian dari permainan yang lebih besar. Segel cahaya itu milik kami, dan kalian tidak bisa menghentikan takdir.”
Elarya terlonjak, matanya membelalak saat ia menyadari bahwa suara itu berasal dari dalam dirinya sendiri. Kekuatan itu, segel yang selama ini mengalir dalam dirinya, seolah-olah berbicara kembali. Ia merasakan sesuatu yang mengerikan, seolah segel itu... berontak.
“Apa maksudmu?” Elarya berteriak, mencoba memerintahkan dirinya sendiri untuk tetap tenang, namun suaranya dipenuhi ketegangan. “Kau—kau tidak bisa mengendalikan aku!”
“Ah, tapi kau salah, Elarya,” suara itu berlanjut, kini terdengar lebih dekat, lebih mengancam. “Segel cahaya itu bukan hanya milikmu. Kekuatan itu... kami yang memberi kekuatan itu padamu. Dan kini, saat segel itu terbuka, kami akan mengambilnya kembali.”
Kael menatap Elarya dengan cemas, tidak mengerti apa yang terjadi. “Elarya, kau dengar itu? Apa yang sedang terjadi?”
Elarya merasa perutnya tercekik, cemas dan bingung. “Kael, ini tidak hanya tentang kita melawan mereka. Ada sesuatu yang lebih besar... sesuatu yang lebih dalam yang terjadi dalam diriku.”
Namun sebelum mereka bisa memahami lebih lanjut, angin yang tiba-tiba datang semakin kencang, berputar-putar di sekitar mereka. Suasana yang tadinya terasa tenang kini berubah menjadi kekacauan. Cahaya dari tubuh Elarya berkedip-kedip, semakin lemah, seakan berusaha menahan sesuatu yang berbahaya di dalam dirinya.
Tiba-tiba, dari dalam bayang-bayang, muncul sebuah sosok yang mengenakan jubah putih. Wajahnya tertutup, hanya matanya yang tampak tajam, penuh dengan kesan yang tidak bisa diungkapkan. Sosok itu berdiri di hadapan mereka, seolah menunggu Elarya untuk berbicara.
"Siapa kamu?" Kael bersiap, pedangnya terhunus, melindungi Elarya di sampingnya. "Apa yang kalian inginkan?"
Sosok itu tidak segera menjawab. Hanya ada kesunyian yang menegangkan, sebelum akhirnya suara yang dalam dan berat keluar dari mulutnya, dengan nada penuh perhitungan.
“Kael, kamu tidak tahu siapa yang sebenarnya mengendalikan segel cahaya itu. Kamu tidak tahu siapa yang sebenarnya mengendalikannya selama ini.”
Elarya merasakan kegelapan yang semakin kuat menguasai tubuhnya, seolah ada tangan tak terlihat yang meremas jantungnya. “Apa yang... apa yang kamu katakan?” suaranya terhenti, tubuhnya terhuyung.
Sosok itu mengangkat tangannya, dan dalam sekejap, sebuah gambar tampak di udara. Sebuah gambaran yang menunjukkan seorang wanita muda yang tampak sangat mirip dengan Elarya—namun dengan aura yang jauh lebih gelap. "Ini adalah penguasamu yang sebenarnya. Dia yang mengendalikan segel cahaya, bahkan sebelum kau dilahirkan. Kekuatan yang ada pada dirimu berasal darinya."
Kael melangkah maju, matanya tajam, penuh kebingungan dan amarah. “Apa maksudmu? Apa yang terjadi pada Elarya?”
Sosok itu menatap Kael, lalu menoleh pada Elarya, matanya yang tersembunyi penuh dengan keangkuhan. “Kamu hanya bagian dari takdir yang lebih besar, Elarya. Kekuatanmu telah lama ditentukan. Dan kamu... akan menyadari semuanya, saat waktunya tiba.”
Elarya merasa tubuhnya terhimpit oleh kata-kata itu. Segel cahaya dalam dirinya yang selama ini dianggap sebagai kekuatan pelindung ternyata adalah bagian dari permainan yang jauh lebih jahat. Dan sosok yang kini berdiri di hadapan mereka hanya akan menjadi awal dari sebuah kebenaran yang sangat menyakitkan.
"Tidak!" Elarya berteriak, merasakan amarah yang membakar dari dalam dirinya. "Aku tidak akan membiarkan diriku dikendalikan!"
Namun, saat ia berteriak, sosok itu tersenyum tipis. “Kau akan melakukannya, Elarya. Karena segel itu bukan milikmu. Itu adalah milik kami—dan saat waktunya tiba, kau akan tahu apa yang sebenarnya harus kau lakukan.”
Kael memegang lengan Elarya dengan erat. "Kita harus pergi sekarang, Elarya. Kita akan menemukan jawaban atas semua ini. Bersama-sama."
Tetapi sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, sosok itu bergerak dengan cepat, menghalangi jalan mereka. "Kamu tidak akan pergi kemana-mana, Elarya," katanya dengan suara penuh ancaman. "Kekuatanmu adalah bagian dari kami. Tidak ada jalan keluar."
Dengan seketika, Elarya merasa tubuhnya terhimpit oleh kekuatan tak terlihat. Cahaya yang semula terang dalam dirinya kini terasa pudar, ditarik ke dalam kegelapan yang semakin besar. Namun, di balik rasa takut yang menyelimuti dirinya, ada satu hal yang membuatnya tetap teguh—ia tidak akan membiarkan siapa pun mengendalikan takdirnya.
Kael menarik pedangnya, siap untuk bertarung. "Elarya, kita harus bertahan. Jangan biarkan mereka mengambil kendali."
Saat itu, perasaan kuat mengalir dalam diri Elarya. Meski segel cahaya itu berjuang untuk dikendalikan, ia tahu satu hal: ia tidak akan menyerah.
Tapi di balik keberanian yang ia rasakan, ia tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai, dan bahaya yang lebih besar sedang menunggu di depan mereka.
Elarya merasakan hawa gelap itu semakin menekan dirinya, seperti bayangan yang semakin besar dan menggenggam jiwanya. Sosok berjubah putih itu berdiri diam di depan mereka, dengan tatapan yang tajam dan penuh keyakinan. Kael tetap memegang pedangnya erat, menatap sosok itu dengan mata yang penuh tekad. Namun, di dalam hati mereka berdua, kecemasan mulai tumbuh, menambah ketegangan yang kian terasa.
“Kael...” bisik Elarya, suaranya bergetar. “Kekuatan ini... terasa semakin tak terkendali.”
Kael menatapnya dengan penuh keprihatinan. “Elarya, jangan biarkan itu menguasaimu. Kau lebih kuat dari ini. Ingat siapa dirimu. Ingat apa yang telah kau lalui.”
Namun Elarya merasakan sesuatu yang sangat berbeda dalam dirinya. Cahaya yang selama ini menjadi pelindungnya kini terasa seperti dua sisi mata uang—sebuah kekuatan yang tak hanya memberi, tetapi juga menghisapnya. Ketika ia mencoba untuk mengendalikan kekuatan itu, ia merasa semakin terperangkap di dalamnya, seperti ada kekuatan yang lebih besar dari dirinya yang mengendalikan segalanya.
Sosok berjubah putih itu tersenyum tipis, tatapannya tetap tajam, penuh dengan rasa percaya diri yang tinggi. “Kau merasa itu, bukan? Cahaya yang seharusnya menjadi milikmu, sekarang berperang dengan kegelapan. Kekuatan itu... bukanlah milikmu sendiri.”
Elarya terhuyung, tubuhnya gemetar. "Apa yang kau maksudkan?" Suaranya hampir tak terdengar. "Aku—aku tidak mengerti."
Kael berdiri di sampingnya, menggenggam tangannya dengan erat. “Kita akan melawan ini bersama, Elarya. Aku ada di sini untukmu. Jangan biarkan mereka merubah takdirmu.”
Sosok berjubah itu mengangkat tangannya, mengarahkan jarinya kepada Elarya. "Kekuatan itu bukan milikmu, Elarya. Itu milik mereka yang menunggumu. Ketika waktunya tiba, kau akan sadar siapa dirimu sebenarnya. Tidak ada yang bisa menghindari takdir. Kau akan melihat bahwa segalanya hanya sebuah permainan, dan kau hanyalah pion."
Tiba-tiba, segel cahaya yang ada dalam tubuh Elarya bersinar sangat terang, lebih terang daripada sebelumnya, hingga seakan seluruh hutan diselimuti oleh cahaya itu. Kael terpejam, mencoba melindungi matanya dari kilau tersebut, namun dalam hatinya ada ketakutan yang lebih dalam—apa yang sedang terjadi pada Elarya?
“Tidak!” Elarya menjerit, tubuhnya tersentak mundur, berusaha mengendalikan cahaya yang meluap keluar dari tubuhnya. Cahaya itu berputar-putar, menciptakan lingkaran cahaya yang besar dan membara di sekitar mereka. Namun, di dalam cahaya yang begitu terang itu, Elarya merasa cemas. Ada sesuatu yang sangat salah—sesuatu yang mengancam untuk menghancurkannya.
Tiba-tiba, dengan sebuah dorongan kekuatan yang luar biasa, cahaya itu membentuk sebuah bola energi yang sangat besar di udara, siap meledak. Kael mencoba menarik Elarya mundur, namun bola energi itu seolah menahan mereka di tempatnya, menekan mereka dengan kekuatan yang begitu besar.
“Jangan! Kau akan menghancurkan segalanya!” teriak Kael, namun Elarya tampak terhanyut dalam kekuatan itu, tubuhnya terhuyung oleh gelombang energi yang datang dari dalam dirinya.
Sosok berjubah putih itu tidak bergerak, tetap diam menyaksikan semuanya dengan tatapan penuh keyakinan. “Ini adalah takdirmu, Elarya. Saatnya telah tiba.”
Tiba-tiba, Elarya merasakan suara yang datang dari dalam dirinya, suara yang sangat familiar—seperti suara yang sudah ada sejak lama. Suara itu menyuruhnya untuk berhenti, untuk tidak menyerah pada kekuatan yang kini menguasainya.
"Elarya!" suara Kael terdengar semakin jauh, namun Elarya tidak bisa menahan perasaan yang melanda dirinya. “Kael… aku takut…”
Dengan segenap kekuatan yang tersisa, Elarya menutup matanya, memfokuskan dirinya pada cahaya yang ada dalam tubuhnya. Ia harus mengendalikannya, harus melawan apa yang mencoba merenggut dirinya. Cahaya itu bukan hanya miliknya, tapi milik dunia—dan ia tidak akan membiarkan siapapun mengendalikannya.
Cahaya itu akhirnya meledak dengan dahsyatnya, menghancurkan energi gelap yang melingkupi mereka, dan membuat sosok berjubah putih itu terhuyung mundur. Namun, meskipun cahaya itu begitu terang, Elarya merasa ada sesuatu yang hilang di dalam dirinya. Sesuatu yang tak bisa ia gapai.
Kael menggenggam tangannya erat, memandangnya dengan penuh kekhawatiran. “Elarya, kau berhasil. Kita berhasil menghadapinya. Tapi kau… kau tampak berbeda.”
Elarya terhuyung, tubuhnya terasa lelah dan rapuh. "Kael… aku merasa seperti ada bagian dari diriku yang hilang. Cahaya itu… tidak seperti dulu."
Kael menggenggam wajah Elarya, matanya penuh dengan keprihatinan. "Apa yang terjadi, Elarya? Apa yang kau rasakan?"
Elarya hanya bisa terdiam. Cahaya yang sebelumnya begitu kuat kini terasa asing. Ia tahu, meskipun ancaman fisik telah berlalu, ada hal yang lebih besar yang sedang menunggunya—sebuah rahasia yang lebih dalam dan lebih gelap yang kini mulai terungkap.
Sosok berjubah putih itu akhirnya menghilang, meninggalkan mereka berdua di tengah kegelapan hutan yang kembali tenang. Namun, kedamaian itu terasa semu. Elarya tahu, ancaman yang lebih besar sedang menunggu di depan mereka. Apa yang akan terjadi selanjutnya, mereka tidak tahu.
Namun, satu hal yang pasti—Elarya dan Kael tidak akan mundur. Mereka akan terus bertarung bersama, tidak peduli seberapa gelap dan berbahaya dunia yang ada di hadapan mereka.
Angin malam yang berhembus lembut seakan membawa keheningan setelah ledakan cahaya yang baru saja mereda. Di tengah-tengah hutan yang dipenuhi reruntuhan cahaya, Elarya berdiri terpaku, terengah-engah, masih merasakan dampak dari pertempuran yang baru saja dilalui. Cahaya yang memancar dari tubuhnya kini mulai meredup, namun perasaan dalam dirinya tetap kacau. Ada kegelisahan yang belum juga hilang, seperti ada sesuatu yang besar dan gelap yang mengancam, menunggu di ujung jalan.
Kael berdiri di sampingnya, matanya penuh dengan kekhawatiran. “Kau baik-baik saja, Elarya?” tanyanya dengan lembut, namun nada suaranya begitu dalam, mencerminkan ketakutan yang tak terucapkan.
Elarya menatapnya, mencoba tersenyum meski wajahnya tampak pucat. “Aku… aku rasa aku tidak bisa mengatakannya baik-baik saja,” jawabnya pelan, matanya masih memandang kosong ke arah tempat sosok berjubah putih itu menghilang. "Ada yang salah. Sesuatu dalam diriku… terasa seperti aku telah kehilangan sesuatu."
Kael mengangkat tangannya, menyentuh bahu Elarya dengan lembut. “Kekuatanmu memang luar biasa, Elarya. Tapi kita harus berhati-hati. Apa yang terjadi tadi, aku rasa itu bukan hanya ujian biasa. Ada yang lebih besar, yang menginginkan segel cahaya itu.”
Elarya mengangguk pelan, namun hatinya masih dipenuhi pertanyaan. “Siapa mereka? Apa yang mereka inginkan dari aku?”
Suasana hutan yang semula tenang kini terasa semakin gelap. Walau tidak ada lagi suara, hawa dingin yang menusuk terasa semakin tajam. Elarya merasakan ketakutan yang semakin mendalam, bukan hanya karena ancaman yang mereka hadapi, tetapi juga karena apa yang terjadi pada dirinya. Kekuatan yang selama ini ia miliki, cahaya yang menjadi pelindungnya, kini terasa seperti beban yang terlalu berat untuk dipikul.
“Apa yang sebenarnya aku perjuangkan?” pikirnya, merasa ada sesuatu yang menggelisahkan dalam dirinya.
Kael memandang Elarya, mencoba membangkitkan semangat yang mungkin mulai memudar dalam diri gadis itu. “Kita tidak sendirian, Elarya. Aku di sini bersamamu. Tidak peduli apa yang terjadi, kita akan menghadapi ini bersama. Itu yang terpenting.”
Namun, meskipun kata-kata Kael menguatkan, Elarya merasa ada celah di dalam hatinya yang sulit untuk ia tutupi. Cahaya yang selama ini menjadi bagian dari dirinya kini terasa semakin jauh, dan kegelapan yang datang bersama kekuatan itu semakin nyata. Kapanpun ia berusaha untuk meraihnya kembali, ada perasaan terjepit, seperti terperangkap dalam lingkaran yang tidak pernah ia pilih.
Tiba-tiba, sebuah suara datang, tidak dari arah manapun yang mereka ketahui. Suara yang hampir tidak terdengar, namun memancar dari dalam diri Elarya sendiri.
“Kekuatan ini tidak pernah milikmu,” suara itu terdengar dalam pikirannya, menggetarkan jiwa dan tubuhnya. “Kekuatan ini adalah milik mereka. Ketika waktunya tiba, kau akan melayani mereka.”
“Tidak!” teriak Elarya dalam hatinya, berusaha menepis suara itu. “Aku tidak akan menjadi milik siapa pun.”
Kael, yang merasakan getaran aneh di udara, memalingkan wajahnya pada Elarya. “Elarya?” suaranya penuh kekhawatiran. “Apa yang kau rasakan?”
Elarya terdiam sejenak, menarik napas dalam-dalam. “Kekuatan ini… terasa semakin asing. Seperti ada sesuatu yang ingin menguasainya, dan aku tidak bisa menghentikannya.”
Kael meraih tangan Elarya, menggenggamnya erat. “Elarya, dengar, kita akan temukan jalan keluar. Kau tidak akan berjuang sendirian. Bersama kita bisa melawan apa pun yang menghalangi.”
Elarya menatapnya, mencoba menggali kekuatan dari dalam dirinya yang hampir punah. “Kael, aku takut… aku takut tidak bisa mengendalikannya lagi.”
Tapi Kael hanya tersenyum, meskipun matanya dipenuhi rasa cemas. “Kau bisa, Elarya. Aku percaya padamu. Aku percaya kita bisa melewati ini.”
Saat itu, kedamaian yang semula mereka rasakan setelah pertempuran mendadak hancur begitu saja, saat langit malam yang semula terang berangsur gelap. Tidak jauh dari mereka, sosok berjubah putih yang baru saja menghilang kini muncul kembali, namun kali ini dengan senyum yang jauh lebih menyeramkan. Mata mereka yang tersembunyi di balik jubah tampak berkilau dengan keserakahan, seolah tahu bahwa mereka telah berhasil menggoyahkan hati Elarya.
“Kael, Elarya… kalian pikir kalian telah memenangkan pertempuran ini?” suara itu bergema dalam kegelapan, melangkah maju dengan penuh keyakinan. “Tidak ada yang bisa menghindar dari takdir. Kekuatan itu akan segera menjadi milik kami.”
Sosok itu bergerak lebih dekat, seakan setiap langkahnya menyatu dengan kegelapan yang semakin mendalam. “Kekuatan segel itu… adalah bagian dari kami. Dan kalian tidak bisa mengubah apa yang telah ditentukan.”
Elarya merasakan tekanan yang begitu berat di dadanya. “Apa yang kau inginkan dariku?” Suaranya bergetar, namun ada keberanian yang mulai tumbuh kembali di dalam dirinya. “Kekuatan ini milikku, dan aku akan mengendalikannya.”
Kael berdiri tegak di samping Elarya, siap untuk melawan apa pun yang datang. “Kau tidak akan menguasainya. Kami akan melawan sampai akhir.”
Sosok itu tertawa, suara tawa yang dalam dan dingin. “Perlawananmu sia-sia, Kael. Kalian tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Segel itu lebih dari sekadar kekuatan. Ia adalah kunci menuju kebangkitan yang lebih besar—dan kalian hanya bagian dari permainan yang lebih besar.”
Elarya merasakan kekuatan yang ada dalam dirinya semakin bergolak, cahaya itu kembali menyala dalam dirinya, kali ini dengan lebih kuat dan lebih liar. Cahaya itu bersinar begitu terang, namun juga terasa semakin tidak terkendali. Segala sesuatu dalam dirinya seolah berperang, dan ia harus memilih—mengikuti takdir yang ditentukan oleh segel itu, atau berjuang untuk kendali atas hidupnya sendiri.
Saat itu, segel cahaya yang ada di dalam tubuh Elarya meledak dalam cahaya yang membutakan, melepaskan gelombang energi yang luar biasa. Namun, meskipun kekuatan itu tampak menghalau segala ancaman, Elarya tahu satu hal: peperangan yang lebih besar baru saja dimulai, dan ancaman yang lebih gelap masih menunggu di ujung jalan.