kisah cinta seorang gadis bar-bar yang dilamar seorang ustadz. Masa lalu yang perlahan terkuak dan mengoyak segalanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon uutami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 20
"Faraz!"
Adiba memekik, dengan cepat ia lempar gawainya sebarang, dan berlari ke kolam menarik tubuh bocah Lima tahunan itu keluar dari dalam air.
"Faraz! Bertahanlah!" serunya panik bukan main. Adiba memeluk Faraz dalam gendongan, dan membaringkan di atas lantai begitu saja.
"Faraz! Bangunlah! Umi mohon!" tangis Adiba. Ia mulai menekan dada Faraz dan memberinya nafas buatan beberapa kali.
"Apa yang kamu lakukan!" Novi yang kebetulan lewat dan melihat itu bersuara cukup keras. Adiba tak perduli dan terus melakukan upaya penyelamatan.
"Uhuk!!"
Faraz akhirnya sadar dan air yang sempat terminum keluar semua.
"Faraz!" Novi melempar begitu saja bawaannya dan memeluk anak angkat Satria itu, mendorong tubuh Adiba menjauh seolah ia adalah bencana yang harus disingkirkan. Novi juga memangku Faraz dalam dekapan merasa sangat takut kehilangan. "Faraz syukurlah kamu nggak papa," tangis Novi terus memeluk Faraz.
Adiba yang melakukan upaya tadi merasa lega, napasnya memburu, matanya berair, bersyukur Faraz terselamatkan.
"Adiba! Faraz!"
Satria muncul dengan wajah panik dan napas yang terengah karena berlari tadi setelah mendengar teriakannya Adiba di telpon.
"Abi...." Lirih suara Faraz membuat Satria lekas mendekat dan mengambil Faraz dari gendongan Novi.
"Ini Abi, sayang, Abi ada di sini." Satria mencoba menenangkan Faraz yang menangis ketakutan. "Tidak apa-apa, tidak apa-apa." Satria sedikit menjauh ke teras guna menenangkan anak angkatnya.
"Adiba!"
Dengan wajah yang terlihat sangat marah, Novi menatap Adiba menyalang, yang masih lemas terduduk di lantai. Adiba mendongak menatapnya juga dengan pandangan lelah.
"Apa sih yang kamu lakuin, sampai Faraz kek gini?" tuntut Novi. Ia berganti melihat kolam terpal yang ada di sana. "Ini.... Ini apa-apaan? Kamu mencoba mencelakai Faraz?"
Adiba diam, tak tau harus bagaimana, ia masih sangat syok dengan yang baru saja terjadi.
"Faraz itu trauma sama air kolam, Adiba! Kamu kan umi-nya, harusnya kamu tau, itu!"
Novi terus meluapkan kata-kata kesalnya pada Adiba. Melontarkan hal yang membuat Adiba semakin merasa buruk, "Apa benar aku sudah mencelakai Faraz?" batinnya.
Novi mengusap wajahnya, merasa belum puas memaki Adiba yang ia anggap sangat bersalah, ia juga kesal kenapa Satria justru memilih Adiba sebagai istrinya.
"Udahlah, mbak Novi. Mbak Adiba kan juga nggak sengaja. Ini kecelakaan," bela salah satu santri yang ikut berkumpul di sana karena keributan ini.
"Iya, mbak. Lagian kan, mbak Adiba baru sebentar di sini, wajar kalau nggak tau tentang trauma Faraz." Yang lain ikut menimpali.
Merasa kini malah Adiba banyak yang membela, Novi menghela napasnya, dan mengusir para santri. "Sudah, kalian kembali saja."
Novi lalu mendekati Satria dan Faraz, "Mas, sebaiknya, Faraz ganti baju dulu, kasihan basah gini," sarannya lembut mengusap punggung Faraz.
Pikiran Satria terlanjur kalut setiap bersangkutan dengan Faraz. Saat Novi marah-marah tadi pada istrinya, ia hanya fokus menenangkan Faraz.
"Iya," sahutnya pelan, "Kita ganti baju dulu ya, Faraz."
Satria masuk ke dalam dengan membawa Faraz tanpa ia sempat memperhatikan istrinya yang masih terduduk di lantai melihat dia yang masuk begitu saja tanpa melirik. Novi ikut melangkah masuk, tapi, ia sempat melirik sinis padanya. Seolah jengah sekali pada Adiba.
Adiba tersenyum pahit. Ia melakukan kesalahan yang tak sengaja. Ia coba perbaiki, tapi, sepertinya, Satria tak bisa menerimanya. Sakit.
Adiba meremas dadanya yang tiba-tiba terasa sangat nyeri.
"Apa ini? Kenapa sakit sekali?"
Malam harinya, setelah kejadian itu, Faraz terus menempel pada Satria, tak mau ditinggal dan tak mau jauh walau sebentar. Nyai Atiyah dan kiyai Wahab juga sampai berusaha membujuk namun tak ada yang berhasil.
"Jangan menyalahkan diri."
Nyai Atiyah menepuk bahu Adiba yang melamun, melihat Faraz dan Satria dari ambang pintu pembatas ruang tengah.
"Umi Atiyah tidak marah sama Diba? Diba yang sudah bikin Faraz kek gini," ucap Adiba menunduk lemas.
Nyai Atiyah tersenyum, mengusap bahu menantunya. "Kamu nggak tau kan, kalau Faraz punya trauma dengan air kolam?"
Adiba menggelang, "Diba pikir, semua anak akan suka dengan kolam yang penuh bola-bola dan mainan."
"Umi tau."
Adiba memandang wanita berwajah teduh itu.
"Terimakasih sudah menyelamatkan Faraz lagi."
Adiba terkesiap, "Lagi?"
Nyai Atiyah hanya mengulas senyum. "Makanlah, dulu, tadi kamu belum makan, kan?" suruh nyai Atiyah mengalihkan.
"Diba nggak selera, umi."
"Makan," suruh nyai Atiyah tegas."Apa mau umi ambilkan?"
"Mas Satria sama Faraz?"
"Kamu makan dulu, nanti kalau udah makan, baru pikirkan mereka. Bisa gantian nanti, kita harus lebih kuat untuk menguatkan orang lain Adiba."
Adiba menurut saja, ia mengambil piring dan mengisinya dengan nasi dan lauk, sedikit saja karena memang tak berselera. Memaksakan makanan itu masuk ke tenggorokannya. Bagaimana pun, benar apa yang Nyai Atiyah tuturkan. Harus lebih kuat untuk menguatkan orang lain.
Baru dua suapan masuk ke mulutnya, tiba-tiba Novi muncul lagi, menatapnya dengan sinis.
"Masih bisa makan," gumamnya lirih.
Merasa tersentil oleh wanita dewasa ini, Adiba menekan rasa di dadanya, sampai-sampai menyakiti tenggorokan.
"Mbak Novi kok udah di sini lagi?" tanya Adiba berusaha terlihat tak masalah dengan ucapan lirih Novi tadi.
Gerak tangan Novi yang sedang mengambil piring dan sendok itu terhenti. Lalu menatap Adiba masih dengan tatapan yang terlihat memusuhi.
"Apa mbak Novi masih kerabat Faraz?"
"Aku umi-nya Faraaz."