Luna harus menerima kenyataan pahit saat mengetahui jika suaminya yang baru saja menikahinya memiliki hubungan rahasia dengan adiknya sendiri.
Semuanya bermula saat Luna yang memiliki firasat buruk di balik hubungan kakak beradik suaminya (Benny dan Ningrum) yang terlihat seperti bukan selayaknya saudara, melainkan seperti sepasang kekasih.
Terjebak dalam hubungan cinta segitiga membuat Luna pada akhirnya harus memilih pada dua pilihan, bertahan dengan rumahtangganya yang sudah ternodai atau memilih menyerah meski perasaannya enggan untuk melepas sang suami..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy2R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
(Akhirnya Kembali Bersama)
Tak lama kemudian, Luna keluar kembali dengan penampilan yang lebih rapi dari sebelumnya.
"Ayok, Mas, kita berangkat," ajak Luna sumringah.
Benny menyunggingkan senyum. Ia beranjak dari duduknya dan berjalan mendekati Luna. Benny menatap wajah ayu istrinya sambil mengulurkan tangannya, mengelus pipi sang istri.
"Cantik sekali istriku ini," pujinya.
Luna tersipu malu, "Jadi pergi tidak?" tanyanya mengalihkan.
"Jadi dong."
*
Di tengah perjalanan menuju ke kompleks perumahan, dering telepon masuk di ponsel Benny membuat Luna sedikit terganggu.
"Telepon dari siapa sih, Mas?" tanya Luna bernada kesal.
"Dari Ningrum," jawab Benny jujur.
"Ada perlu apa dia denganmu?" Luna menyambar ponsel Benny yang diletakkan di atas dasboard mobil dan langsung menekan tombol berwarna hijau yang ada di layar ponsel. Tak lupa, Luna juga mengaktifkan loudspeaker pada panggilan Ningrum supaya ia bisa mendengar percakapan suaminya dengan adiknya itu.
"Halo, Mas.." ucap Ningrum dari seberang telepon.
Luna menyodorkan ponsel di genggaman tangannya kepada Benny tanpa niat mengembalikannya.
"Ja..wab.." ucap Luna hanya dengan membuka bibirnya tanpa bersuara.
"Ha- halo, Ning, ada apa?" tanya Benny gugup.
"Kenapa kamu gugup, Mas? Sedang sama siapa kamu?" tanya Ningrum seolah hafal dengan kebiasaan kakaknya.
"Ada, ada mama di ruang kerjaku," jawab Benny berdusta.
"Mama belum pulang dari kantormu?"
"Belum,"
Terdengar Ningrum yang sedang berdecak kesal, "Pergilah dulu sebentar, Mas, ke tempat lain. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu," perintahnya.
"Baiklah," ucap Benny seraya melirik ke arah Luna. "Aku sudah di balkon kantor. Bicaralah,"
"Aku sedang di mall sekarang ini dan nanti sore aku mau ke klinik kandungan langgananku, temani aku ke sana ya, Mas. Kamu kan sudah mengiyakan permintaanku tadi," kata Ningrum.
Mendengar ucapan Ningrum seketika membuat kedua mata Luna membulat sempurna. Ia melotot, menatap ke arah Benny.
"Kamu mau memeriksakan penyakitmu itu kan?" Pertanyaan Benny seakan juga memberikan penjelasan kepada Luna bahwa tujuan Ningrum ke klinik kandungan bukanlah untuk periksa kehamilan.
"Iya. Aku penasaran sebenarnya ada apa dengan rahimku," kata Ningrum. "Jangan lupa nanti sore temani aku ya, Mas, aku takut mau periksa sendiri," rengeknya manja.
"Maaf, Ning, aku tak bisa. Aku sudah ada janji dengan Luna sore ini," tolak Benny.
"Apa? Kamu ada janji dengan Luna si lampir itu?" tanya Ningrum tak suka.
"Si*lan!" lirih Luna.
"Luna itu bukan lampir, Ning, dia istriku yang juga kakak iparmu. Sopanlah sedikit saat kamu menyebut namanya," tutur Benny.
"Lebih baik kamu diam, Mas, aku tak suka mendengar pembelaanmu itu,"
"Ya sudah ya, aku mau balik kerja lagi. Masih banyak pekerjaan yang belum aku selesaikan," kata Benny, mengakhiri pembicaraan.
"Eh tunggu, Mas-"
Klik.
Belum sempat Ningrum melanjutkan ucapannya, sambungan teleponnya sudah dimatikan oleh Luna. Wanita cantik itu lantas mengembalikan ponsel Benny ke atas dasboard lagi.
"Sakit apa adik kesayanganmu itu?" tanya Luna, penasaran.
"Entah, Lun. Kami berdua juga belum tahu. Itu sebabnya Ningrum ingin memeriksakan keadaan rahimnya,"
"Oh.." balas Luna.
"Ngomong-ngomong masalah gugatan ceraimu, bisakah kamu membatalkannya, Luna?" tanya Benny tiba-tiba.
Luna mengulum senyum dan memalingkan wajahnya.
"Kenapa kamu malah senyum-senyum begitu?"
"Aku sebenarnya tak pernah ke pengadilan negeri, Mas, aku cuma ngetes kamu saja tadi. Aku ingin lihat bagaimana reaksimu kalau aku berkata seperti itu," kekeh Luna.
Benny terlihat manyun usai mendengarnya.
"Maaf deh ya," ucap Luna sembari menahan tawa.
"Dimaafkan kok. Aku malah bersyukur kalau memang ucapanmu tadi cuma omong kosong belaka. Karena jujur, aku tak bisa kalau kamu tinggalkan, Luna, aku terlalu sayang sama kamu," ucap Benny.
Luna tersenyum tipis, "Aku pun sebenarnya sama, Mas. Kalau perasaanku sudah berubah padamu, sudah bisa dipastikan kalau aku tak akan mau memaafkan serta memberimu kesempatan lagi," balasnya.
Benny tersenyum sambil mengulurkan tangannya ke kepala Luna. Ia mengacak pelan rambut Luna sambil berkata, "Terima kasih ya. Terima kasih untuk kesabaranmu terhadapku."
Luna mengangguk, mengiyakan.
Tak berapa lama kemudian, akhirnya keduanya sampai di tempat tujuan.
Mereka langsung keluar dari mobil dan menuju ke salah satu rumah yang di depan pagarnya sudah ada seorang pegawai perumahan yang menunggu kedatangan mereka.
"Selamat siang, Pak, Bu, saya Rifky, pegawai perumahan yang akan menemani Bapak serta Ibu berkeliling di dalam rumah," kata si pegawai dengan ramahnya.
"Ah iya, terima kasih," balas Luna.
"Mari ikuti saya,"
Sambil melangkahkan kakinya memasukki halaman rumah, Luna dengan lirih berbisik kepada Benny.
"Kok dia tahu kalau kita mau ke sini?" tanya Luna.
"Aku tadi sudah mengiriminya pesan kalau aku mau datang kemari, makanya dia buru-buru datang ke sini sebelum kita sampai." jelas Benny.
Luna manggut-manggut sambil ber'oh' panjang.
Bersama si pegawai perumahan, Luna dan Benny menjelajahi ruangan demi ruangan calon rumah mereka.
Di dalam rumah tersebut terdapat ruang tamu yang cukup besar, memasukki ruangan yang lain terdapat tiga kamar tidur yang dilengkapi dengan kamar mandi di dalamnya. Ada ruang keluarga dengan dua ventilasi besar di sisi kirinya. Masuk lebih dalam lagi, terdapat dapur yang lumayan luas yang sudah dilengkapi dengan kitchen set.
Di sisi kiri dapur terdapat satu kamar mandi yang ukurannya tak terlalu besar.
Di sebelah dapur, ada pintu keluar yang menuju ke halaman belakang. Di sana terlihat ada kolam kecil yang dapat diisi ikan nantinya. Juga terdapat taman kecil di sana yang bisa dijadikan sebagai tempat bersantai.
"Bagaimana, Lun? Kamu suka tidak dengan rumah ini?" tanya Benny, memastikan.
Senyum Luna melebar, tatapannya menelusuri setiap sudut ruangan. Ia mengangguk tanpa menatap balik Benny. "Aku suka, Mas," ucapnya sembari berjalan menjauh.
"Syukurlah kalau kamu suka." kata Benny.
Tanpa berpikir lama, Benny pun langsung mendekati si pegawai rumah. Ia mengatakan kepada pegawai itu jika dirinya dan Luna jadi membeli rumah tersebut.
"Saya akan segera mengurus surat-suratnya, Pak," kata si pegawai.
"Kalau besok saya tidak sibuk, saya akan datang ke kantor untuk membahas perihal pembayaran dan lain-lainnya," ucap Benny.
"Siap, Pak. Saya tunggu kedatangan Bapak."
Selesai mengurus urusan rumah, Benny lantas menghampiri Luna yang tengah berdiri di depan pintu sambil melayangkan pandangannya ke taman kecil yang berada di halaman belakang.
"Besok aku akan meminta beberapa Art di rumah papa untuk membersihkan rumah ini," ucap Benny sembari memeluk Luna dari belakang. Ia meletakkan dagunya di atas kepala Luna sembari ikut melayangkan pandangannya ke taman.
"Aku tak sabar ingin cepat-cepat pindah ke sini, Mas," ujar Luna.
"Aku juga."
Triirriiing...
Dering telepon milik Benny, mengganggu kemesraan yang tengah terjadi di antara Benny dan Luna. Sambil berdecak kesal, Benny mengeluarkan ponselnya dari dalam saku jasnya.
"Siapa yang nelpon, Mas?" tanya Luna.
Benny tak menjawab, ia keburu menerima panggilan masuk itu.
"Halo, Pa, ada apa?" tanya Benny.
"Kamu sedang di mana, Benn?"
"Aku sedang berada di kompleks perumahan yang berada di jalan xx, Pa, aku di sini bersama Luna," jawab Benny.
"Kamu sudah baikan sama Luna?"
"Alhamdulillah, sudah, Pa.." jawab Benny.
"Syukurlah kalau begitu. Kebetulan ada Luna, sebaiknya kamu ajak sekalian dia ke kantor. Ada hal penting yang ingin Papa bicarakan padamu," ucap Hendra.
Benny dan Luna saling berpandangan.
"Baik, Pa, aku dan Luna akan segera menuju ke kantor." ucap Benny sebelum mematikan sambungan teleponnya.
"Ada apa sih, Mas?" tanya Luna, penasaran.
Benny mengedikkan bahu, "Aku juga tak tahu, Lun.." jawabnya.
_