Silva, Marco dan Alex menjalin persahabatan sejak kelas 10. Namun, saat Silva dan Marco jadian, semuanya berubah. Termasuk Alex yang berubah dan selalu berusaha merusak hubungan keduanya.
Seiring berjalannya waktu, Alex perlahan melupakan sejenak perasaan yang tidak terbalaskan pada Silva dan fokus untuk kuliah, lalu meniti karir, sampai nanti dia sukses dan berharap Silva akan jatuh ke pelukannya.
Akankah Silva tetap bersama Marco kelak? Atau justru akan berpaling pada Alex? Simak selengkapnya disini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pendekar Cahaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 20 (Membantu Membayar Hutang Ibu Marco)
Setelah kedua sahabatnya itu pergi, Silva memutuskan untuk pergi ke rumah Marco dan menemuinya, mencoba menjelaskan tentang kejadian di mall itu. Silva melajukan mobilnya perlahan menuju rumah kekasihnya.
Tak butuh waktu lama, Silva sudah sampai di depan rumah Marco. Baru saja dia turun dari mobilnya, Silva dikejutkan dengan kejadian yang kurang mengenakkan. Dua orang bertubuh besar mengacak-acak rumah Marco. Beberapa barang yang ada di dalam rumah Marco dikeluarkan dan dilempar ke halaman.
"Bang, saya mohon jangan seperti ini, saya janji akan bayar!" Ibunya Marco memohon-mohon.
"Janji aja bisanya! Kesabaran bos saya sudah habis dan ibu tidak juga mau membayar semua tunggakan ibu!" Bentak salah satu dari kedua pria itu.
"Iya, bang, tapi, kasi saya waktu lagi, saya janji akan melunasi semuanya" ibunya Marco kembali memohon.
"Udah, kalau ibu gak sanggup bayar, mending ibu pergi saja dari rumah ini, saya tidak mau tahu lagi, rumah ini harus segera dikosongkan!" Yang satunya ikut membentak.
"Duh, Marco mana sih, ibunya dalam kayak gini, dianya malah gak ada" runtuk Silva.
"Permisi, bang, ada apa yah ini, kok rumahnya Marco diacak-acak kayak gini?" Tanya Silva pada kedua pria tersebut. Kedua pria itu menoleh dan memperhatikan Silva.
"Kamu siapa?" Tanyanya dengan dingin.
"Aku Silva, aku kerabatnya ibu ini, ada masalah apa dengannya?" Kembali Silva bertanya.
"Dia berhutang dengan bos saya sebesar 300 juta dan dia menjaminkan sertifikat rumahnya ini pada bos saya, dia gak bisa bayar hutang-hutangnya beserta bunganya sampai batas yang ditentukan dan terpaksa saya sita saja rumah ini untuk melunasi semua hutangnya" jelasnya pada Silva. Silva yang mendengar hal itu, tentu saja terkejut dan tidak menyangka kalau ibunya Marco terlilit hutang dalam jumlah yang besar.
Silva tentu saja ingin membantu, tapi, dia tidak punya uang sebanyak itu, kalaupun dia menggunakan tabungannya, masih sangat banyak kurangnya.
"Bang, begini aja, gimana kalau aku yang bayar, tapi, dengan cara di cicil, ini aku kasi 1 juta dulu, bulan depan baru saya bayar lagi, gimana, bang?" Silva mencoba bernegosiasi dengan pria berbadan kekar itu. Ibunya Marco yang menyaksikan itu hanya terdiam saja. Dia malah senang Silva mau membantunya membayar hutang.
"Untung aja ada calon mantu aku yang datang, aku bisa selamat dari kedua orang ini dan tetap bisa tinggal dirumah ini" batinnya.
"Oke, kalau memang seperti itu, saya terima ini, tapi, awas kalau sampai ingkar janji, saya akan berbuat yang lebih daripada ini" ancamnya sambil menerima uang yang diberikan Silva.
"Abang bisa pegang kata-kata saya ini" kata Silva dengan meyakinkan.
"Baik, kalau gitu kita berdua permisi, selamat siang!" Kedua pria itu pun lalu pergi dari rumah Marco.
"Tante gak apa-apa?" Tanya Silva memastikan keadaan ibu dari kekasihnya itu.
"Gak apa-apa, makasih banyak yah, nak, sudah bantuin" katanya. Silva hanya mengangguk.
"Tante, maaf kalau aku lancang, tapi, aku mau tahu aja, Tante kok bisa berhutang sama kedua orang itu dan nominalnya sampai ratusan juta gitu, emangnya buat apa uang sebanyak itu, Tante?" Tanya Silva yang terlihat penasaran. Ibunya Marco tidak langsung menjawabnya. Dia nampak berpikir sebelum memberikan jawabannya dan tidak ingin mengatakan yang sebenarnya kalau uang yang dia pinjam dari rentenir itu dipakai untuk investasi yang ternyata investasi bodong dan semua uang yang dia investasikan dibawa kabur.
Dia awalnya sudah berangan-angan, kalau uang yang dia investasikan akan memberikannya keuntungan yang besar dan bisa membuat menjadi kaya raya. Maka dari itu, dia tidak ragu untuk menginvestasikan semua uang itu demi keuntungan besar yang menggiurkan. Tapi, sekarang semuanya lenyap begitu saja dan sekarang malah dipusingkan cara membayarnya.
"Ya udah kalau Tante gak mau cerita, gak apa-apa, aku juga gak akan memaksa" kata Silva akhirnya, seolah bisa membaca kalau dirinya tidak ingin terbuka pada kekasih dari putranya itu.
"Iya, nak, maaf, Tante belum bisa cerita sekarang" kata ibunya Marco.
"Oh iya, nak Silva ada apa kemari?" Ibunya Marco bertanya.
"Aku kesini mau ketemu sama Marco" jawab Silva.
"Loh, bukannya tadi Marco pamitan sama Tante kalau mau kerumah kamu yah" ibunya Marco merasa heran.
"Iya, Tante, tadi emang Marco kerumah aku dan kita bahkan sempat jalan bareng ke mall sama dia sahabatku juga sih, tapi, Marco tiba-tiba saja pamit katanya ada urusan gitu, terus aku telpon dia dari tadi gak dijawab, makanya aku kesini, takut ada apa-apa gitu" Silva menjelaskan.
"Tapi, sejak dia pergi, dia belum pernah balik kerumah tuh, nak" jawab ibunya Marco apa adanya.
"Kira-kira ibu tahu gak Marco kemana, maksudnya dia pergi kerumah temannya atau ke suatu tempat gitu?" Tanya Silva.
"Kalau ke rumah temannya, paling yang di dekat sini aja, kalau ke tempat lain, kemana yah, sepertinya tidak ada" ibunya Marco berpikir.
"Atau jangan-jangan dia ke tempat dia kerja lagi, soalnya beberapa hari yang lalu, Marco sempat bilang ke Tante kalau dia udah diterima kerja sebagai supir pribadi di rumahnya Zea kalau gak salah namanya, iya Zea namanya" lanjutnya.
"Zea? Kok Marco gak cerita apa-apa yah ke aku soal itu, emang sih dia pernah cerita kalau dia mau kerja, tapi, dia gak bilang kalau dia mau kerja sebagai supir pribadinya Zea, terus Zea itu siapa coba" batin Silva.
"Tante tahu rumahnya Zea dimana, Siapa tahu aja Marco ada disana" kata Silva.
"Waduh, Tante gak tahu tuh, Marco gak pernah ngasi tahu alamat rumahnya Zea, cuma Marco pernah nyebut nama Metropolitan gitu lah pokoknya, mungkin aja Zea tinggal di perumahan Metropolitan itu" jawab ibunya Marco. Silva merasa pernah mendengar nama sebuah perumahan dengan nama Metropolitan. Silva tampak berpikir sejenak dimana dia pernah mendengar nama itu. Selang beberapa detik, Silva pun sudah mengingatnya dan sudah mendapat bayangan tentang perumahan yang dimaksud.
"Ya udah kalau gitu, Tante, aku pamit aja yah, mau pulang, nanti aku coba telpon Marco lagi" Silva pun berpamitan pada ibunya Marco.
"Iya, nak, kamu hati-hati dijalan yah" kata ibunya Marco.
Silva melajukan mobilnya perlahan dan menjauh dari rumah Marco. Silva segera menuju ke perumahan Metropolitan, sesuai dengan yang dikatakan oleh ibunya Marco tadi. Jarak dari rumah Marco ke perumahan tersebut berjarak cukup jauh. Karena kawasan itu tidak jauh dari kompleks perumahan tempat dimana dia tinggal.
Sekitar 20 menit, mobil Silva sudah memasuki area perumahan Metropolitan itu. Seorang satpam yang berjaga di pos, menahan mobil Silva yang hendak masuk.
"Selamat siang, mau kemana yah?" Tanya satpam itu.
"Siang, pak, saya mau ke rumahnya Zea, dia katanya tinggal di dalam, saya temannya, pak" jawab Silva.
"Zea? Zea anaknya pak Dodi bukan?" Tanyanya lagi.
"Waduh, aku gak tahu nama bapaknya, pak" kata Silva jujur.
"Kalau Zea yang bapak maksud itu, rumahnya yang mana?" Tanya Silva kemudian. Satpam tersebut memberikan pengarahan pada Silva. Setelah mendapat petunjuk jalan dari satpam, Silva kembali melajukan mobilnya perlahan dan menuju kerumah yang dimaksud.
Silva pun berhenti di depan sebuah rumah bercat putih dan terparkir sebuah mobil. Disitu juga terlihat sebuah motor yang Silva kenali sebagai motor Marco. Platnya pun Silva tahu dan semakin yakin kalau itu motor kekasihnya.
Silva pun memencet bel rumah itu. Keluarlah sesosok gadis yang berdiri di depan Silva, yang membuka pintu untuknya.
"Ya? Cari siapa yah?" Tanyanya.