Jangan lupa mampir di Fb otor (Mima Rahyudi)
**
**
**
“Dad! Aku ingin kita akhiri hubungan kita!” seru Renaya tiba-tiba.
“Kenapa, baby?” tanya Mario.
“Aku nggak nyaman sama semua sikap Daddy,” jawab Renaya
“Kita tidak akan pernah berpisah, baby. Karena aku tidak akan melepaskan kamu.”
Hidup Renaya seketika berubah sejak menjalin hubungan dengan Mario, pria matang berusia 35 tahun, sementara usia Renaya sendiri baru 20 tahun. Renaya begitu terkekang sejak menjadi kekasih Mario, meski mungkin selama menjadi kekasihnya, Mario selalu memenuhi keinginan gadis cantik itu, namun rupanya Mario terlalu posesif selama ini. Renaya dilarang ini dan itu, bahkan jika ada teman pria Renaya yang dekat dengan sang kekasih akan langsung di habisi, dan yang paling membuat Renaya jengkel adalah Mario melarang Renaya untuk bertemu keluarganya sendiri. Sanggupkan Renaya menjalani hidup bersama Mario? Kenapa Mario begitu posesif pada Renaya? Ada rahasia apa di balik sikap posesif Mario?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mima Rahyudi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Renaya terdiam, menahan rasa sakit yang mendalam karena perlakuan itu. "Tapi aku cuma ketemu Papi, Dad. Aku nggak ngelakuin apa-apa yang salah," jawabnya pelan, mencoba mencari alasan yang dapat menjernihkan situasi. Namun, Mario tidak tampak lebih tenang.
“Bukan soal itu, Renaya!” Mario hampir berteriak. “Kamu nggak ngerti, kan? Semua ini bukan cuma soal kamu dan aku, tapi juga tentang keselamatan kamu! Jangan pernah temui Papi kamu apalagi Bella lagi tanpa persetujuan aku. Papi kamu itu bukan orang yang bisa kamu percayai, dan kamu tahu itu!”
Renaya merasakan kehangatan yang mulai menjalar di wajahnya, marah dan kesal karena merasa seperti ditahan dalam suatu hubungan yang tidak bisa dia kontrol. “Tapi aku ingin bertemu dengan Papi! Aku ingin tahu bagaimana kabarnya!” suara Renaya bergetar, meskipun ada kecemasan di dalamnya, dia tetap merasa haknya untuk tetap memiliki hubungan dengan orang tuanya, bahkan dengan segala keterbatasan yang ada.
Mario menatap Renaya tajam, bibirnya tersenyum dingin, seperti sedang menahan amarah yang sangat besar. "Dengar, Renaya," katanya pelan tapi tegas, "Papi kamu itu bukan orang yang bisa dijadikan panutan. Banyak hal yang kamu nggak tahu, banyak hal yang berbahaya. Aku nggak akan biarkan kamu terjebak dalam permainan mereka."
Renaya merasa bingung. Semua yang dikatakan Mario, walaupun terdengar masuk akal, tetap saja terasa mengekang. “Aku sudah dewasa, Daddy. Aku bisa memilih siapa yang ingin aku temui,” ujar Renaya, mencoba mempertahankan keteguhannya. “Aku cuma butuh sedikit ruang untuk diriku sendiri.”
Mario menarik napas panjang dan berdiri, berjalan menjauh dari Renaya. “Kamu nggak paham, kan? Aku hanya ingin melindungi kamu, Renaya,” kata Mario dengan suara yang lebih rendah, meski masih ada ketegangan yang terngiang di setiap kata-katanya. “Kadang, melindungi seseorang berarti mengontrol apa yang mereka lakukan.”
Renaya menatap Mario dengan hati yang penuh keraguan. Ada banyak hal yang belum dia mengerti tentang Mario, tentang dirinya sendiri, dan tentang hubungan mereka yang semakin kompleks. Tetapi, satu hal yang pasti, dia merasa semakin terjebak dalam dunia yang tampaknya dipenuhi oleh rahasia dan kontrol yang luar biasa.
“Aku butuh waktu, Daddy,” Renaya akhirnya berkata dengan suara lirih. “Aku butuh berpikir.”
Renaya duduk di ujung tempat tidurnya, air matanya terus mengalir tanpa bisa dihentikan. Perasaan kesal, bingung, dan terluka bercampur aduk dalam hatinya. Setelah kejadian di ruang tamu tadi, dia merasa terpojok, seakan-akan seluruh dunia ini dipenuhi dengan aturan yang harus dia ikuti tanpa bisa mengungkapkan keinginannya sendiri. Mario selalu mengatakan bahwa dia melindunginya, tapi di saat yang sama, Renaya merasa seperti ada sesuatu yang hilang—sesuatu yang membuatnya merasa bebas dan dihargai.
Di luar kamar, terdengar langkah kaki mendekat. Tanpa menunggu lagi, Mario masuk dan duduk di samping Renaya. Matanya yang penuh penyesalan bertemu dengan mata Renaya yang sudah merah karena menangis. Dia menghela napas panjang, merasa semakin tertekan melihat wanita yang sangat dia cintai terluka. Perlahan, Mario meraih tubuh Renaya dan menariknya dalam pelukannya.
"Renaya... aku minta maaf," bisiknya lembut, mencoba menenangkan perempuan itu yang masih terisak.
Renaya hanya diam sejenak, masih terisak dalam pelukan Mario. Namun, ketika mendengar kata-kata itu, dia terdiam. Setiap kali dia menangis, Mario datang dan berkata minta maaf. Namun, Renaya merasa bahwa kata-kata itu sering kali hanya sekadar penghiburan sementara, bukan solusi untuk masalah yang ada. Tanpa mengangkat kepalanya, dia berbisik pelan, "Daddy selalu dengan mudah meminta maaf."
Mario terdiam, merasa hatinya dipenuhi oleh kesalahannya sendiri. Ada rasa bersalah yang begitu dalam, tapi dia juga merasa seperti tidak tahu harus berbuat apa lagi. Dia hanya ingin membuat Renaya merasa aman, tapi sepertinya dia justru semakin mendorongnya menjauh dengan cara-cara yang salah.
"Aku tahu, Renaya," jawab Mario dengan suara yang penuh penyesalan. "Aku terlalu sering melakukannya, aku tahu. Tapi aku... aku hanya ingin kamu merasa aman. Aku nggak bisa bayangkan apa yang akan terjadi kalau aku membiarkanmu terlalu dekat dengan orang-orang yang bisa membahayakanmu."
Renaya menggeleng pelan, merasakan ketegangan yang masih menggantung di antara mereka. "Daddy, aku juga ingin merasa aman. Tapi bukan dengan cara seperti ini, bukan dengan cara mengontrol hidupku," jawab Renaya, suaranya semakin tegas meski masih terdengar lemah karena tangisannya.
Mario mengusap lembut rambut Renaya, mencoba mengerti perasaan gadis itu, meski hatinya terasa berat. "Aku hanya ingin yang terbaik untukmu, Renaya. Aku nggak ingin kamu terluka," katanya dengan pelan, seolah-olah mencari kata-kata yang bisa menjelaskan niat baiknya.
"Kadang, aku merasa seperti aku nggak bisa punya hidupku sendiri, Daddy," ujar Renaya, menatap mata Mario dengan penuh kesedihan. "Aku nggak bisa merasa bebas seperti sebelumnya. Aku nggak bisa merasa dihargai."
Mendengar itu, Mario terdiam, serasa tertusuk oleh kata-kata Renaya. Terkadang, meskipun dia merasa sedang berusaha melindungi, ternyata apa yang dia lakukan malah mengekang kebebasan Renaya. Seiring air matanya yang mulai surut, Renaya merasakan berat di dadanya. Dia ingin sekali ada jalan tengah antara melindungi dan memberi kebebasan. Tapi entah mengapa, semuanya terasa seperti kekacauan yang tak pernah selesai.
"Aku nggak tahu bagaimana cara yang benar, Renaya," kata Mario akhirnya, suaranya lemah, seperti seorang pria yang benar-benar tersesat dalam perasaannya sendiri. "Aku hanya... aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu ada untukmu. Aku ingin kita bisa melaluinya bersama, meski aku sering kali salah."
**
**
**
Bella melangkah masuk ke dalam rumah dengan langkah ringan, mencoba menyembunyikan kegugupan yang melanda dirinya. Ketika pintu tertutup, dia menemukan Arnold sudah duduk di ruang tamu, menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. Ada keheningan yang tegang di udara, dan Bella bisa merasakannya.
"Darimana saja kamu?" tanya Arnold, suaranya rendah namun penuh penekanan. "Tidak bisakah kamu sehari saja anteng di rumah?"
Bella tersenyum tipis, mencoba menjaga ketenangannya. "Aku banyak urusan dan arisan, sayang," jawabnya, nada suaranya terdengar biasa saja, meskipun dia tahu Arnold pasti bisa merasakan ada yang tidak beres.
Arnold hanya mengangguk, meski ada rasa curiga yang tertanam dalam hatinya. "Urusan dan arisan? Kamu lebih sering keluar akhir-akhir ini," katanya, suaranya semakin dalam.
Bella menahan napas sebentar, lalu dengan cepat berusaha mengalihkan perhatian. "Jangan khawatirkan aku, Sayang. Aku bisa mengurus semuanya dengan baik." Dengan senyum yang dipaksakan, dia melangkah mendekat, berusaha mencium pipi Arnold.
Namun, Arnold menahan langkahnya, tatapannya semakin tajam. "Apa kamu yakin, Bella? Aku sering merasa ada yang tidak beres."
Bella merasa hatinya mulai berdebar lebih cepat. "Apa maksudmu?" tanyanya, berusaha terdengar santai meskipun dia tahu betul apa yang sedang dipikirkan Arnold.
Arnold memandangi Bella lebih dalam, matanya menunjukkan kecurigaan yang semakin tumbuh. "Kamu tahu, aku bisa merasakan ketika kamu tidak jujur padaku. Jangan buat aku merasa seperti orang bodoh, Bella."
Bella merasa cemas, tapi dia berusaha menutupi perasaannya dengan tawa yang terpaksa keluar. "Oh, kamu terlalu berlebihan, sayang. Aku hanya pergi dengan teman-temanku. Itu semua hanya arisan biasa, seperti yang aku katakan tadi," jawab Bella, berharap bahwa kata-katanya bisa meyakinkan Arnold.
Tapi meskipun begitu, Arnold tetap memandangnya dengan ragu. "Aku tahu ada yang disembunyikan dariku. Kamu tidak pernah terlalu terbuka, Bella," katanya dengan nada yang semakin serius. "Jangan coba sembunyikan apapun dariku."