Di negeri magis Aelderia, Radena, seorang putri kerajaan yang berbakat sihir, merasa terbelenggu oleh takdirnya sebagai pewaris takhta. Hidupnya berubah ketika ia dihantui mimpi misterius tentang kehancuran dunia dan mendengar legenda tentang Astralis—sebuah senjata legendaris yang dipercaya mampu menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Dalam pelariannya mencari kebenaran, ia bertemu Frieden, seorang petualang misterius yang ternyata terikat dalam takdir yang sama.
Perjalanan mereka membawa keduanya melewati hutan gelap, kuil tersembunyi, hingga pertempuran melawan sekte sihir gelap yang mengincar Astralis demi kekuatan tak terbayangkan. Namun, untuk mendapatkan senjata itu, Radena harus menghadapi rahasia besar tentang asal-usul sihir dan pengorbanan yang melahirkan dunia mereka.
Ketika kegelapan semakin mendekat, Radena dan Frieden harus memutuskan: berjuang bersama atau terpecah oleh rahasia yang membebani jiwa mereka. Di antara pilihan dan takdir, apakah Radena siap memb
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dzira Ramadhan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3: Legenda Senjata Legendaris
Lorong-lorong bawah istana Aelderia dipenuhi dengan keheningan yang berat. Suara langkah kaki Radena bergema di dinding batu yang dingin, seolah-olah ia sedang berjalan di dalam perut naga yang sedang tidur.
Ia menggenggam mantel hitamnya erat-erat, berusaha melindungi dirinya dari hawa dingin yang merayap di bawah tanah. Di tangannya, tongkat sihir perak yang tipis itu berpendar samar, memberikan penerangan seperti kunang-kunang kecil.
“Aku tidak percaya aku melakukan ini,” gumamnya pada dirinya sendiri.
Perpustakaan Kuno di bawah istana adalah tempat yang tabu. Hanya Raja Altheron dan para penasihat tertinggi yang diizinkan masuk ke sana. Teks-teks di dalamnya dianggap terlalu berbahaya untuk dibaca oleh orang biasa, bahkan oleh bangsawan seperti dirinya.
Namun, Radena tidak punya pilihan. Jika ia ingin menemukan jawaban tentang mimpinya, dan mungkin tentang sosok berjubah hitam itu, ia harus mengambil risiko.
Setelah berjalan beberapa menit, ia akhirnya tiba di pintu besar yang dihiasi ukiran naga melingkar. Mata naga itu, yang terbuat dari batu rubi merah, tampak hidup saat Radena mendekat.
“Baiklah, ayo kita coba,” katanya, mengangkat tongkatnya.
Ia mengarahkan tongkat sihir itu ke salah satu mata naga. Sebuah mantra muncul di benaknya, seperti bisikan yang datang entah dari mana. Ia menggumamkan kata-kata itu pelan:
“Lumos Veritas.”
Mata naga menyala, dan suara gemuruh terdengar saat pintu besar itu terbuka perlahan. Di baliknya, perpustakaan itu terbentang seperti jurang yang dalam, dengan rak-rak tinggi yang penuh dengan buku-buku tua dan gulungan naskah.
Radena melangkah masuk, matanya dipenuhi kekaguman dan rasa takut. Di tengah ruangan, ada sebuah meja besar yang di atasnya terletak buku-buku yang sudah berlapis debu tebal. Satu buku, yang sampulnya hitam dengan tulisan emas, menarik perhatiannya.
Ia menyeka debu di sampulnya dan membaca judulnya: “Astralis: Senjata Bintang.”
Jantungnya berdegup lebih cepat. Nama itu sama seperti yang disebut dalam dongeng yang pernah ia dengar dari pustakawan istana.
Ia membuka buku itu dan mulai membaca. Tulisan-tulisan kuno di dalamnya tampak hidup di bawah cahaya sihir dari tongkatnya:
“Astralis adalah senjata yang diciptakan dari kekuatan naga pertama. Ia tidak hanya sebuah senjata, tetapi sebuah kunci untuk mengendalikan kekuatan sihir dunia. Namun, kekuatan sebesar itu membutuhkan pengorbanan besar. Astralis hanya bisa dipegang oleh dua jiwa yang saling terhubung oleh takdir.”
Radena membaca kalimat itu berulang kali. “Dua jiwa yang terhubung oleh takdir?” gumamnya.
Ia melanjutkan membaca.
“Mereka yang ingin menemukan Astralis harus mengikuti peta bintang yang tersembunyi di dalam Kuil Lumina. Tetapi berhati-hatilah, karena banyak yang telah mencoba dan gagal. Beberapa kehilangan nyawa mereka, yang lain kehilangan jiwa mereka.”
Radena menutup buku itu dengan keras. Rasa penasaran kini bercampur dengan ketakutan.
“Jika senjata ini benar-benar nyata, apa hubungannya denganku?”
Saat ia merenung, suara langkah kaki terdengar dari arah pintu masuk perpustakaan. Radena langsung memadamkan cahaya tongkatnya dan menyelinap ke balik salah satu rak.
Dari balik bayangan, ia melihat seorang pria masuk ke ruangan. Tingginya menjulang, dengan jubah cokelat kusam yang terlihat seperti tidak pernah dicuci. Di pinggangnya tergantung pedang kecil, dan rambut hitamnya berantakan seperti baru saja keluar dari medan perang.
Radena mengerutkan dahi. “Siapa dia?” bisiknya pada dirinya sendiri.
Pria itu tampaknya tidak menyadari kehadiran Radena. Ia berjalan dengan santai menuju meja tempat Radena meninggalkan buku Astralis. Ketika pria itu melihat buku itu, ia tersenyum kecil.
“Jadi kau juga mencarinya, ya?” gumam pria itu sambil memungut buku itu.
Radena, yang tidak tahan lagi, keluar dari persembunyiannya. “Hei! Itu bukuku!”
Pria itu terkejut dan berbalik dengan cepat. Matanya yang hijau gelap bertemu dengan mata Radena.
“Bukumu?” katanya, tertawa kecil. “Aku tidak melihat namamu di atasnya, Putri.”
Radena mendengus, melangkah mendekat dengan penuh percaya diri. “Aku yang menemukannya lebih dulu. Jadi, berikan itu padaku.”
Pria itu menatap Radena dengan penuh minat, lalu tersenyum nakal. “Kau pasti Putri Radena. Aku mendengar kau keras kepala, tapi aku tidak menyangka kau akan sejauh ini melanggar aturan.”
Radena mengerutkan kening. “Dari mana kau tahu namaku? Dan siapa kau sebenarnya?”
Pria itu membungkuk dengan gaya yang berlebihan. “Namaku Frieden. Aku seorang petualang... dan aku juga sedang mencari Astralis.”
Radena melipat tangannya, menatap Frieden dengan curiga. “Petualang, ya? Kedengarannya seperti alasan yang dibuat-buat.”
Frieden tertawa. “Dan kau? Apa alasanmu berada di sini? Jangan bilang kau juga ingin menjadi pahlawan dunia?”
Radena merasa darahnya mendidih. “Aku tidak punya waktu untuk bercanda. Kembalikan buku itu, atau—”
Ia mengangkat tongkat sihirnya, dan Frieden langsung mengangkat tangan. “Hei, tenanglah, Putri. Aku hanya bercanda.” Ia menyerahkan buku itu kembali kepada Radena, tetapi matanya tetap memancarkan rasa ingin tahu.
Radena mengambil buku itu dan memelototi Frieden. “Kalau kau mencoba menghalangiku, aku tidak akan segan-segan mengusirmu dari istana ini.”
Frieden tersenyum lebar. “Baiklah, Putri. Tapi kau akan membutuhkan bantuan. Percayalah, aku sudah menjelajahi lebih banyak tempat berbahaya daripada yang bisa kau bayangkan.”
Radena mengabaikan tawarannya dan berbalik menuju pintu keluar. Namun, di lubuk hatinya, ia tidak bisa menyangkal bahwa Frieden mungkin benar.
Kembali ke kamarnya, Radena duduk di tepi tempat tidurnya dengan buku Astralis di pangkuannya. Pikiran tentang legenda senjata itu terus bermain di kepalanya.
“Mungkinkah aku adalah salah satu jiwa yang disebut dalam legenda itu?”
Namun, ada sesuatu yang lebih mengganggunya: pria bernama Frieden itu. Ia tidak tahu apakah harus mempercayainya, tetapi ada sesuatu tentangnya yang terasa... penting.
Radena menghela napas panjang. Ia tahu satu hal dengan pasti: jika ia ingin menemukan kebenaran, ia tidak bisa melakukannya sendirian.
menemukan jawaban tentang mimpinya, dan mungkin tentang sosok berjubah hitam itu, ia harus mengambil risiko.
Setelah berjalan beberapa menit, ia akhirnya tiba di pintu besar yang dihiasi ukiran naga melingkar. Mata naga itu, yang terbuat dari batu rubi merah, tampak hidup saat Radena mendekat.
“Baiklah, ayo kita coba,” katanya, mengangkat tongkatnya.
Ia mengarahkan tongkat sihir itu ke salah satu mata naga. Sebuah mantra muncul di benaknya, seperti bisikan yang datang entah dari mana. Ia menggumamkan kata-kata itu pelan:
“Lumos Veritas.”
Mata naga menyala, dan suara gemuruh terdengar saat pintu besar itu terbuka perlahan. Di baliknya, perpustakaan itu terbentang seperti jurang yang dalam, dengan rak-rak tinggi yang penuh dengan buku-buku tua dan gulungan naskah.
Radena melangkah masuk, matanya dipenuhi kekaguman dan rasa takut. Di tengah ruangan, ada sebuah meja besar yang di atasnya terletak buku-buku yang sudah berlapis debu tebal. Satu buku, yang sampulnya hitam dengan tulisan emas, menarik perhatiannya.
Ia menyeka debu di sampulnya dan membaca judulnya: “Astralis: Senjata Bintang.”
Jantungnya berdegup lebih cepat. Nama itu sama seperti yang disebut dalam dongeng yang pernah ia dengar dari pustakawan istana.
Ia membuka buku itu dan mulai membaca. Tulisan-tulisan kuno di dalamnya tampak hidup di bawah cahaya sihir dari tongkatnya:
“Astralis adalah senjata yang diciptakan dari kekuatan naga pertama. Ia tidak hanya sebuah senjata, tetapi sebuah kunci untuk mengendalikan kekuatan sihir dunia. Namun, kekuatan sebesar itu membutuhkan pengorbanan besar. Astralis hanya bisa dipegang oleh dua jiwa yang saling terhubung oleh takdir.”
Radena membaca kalimat itu berulang kali. “Dua jiwa yang terhubung oleh takdir?” gumamnya.
Ia melanjutkan membaca.
“Mereka yang ingin menemukan Astralis harus mengikuti peta bintang yang tersembunyi di dalam Kuil Lumina. Tetapi berhati-hatilah, karena banyak yang telah mencoba dan gagal. Beberapa kehilangan nyawa mereka, yang lain kehilangan jiwa mereka.”
Radena menutup buku itu dengan keras. Rasa penasaran kini bercampur dengan ketakutan.
“Jika senjata ini benar-benar nyata, apa hubungannya denganku?”
Saat ia merenung, suara langkah kaki terdengar dari arah pintu masuk perpustakaan. Radena langsung memadamkan cahaya tongkatnya dan menyelinap ke balik salah satu rak.
Dari balik bayangan, ia melihat seorang pria masuk ke ruangan. Tingginya menjulang, dengan jubah cokelat kusam yang terlihat seperti tidak pernah dicuci. Di pinggangnya tergantung pedang kecil, dan rambut hitamnya berantakan seperti baru saja keluar dari medan perang.
Radena mengerutkan dahi. “Siapa dia?” bisiknya pada dirinya sendiri.
Pria itu tampaknya tidak menyadari kehadiran Radena. Ia berjalan dengan santai menuju meja tempat Radena meninggalkan buku Astralis. Ketika pria itu melihat buku itu, ia tersenyum kecil.
“Jadi kau juga mencarinya, ya?” gumam pria itu sambil memungut buku itu.
Radena, yang tidak tahan lagi, keluar dari persembunyiannya. “Hei! Itu bukuku!”
Pria itu terkejut dan berbalik dengan cepat. Matanya yang hijau gelap bertemu dengan mata Radena.
“Bukumu?” katanya, tertawa kecil. “Aku tidak melihat namamu di atasnya, Putri.”
Radena mendengus, melangkah mendekat dengan penuh percaya diri. “Aku yang menemukannya lebih dulu. Jadi, berikan itu padaku.”
Pria itu menatap Radena dengan penuh minat, lalu tersenyum nakal. “Kau pasti Putri Radena. Aku mendengar kau keras kepala, tapi aku tidak menyangka kau akan sejauh ini melanggar aturan.”
Radena mengerutkan kening. “Dari mana kau tahu namaku? Dan siapa kau sebenarnya?”
Pria itu membungkuk dengan gaya yang berlebihan. “Namaku Frieden. Aku seorang petualang... dan aku juga sedang mencari Astralis.”
Radena melipat tangannya, menatap Frieden dengan curiga. “Petualang, ya? Kedengarannya seperti alasan yang dibuat-buat.”
Frieden tertawa. “Dan kau? Apa alasanmu berada di sini? Jangan bilang kau juga ingin menjadi pahlawan dunia?”
Radena merasa darahnya mendidih. “Aku tidak punya waktu untuk bercanda. Kembalikan buku itu, atau—”
Ia mengangkat tongkat sihirnya, dan Frieden langsung mengangkat tangan. “Hei, tenanglah, Putri. Aku hanya bercanda.” Ia menyerahkan buku itu kembali kepada Radena, tetapi matanya tetap memancarkan rasa ingin tahu.
Radena mengambil buku itu dan memelototi Frieden. “Kalau kau mencoba menghalangiku, aku tidak akan segan-segan mengusirmu dari istana ini.”
Frieden tersenyum lebar. “Baiklah, Putri. Tapi kau akan membutuhkan bantuan. Percayalah, aku sudah menjelajahi lebih banyak tempat berbahaya daripada yang bisa kau bayangkan.”
Radena mengabaikan tawarannya dan berbalik menuju pintu keluar. Namun, di lubuk hatinya, ia tidak bisa menyangkal bahwa Frieden mungkin benar.
Kembali ke kamarnya, Radena duduk di tepi tempat tidurnya dengan buku Astralis di pangkuannya. Pikiran tentang legenda senjata itu terus bermain di kepalanya.
“Mungkinkah aku adalah salah satu jiwa yang disebut dalam legenda itu?”
Namun, ada sesuatu yang lebih mengganggunya: pria bernama Frieden itu. Ia tidak tahu apakah harus mempercayainya, tetapi ada sesuatu tentangnya yang terasa... penting.
Radena menghela napas panjang. Ia tahu satu hal dengan pasti: jika ia ingin menemukan kebenaran, ia tidak bisa melakukannya sendirian.