Mengisahkan Tentang Perselingkuhan antara mertua dan menantu. Semoga cerita ini menghibur pembaca setiaku
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gita Arumy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akhirnya Resmi Bercerai
Akhirnya Resmi Bercerai
Setelah berbulan-bulan penuh ketegangan, perasaan yang tak terungkapkan, dan perjalanan yang penuh emosi, akhirnya Nisa dan Arman berdiri di hadapan hakim untuk mengakhiri pernikahan mereka. Proses yang terasa begitu panjang dan penuh luka ini akhirnya tiba pada titik akhir.
Pagi itu, Nisa berdiri di depan pintu pengadilan, matanya menatap kosong ke arah gedung yang sepertinya semakin mendekatkan dirinya pada kenyataan yang tak bisa dihindari. Hatinya terasa berat, meskipun di dalam dirinya ada sedikit kelegaan, seolah ada bagian dari dirinya yang telah lepas dari beban yang telah lama membelenggunya. Namun, di sisi lain, perasaan itu juga disertai dengan kesedihan yang mendalam. Perpisahan ini adalah sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Semua yang pernah ia impikan tentang hidup bersama Arman kini sudah berakhir.
Di sisi lain, Arman juga datang dengan wajah yang penuh rasa bersalah. Meskipun ia berusaha menunjukkan kekuatan di luar, hatinya terasa hancur. Ia tidak pernah membayangkan pernikahannya akan berakhir seperti ini, dan ia tahu, meskipun ia akan terus mencintai Nisa, ia harus menerima kenyataan bahwa segala sesuatunya sudah tidak bisa kembali seperti semula.
Keduanya memasuki ruang sidang, di mana hakim duduk menunggu mereka. Semua proses ini berjalan dengan lancar, tetapi suasana di dalam ruang sidang terasa hening dan penuh ketegangan. Tidak ada kata-kata indah yang diucapkan, hanya proses hukum yang mengantar mereka pada perpisahan yang sudah mereka tentukan.
"Hari ini, saya akan memutuskan gugatan perceraian antara Nisa dan Arman," kata hakim dengan suara yang tegas, memecah keheningan. "Apakah keduanya sudah sepakat dengan keputusan ini?"
Nisa menatap Arman, matanya berisi kelelahan dan luka yang dalam. Arman menunduk, mengangguk pelan. Tidak ada lagi kata-kata yang mampu menjelaskan perasaan mereka saat itu. Semua yang mereka rasakan sudah terlalu sulit untuk diungkapkan.
"Ya, kami sepakat," jawab Nisa dengan suara yang berat.
"Baik, jika keduanya sepakat, maka saya akan memutuskan perceraian ini," kata hakim, menutup buku perkara. "Perceraian ini sah dan berlaku mulai hari ini."
Kata-kata itu seolah menggema di kepala Nisa. Meski ia sudah siap secara mental, kenyataan itu tetap menyakitkan. Ia merasa kehilangan banyak hal, terutama kenangan tentang pernikahan mereka yang dulu penuh dengan harapan. Namun, di saat yang sama, ada perasaan lega yang perlahan muncul. Ia tahu, dengan perceraian ini, ia bisa melangkah maju, mencoba untuk sembuh dari luka yang begitu dalam.
Arman berdiri di sampingnya, matanya tak lepas dari Nisa. Ia ingin sekali meminta maaf, ingin sekali mengungkapkan perasaannya, namun kata-kata tidak lagi bisa mengubah apa yang telah terjadi. Semua yang ada kini adalah rasa penyesalan yang mendalam, dan ia tahu bahwa apapun yang ia lakukan, semuanya sudah terlambat.
Setelah sidang selesai, mereka keluar dari ruang pengadilan dengan langkah yang berat, masing-masing berjalan menuju arah yang berbeda. Tidak ada kata-kata lebih lanjut antara mereka. Semua yang ada hanya rasa sakit, kebingungan, dan kenangan yang tak bisa terlupakan.
Di luar gedung pengadilan, Nisa berdiri sejenak, menatap langit yang cerah meski hatinya masih diselimuti awan kelabu. Ia merasa lelah, tapi juga merasa seperti ada beban yang sedikit berkurang. Ia tahu, meskipun perceraian ini bukanlah akhir yang bahagia, itu adalah keputusan yang benar untuk dirinya. Nisa ingin menemukan kedamaian dan kebahagiaan dalam hidupnya, meski harus melewati jalan yang penuh dengan air mata.
Arman yang berada beberapa langkah di belakangnya hanya bisa menatap punggung Nisa, merasakan betapa beratnya perpisahan ini. Ia tahu bahwa ia telah kehilangan segalanya—kehilangan Nisa, kehilangan keluarganya, dan mungkin, kehilangan dirinya sendiri dalam perjalanan ini.
Maya, yang sudah beberapa hari sebelumnya mengetahui keputusan Nisa dan Arman, hanya bisa menunggu dengan cemas di rumah. Ketika Arman pulang, wajahnya penuh dengan kecemasan. Ia tahu, meskipun Arman tidak mengatakannya, hati Arman sedang hancur.
"Arman," kata Maya pelan, saat melihat anaknya masuk ke dalam rumah. "Bagaimana sidangnya?"
Arman hanya mengangguk, wajahnya datar. "Perceraian itu resmi," jawabnya singkat.
Maya menghela napas panjang, merasa tercekik oleh penyesalan. "Aku tahu ini tidak mudah. Aku menyesal, Arman. Aku menyesal atas semuanya."
"Ini bukan waktunya untuk menyalahkan siapa-siapa, Mama," jawab Arman dengan suara rendah, penuh kelelahan. "Yang penting sekarang, aku harus berusaha menjalani hidup tanpa Nisa. Aku tahu aku harus bertanggung jawab, tapi aku juga harus menerima kenyataan bahwa dia sudah tidak ada dalam hidupku."
Maya tidak tahu lagi apa yang harus dikatakan. Ia tahu bahwa anaknya sedang terluka, dan meskipun ia ingin memberikan penghiburan, ia juga tahu bahwa tidak ada yang bisa mengubah kenyataan pahit ini.
Di sisi lain, Nisa pulang ke rumah yang dulu ia tinggali bersama Arman, namun kini terasa sangat asing. Rumah itu tidak lagi menjadi tempat yang hangat dan penuh cinta, melainkan sebuah kenangan yang telah hancur. Nisa meletakkan tasnya di meja, lalu duduk di tepi ranjang. Ia menatap foto-foto lama yang ada di dinding, kenangan indah yang kini terasa seperti masa lalu yang jauh.
Meskipun perceraian ini adalah keputusan yang sulit, Nisa tahu bahwa ia harus melangkah maju. Ia harus mengakhiri babak kelam dalam hidupnya dan mulai mencari kebahagiaan baru, meskipun perjalanan itu pasti tidak akan mudah. Ia menatap cermin, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia cukup kuat untuk menghadapi apa yang akan datang.
"Ini bukan akhir," gumam Nisa pada dirinya sendiri, mencoba menenangkan hati yang masih terluka. "Ini adalah awal dari hidup yang baru."
Dengan satu langkah tegas, Nisa menutup pintu di belakangnya, meninggalkan masa lalu dan memulai babak baru dalam hidupnya.