Kapan lagi baca novel bisa dapat hadiah?
Mampir yuk gaes, baca novelnya dan menangkan hadiah menarik dari Author 🥰
-------------------
"Aku akan mendapatkan peringkat satu pada ujian besok, Bu. Tapi syaratnya, Bu Anja harus berkencan denganku."
Anja adalah seorang guru SMA cantik yang masih jomblo meski usianya sudah hampir 30 tahun. Hidupnya yang biasa-biasa saja berubah saat ia bertemu kembali dengan Nathan, mantan muridnya dulu. Tak disangka, Nathan malah mengungkapkan cinta pada Anja!
Bagaimana kelanjutan kisah antara mantan murid dan guru itu? Akankah perbedaan usia di antara keduanya menghalangi cinta mereka? Ikuti kisah mereka di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Tepati Janjimu
"Bu Anja?" suara berat Nathan memotong ucapan Anja. Nenek dan Anja spontan menoleh ke sumber suara. "Bu Anja ngapain di sini?"
Nathan berjalan menghampiri Anja dan nenek dengan wajah marah. "Bu Anja ngomong apa aja sama nenek?"
"Nathan," Nenek bangkit dari duduknya dan memukul bahu Nathan kuat-kuat. "Yang sopan kalau ngomong sama gurumu!"
Nathan mendengus, memandang Anja dengan tatapan kesal. "Bu Anja mau merayu nenek supaya menyuruh aku sekolah?"
"Kamu memang harus sekolah! Siapa yang mengajari kamu untuk meninggalkan sekolah, hah?! Kalau saja kakek tau kelakuanmu, dia pasti langsung bangkit dari kubur!"
Nathan hanya terdiam saat sang nenek mengomelinya sambil terus memukul bahunya. Sementara itu matanya masih menatap tajam Anja.
"Maaf nek, boleh saya bicara berdua saja dengan Nathan?" Anja mencoba menengahi mereka.
"Nggak mau. Mau bicara apa lagi Bu? Kan aku sudah bilang, kalau memang aku mau dikeluarkan dari sekolah, silahkan saja! Aku tidak peduli!"
"Astaghfirullah, Nathan!" Nenek mengurut dadanya sendiri. "Siapa yang mengajari kamu bicara seperti itu kepada gurumu?!"
"Sebentar lagi dia tidak akan jadi guruku, nek!"
"NATHAN!"
"Tidak apa-apa Nek. Sudah, tidak apa-apa," Anja mencoba melerai. "Nathan, jangan berdebat lagi dengan nenek. Kita bicara dulu baik-baik, ya?"
Anja kemudian mengantarkan Nenek menuju kamarnya untuk beristirahat, sementara itu Nathan hanya terdiam di tempatnya.
Saat Anja keluar dari kamar nenek, ia melihat Nathan sudah duduk di atas kursi sambil menyilangkan tangan ke dada. Sembari mencoba untuk tetap tersenyum, Anja menghampiri anak muridnya itu.
"Kamu sudah dua hari tidak masuk sekolah tanpa keterangan," Anja memulai pembicaraan dengan hati-hati. "Apa selama ini kamu bekerja?"
"Hm," Nathan menjawab singkat.
Anja menganggukkan kepala sambil menghela napas panjang, berusaha tetap bersikap tenang. "Nathan, kedatangan ibu ke sini bukan bermaksud untuk mengadukan kamu kepada nenekmu. Justru, ibu kesini ingin meminta maaf kepadamu. Kemarin, ibu sudah bersikap keterlaluan,"
Nathan terkesiap mendengar ucapan Anja. "Barusan, ibu minta maaf padaku?"
"Iya," Anja menganggukkan kepala. "Apa ada masalah?"
Nathan menggelengkan kepala. "Hanya saja, selama ini belum pernah ada orang dewasa yang meminta maaf padaku,"
Anja tersenyum, menggenggam tangan Nathan dengan lembut. "Nathan, orang dewasa juga manusia. Ada kalanya mereka melakukan kesalahan dan harus minta maaf. Sama seperti ibu, ibu juga sudah melakukan kesalahan dan meminta maaf padamu."
Nathan menatap tangannya yang digenggam oleh Anja dalam diam.
"Nathan, apa mungkin kamu bisa menghubungi ayah kamu untuk minta tolong?"
Nathan sontak melepaskan tangannya dari genggaman Anja, menatap wanita itu dengan kesal. "Meminta tolong laki-laki yang sudah membunuh ibuku itu? Aku tidak sudi Bu,"
"Tapi Nathan, beban ini akan sangat sulit untuk kamu tanggung sendirian. Kamu butuh orang dewasa untuk membantu kamu dan nenek,"
"Aku bisa melakukannya sendiri bu. Lebih baik aku keluar dari sekolah daripada harus meminta tolong pada baj*ngan itu," Nathan lantas bangkit dari duduknya, bersiap untuk pergi, tapi Anja dengan cepat menahan lengannya.
"Tidak, tidak, kamu tidak boleh keluar dari sekolah, sama sekali tidak boleh," Anja menggelengkan kepalanya, mulai berpikir dengan cepat. "Ibu akan memikirkan solusinya. Malam ini ibu pasti akan menemukan cara untuk membantu kamu. Tapi ibu mohon, besok datanglah ke sekolah."
"Sudah aku bilang kan bu, mau dikeluarkan atau tidak dari sekolah pun, aku tidak—"
"Bukan demi ibu, tapi demi nenek," Anja menatap lurus ke mata Nathan, mencoba bertahan dari tatapan tajam anak muridnya itu. "Ibu yakin, nenek juga pasti tidak mau melihat cucunya mengorbankan masa depannya sendiri,"
Nathan menghela napas panjang, mendengus kesal ke arah wali kelasnya yang bertubuh mungil itu. Anja tetap tak gentar. Ia masih terus memegang lengan Nathan sambil menatap lurus wajahnya.
"Mau sampai kapan Bu Anja memegang tanganku?"
"Sampai kamu setuju untuk berangkat sekolah besok,"
"Astaga," Nathan mencoba mengibaskan tangan Anja, tapi wanita itu tak bergeming. Nathan sampai mengerutkan keningnya heran. "Apa tangan Bu Anja itu semacam lintah penghisap?"
"Seratus untukmu Nathan. Ibu memang cenderung suka menempel pada orang sampai keinginan ibu terwujud. Sekarang, kamu mau bagaimana? Tetap menolak atau kita akan begini selamanya?"
Nathan mengacak rambutnya frustasi. Baru kali ini dirinya menghadapi orang dewasa yang menyebalkan. Orang dewasa lainnya juga menyebalkan sih, tapi yang ini serasa dua kali lipat kadar menyebalkannya. Nathan sampai lelah sendiri menghadapinya.
"Oke, Oke, sekarang, lepaskan aku," Nathan akhirnya mengalah, meski raut wajahnya terlihat tak ikhlas.
"Serius kamu? Kamu nggak cuma bohongin ibu kan?"
"Hm," Nathan menjawab dengan nada cuek.
"Kamu besok akan berangkat sekolah kan?"
"Hmmm," Nathan menjawab tak jelas.
"Hei! Jawab yang benar!"
"Iya Bu Anja... Besok aku akan berangkat sekolah!" Nathan mulai merasa kesal, terdengar dari nada bicaranya yang terdengar meninggi.
"Bagus," Berkebalikan dengan Nathan, Anja malah tersenyum lebar. "Pastikan untuk menepati janjimu Nathan, atau Ibu akan kembali kesini dan menempel padamu,"
Dengan senyum secerah matahari, Anja lantas melangkah menuju kamar nenek dengan riang untuk berpamitan. Nenek berulang kali mengucapkan terimakasih pada Anja yang telah perhatian pada Nathan.
"Nathan, antarkan bu guru kamu itu pulang, kasian dia sudah jauh-jauh kesini," pinta nenek pada sang cucu.
"Apa? Nggak mau nek! Salah sendiri mau jauh-jauh datang ke sini," tolak Nathan mentah-mentah.
"Nathan!" Nenek mendelik, dan hal itu cukup membuat Nathan menurut. Anja jadi memahami satu hal. Bahwa anak se-rebel Nathan ternyata masih mau menurut pada neneknya. Pada akhirnya, Anja pun pulang dengan diantar oleh Nathan menggunakan motor bututnya.
"Terimakasih karena sudah mengantarkan ibu. Jangan lupa, besok kamu harus berangkat sekolah," ucap Anja setelah mereka sampai di depan rumah Anja.
"Hmm..." Nathan menjawab dengan nada acuh tak acuh, lantas segera ia gas motornya itu pergi dari pelataran rumah Anja.
"Sampai ketemu besok Nathan!" Anja melambaikan tangannya sambil berteriak-teriak, membuat Nathan merasa malu pada orang-orang yang melihat mereka.
Malam harinya, Anja langsung sibuk berkutat di depan laptop. Saking sibuknya, ia sampai tak sadar sudah menghabiskan waktu selama berjam-jam di sana. Ibu, yang melihat lampu kamar putrinya belum mati, merasa heran.
"Nak?" Ibu membuka pintu kamar Anja perlahan. "Kamu belum tidur jam segini?"
"Iya Bu, bentar lagi," jawab Anja tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop.
"Kamu ngerjain apa sih? Nggak bisa ditunda besok aja? Ini udah jam tiga pagi, besok kamu masih harus sekolah loh,"
"Iya Bu, Anja tau kok. Tinggal dikiiiit lagi," Anja kali ini menoleh ke arah Ibu dan membuat ekspresi memohon.
"Yaudah, terserah kamu lah. Tapi awas kalau besok marah-marah karena kesiangan,"
"Nggak kok Bu, tenang aja,"
Pintu pun ditutup oleh Ibu.
Esoknya, Anja benar-benar menepati janjinya. Ia bangun pagi-pagi buta —lebih tepatnya, ia tak bisa tidur sama sekali semalam— dan langsung bersiap-siap berangkat sekolah. Ia bahkan tidak sarapan dan memilih pergi menggunakan ojek online ketimbang menunggu sang adik, hanya agar bisa berangkat lebih pagi. Tapi, saat sampai di sekolah, Anja justru tidak langsung masuk kantor, melainkan menunggu di depan gerbang.
"Bu Anja? Ngapain berdiri di sini?" Tanya pak satpam dengan heran.
"Eh, nggak apa-apa kok Pak, cuma mau liat anak-anak aja," dalih Anja. Pak satpam pun tidak bertanya lagi dan membiarkan saja Anja berdiri di depan gerbang.
Anja terus berdiri di sana sampai semua murid di SMA itu akhirnya masuk. Bel masuk pun akan berbunyi lima menit lagi, tapi tak ada tanda-tanda kedatangan orang yang ditunggu-tunggu Anja.
"Bu!" Panggil pak satpam untuk kedua kalinya. "Ibu mau berdiri di situ aja? Ini udah mau masuk loh Bu!"
"I-iya Pak! Sebentar lagi kok!" Anja masih terus melihat jalanan di depan sekolah dengan wajah khawatir. Nathan, dimanakah dirimu?
Tak berselang lama, sosok yang sangat ditunggu Anja pun tiba. Nathan, cowok berbadan tinggi besar itu tampak berlari menuju gerbang. Wajah cemas Anja langsung berubah cerah. Nathan datang!
"Nathan! Ayo cepat! Cepat!" Anja melambaikan tangannya ke arah Nathan, dan Nathan yang melihat Anja langsung mempercepat langkahnya. Tepat sebelum gerbang ditutup, Nathan dan Anja pun berhasil masuk ke dalam sekolah.
"Bu Anja...nungguin aku?" Nathan bertanya dengan napas terengah-engah. "Kenapa? Kenapa Bu Anja nungguin aku? Gimana kalau aku nggak datang? Apa Bu Anja akan tetap nungguin aku di sana?"
Anja tersenyum sambil menepuk-nepuk pundak Nathan. "Tentu saja. Karena ibu percaya kamu akan menepati janjimu Nathan,"
kamu g tahu aj sebucin apa Nathan