Seorang penjual keliling bernama Raka, yang punya jiwa petualang dan tidak takut melanggar aturan, menemukan sebuah alat kuno yang bisa membawanya ke berbagai dimensi. Tidak sengaja, ia bertemu dengan seorang putri dari dimensi sihir bernama Aluna, yang kabur dari kerajaan karena dijodohkan dengan pangeran yang tidak ia cintai.
Raka dan Aluna, dengan kepribadian yang bertolak belakang—Raka yang konyol dan selalu berpikir pendek, sementara Aluna yang cerdas namun sering gugup dalam situasi berbahaya—mulai berpetualang bersama. Mereka mencari cara untuk menghindari pengejaran dari para pemburu dimensi yang ingin menangkap mereka.
Hal tersebut membuat mereka mengalami banyak hal seperti bertemu dengan makhluk makhluk aneh dan kejadian kejadian berbahaya lainnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zoreyum, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pencarian Didalam Hutan
Raka masih duduk bersandar di batang pohon yang besar, memandang langit yang dipenuhi bintang-bintang hijau yang aneh. Meskipun mereka sudah berhasil kabur dari markas Penjaga Keseimbangan Dimensi, perasaan lega hanya bertahan sebentar. Ada terlalu banyak pertanyaan yang belum terjawab, terutama tentang Kunci Dimensi yang kini tergantung di pinggang Raka.
"Aku percaya padamu, Aluna," kata Raka lagi, sambil memandangi alat itu dengan ekspresi yang penuh rasa ingin tahu. "Tapi jujur saja, aku masih bingung kenapa benda ini memilihku. Maksudku, dari semua orang di dunia ini, kenapa aku yang malah terjebak dengan alat ajaib ini?"
Aluna tersenyum kecil, meski wajahnya masih penuh pertimbangan. "Kadang-kadang, takdir memilih orang yang tidak disangka-sangka. Mungkin kau memang belum menyadarinya, tapi aku percaya bahwa ada alasan mengapa alat itu bereaksi padamu."
Raka menghela napas panjang dan menggaruk kepalanya. "Yah, seandainya alat ini bisa bicara dan kasih tahu langsung, hidup pasti lebih mudah."
Mendengar itu, Aluna tertawa kecil, senyum manis terukir di wajahnya. "Aku setuju. Seandainya semua misteri bisa terjawab dengan semudah itu."
Fluffernox, yang sejak tadi asyik berlarian di sekitar mereka, tiba-tiba melompat ke pangkuan Raka dan mulai mendengkur seperti kucing. Makhluk kecil itu tampak puas, seolah-olah tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Raka menatap Fluffernox dan tersenyum.
"Setidaknya, Fluffy nggak pernah terlalu pusing soal takdir dan alat ajaib. Dia cuma hidup dan menikmati setiap detik," kata Raka, mengusap kepala Fluffernox yang berbulu halus.
Aluna memandang Raka dengan tatapan lembut, tetapi kemudian raut wajahnya berubah serius lagi. "Raka, meskipun kita berhasil kabur untuk sementara, Penjaga Keseimbangan Dimensi pasti tidak akan membiarkan kita pergi begitu saja. Mereka akan mencari kita, terutama karena kita membawa alat yang sangat penting."
Raka mengangguk pelan. "Aku tahu. Tapi... apa yang bisa kita lakukan sekarang? Kita nggak bisa terus-terusan lari. Kau bilang kita harus belajar lebih banyak tentang Kunci Dimensi ini, tapi di mana kita bisa menemukan informasi yang lebih banyak?"
Aluna berpikir sejenak, kemudian menatap Raka dengan tekad yang baru muncul di matanya. "Ada satu tempat yang mungkin bisa memberikan kita jawaban—dimensi sihir kuno. Di sana, ada banyak catatan tentang artefak-artefak magis dan sejarah panjang tentang sihir dimensi. Jika kita bisa mencapai dimensi itu, kita mungkin bisa menemukan sumber asli alat ini dan mempelajari cara mengendalikannya."
Raka, yang tadinya bersikap santai, langsung duduk tegak, matanya terbelalak. "Dimensi sihir kuno? Tempat di mana semua penyihir hebat berasal?"
Aluna mengangguk. "Ya, di sana, segala pengetahuan tentang sihir disimpan. Tapi tempat itu juga sangat terlindungi. Banyak yang bilang bahwa hanya penyihir hebat yang bisa bertahan lama di sana, karena energi magisnya begitu kuat dan bisa membahayakan orang yang tidak siap."
Raka menelan ludah, terlihat agak panik. "Kedengarannya... sangat berbahaya. Tapi kau kan penyihir? Kau pasti bisa bertahan, kan?"
Aluna tertawa kecil, meski ada sedikit ketegangan di matanya. "Aku memang penyihir, tapi aku belum pernah ke sana. Kita harus sangat berhati-hati. Tapi kurasa ini satu-satunya cara untuk menemukan jawaban yang kita butuhkan."
Raka terdiam sejenak, memikirkan rencana itu. Meskipun dia merasa gentar dengan ide pergi ke dimensi sihir kuno, dia juga tahu bahwa mereka tidak punya pilihan lain. Mereka butuh jawaban, dan semakin lama mereka menunda, semakin besar risiko yang mereka hadapi.
"Baiklah," kata Raka akhirnya, sambil menghembuskan napas panjang. "Aku siap. Meski aku nggak tahu bagaimana kita bisa sampai ke sana tanpa tersedot ke dimensi yang salah lagi."
Aluna tersenyum, kali ini dengan penuh keyakinan. "Kali ini, aku akan memandu. Jika kau menggunakan alat itu dengan aku yang memfokuskan tujuannya, kita punya peluang lebih baik untuk mencapai dimensi sihir."
Raka menatap Aluna sejenak, merasa sedikit lebih tenang karena gadis itu tampaknya memiliki rencana. "Oke, kalau begitu... kapan kita mulai?"
Aluna memandang ke arah langit yang sudah mulai berubah warna menjadi keunguan, menandakan bahwa malam akan segera datang. "Besok pagi. Kita perlu istirahat dan mempersiapkan diri. Dimensi sihir kuno bukan tempat yang bisa kita masuki dengan terburu-buru."
Raka mengangguk. "Setuju. Malam ini, kita istirahat dulu. Siapa tahu, besok kita bisa menghadapi tantangan besar dengan kepala yang lebih segar."
---
Sementara Raka dan Aluna merencanakan perjalanan mereka menuju dimensi sihir kuno, di Kerajaan Eldar, Pangeran Radit dan Rudolf terus mengikuti jejak magis yang ditinggalkan Aluna. Jejak itu membawa mereka semakin dalam ke dalam hutan, di mana pepohonan semakin tinggi dan suasana semakin sunyi.
Radit berjalan dengan semangat, meski sesekali dia terlihat agak kebingungan. "Rudolf, kau yakin jejak ini menuju ke arah yang benar? Kita sudah berjalan cukup jauh, dan aku merasa seperti kita hanya berputar-putar di hutan ini."
Rudolf, yang selalu tenang, menjawab dengan lembut, "Jejak ini masih kuat, Yang Mulia. Kita akan segera menemukan sesuatu, saya yakin."
Radit menghela napas dan melemparkan tatapan ragu ke sekelilingnya. "Yah, aku harap kau benar. Soalnya, aku mulai bosan berjalan tanpa arah di sini. Mungkin kita bisa istirahat sebentar? Aku perlu memeriksa... eh, peralatan daganganku. Kau tahu, sebagai pedagang keliling."
Rudolf menoleh dan tersenyum tipis, sedikit terhibur oleh tingkah kekanak-kanakan Radit. "Tentu, Yang Mulia. Tapi jangan lupa, kita harus tetap waspada. Hutan ini mungkin terlihat tenang, tapi kita tidak tahu apa yang menunggu di depan."
Radit duduk di atas batang pohon tumbang dan mulai membongkar tasnya dengan gaya dramatis, seolah-olah dia memang seorang pedagang sejati. Dia mengeluarkan beberapa barang yang jelas-jelas bukan alat dagangan, seperti jubah kerajaan yang disembunyikan dengan tidak rapi, dan beberapa koin emas yang dia lupa masukkan kembali ke dalam kantong.
"Ah, lihat ini," kata Radit sambil mengangkat salah satu koin emas dan memandangi cahayanya. "Ini mungkin bisa membantu kita... jika kita tiba-tiba membutuhkan koin untuk membeli informasi."
Rudolf menahan tawa, tetapi kemudian matanya terfokus pada jejak sihir yang mulai memudar di udara. "Yang Mulia, saya rasa kita tidak jauh lagi. Jejak ini semakin jelas."
Radit langsung berdiri dengan semangat baru, memasukkan barang-barangnya kembali ke dalam tas dengan terburu-buru. "Bagus! Mari kita lanjutkan sebelum jejak itu hilang!"
Mereka berdua melanjutkan perjalanan, kali ini dengan langkah lebih cepat. Semangat Radit kembali bangkit, meski tingkah cerobohnya kadang-kadang membuat Rudolf harus mengingatkannya untuk lebih berhati-hati. Namun, di balik semua kekonyolan itu, ada kesungguhan di mata Radit. Dia benar-benar ingin menemukan Aluna, meskipun awalnya dia hanya menganggap perjodohan ini sebagai cara untuk mendapatkan pujian dari ayahnya.
Ketika mereka semakin dalam ke hutan, tiba-tiba mereka mendengar suara gemerisik di sekitar mereka. Radit langsung melangkah mundur dengan cemas. "Eh, Rudolf... apa kau dengar itu?"
Rudolf memandang sekeliling dengan tenang, tangannya siap merapal sihir jika diperlukan. "Ya, Yang Mulia. Sepertinya kita tidak sendirian di sini."
Mata Radit melebar, dan dia secara refleks menarik keluar pedang kecil yang dia bawa—meski jarang sekali dia benar-benar menggunakannya. "Uh, mungkin kita harus... mundur sedikit? Aku nggak suka suasana ini."