Amara adalah seorang wanita muda yang bekerja di sebuah kafe kecil dan bertemu dengan Adrian, seorang pria sukses yang sudah menikah. Meski Adrian memiliki pernikahan yang tampak bahagia, ia mulai merasakan ketertarikan yang kuat pada Amara. Sementara itu, Bima, teman dekat Adrian, selalu ada untuk mendukung Adrian, namun tidak tahu mengenai perasaan yang berkembang antara Adrian dan Amara.
Di tengah dilema cinta dan tanggung jawab, Amara dan Adrian terjebak dalam perasaan yang sulit diungkapkan. Keputusan yang mereka buat akan mengubah hidup mereka selamanya, dan berpotensi menghancurkan hubungan mereka dengan Bima. Dalam kisah ini, ketiganya harus menghadapi perasaan yang saling bertautan dan mencari tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan dalam hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cocopa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayang-Bayang Ketidakpastian
Pagi itu, seperti biasa, Amara bangun lebih dulu. Matahari belum sepenuhnya terbit, namun ia sudah duduk di depan meja makan, menyeduh secangkir kopi hangat. Tak ada suara lain selain desiran angin yang menembus celah-celah jendela rumah besar mereka. Keheningan pagi di rumah ini begitu kontras dengan hiruk-pikuk kota di luar.
Amara menatap secangkir kopi di tangannya, pikirannya mulai melayang pada percakapan yang terjadi semalam. Suasana makan malam yang penuh ketegangan masih terasa, meskipun Bima sudah berlalu ke kantor sejak pagi. Bima memang berjanji akan lebih sering di rumah, tapi janji itu sudah sering kali diucapkan tanpa ada bukti nyata. Ia hanya berharap kali ini janji itu tidak seperti yang lainnya—seperti janji manis yang hilang ditelan kesibukan.
Suasana pagi terasa lebih sepi tanpa kehadiran Bima. Amara tidak tahu apakah itu hanya perasaan atau memang benar, tapi ia merasa rumah ini mulai kehilangan kehidupannya. Ia merasakan ada sesuatu yang hilang dalam kehidupan mereka. Sesuatu yang tak dapat ia sentuh, namun begitu nyata. Kehilangan itu tidak datang tiba-tiba, tetapi perlahan, seperti debu yang menutupi permukaan benda yang sudah lama tidak dibersihkan.
Pagi yang sunyi membuatnya lebih banyak berpikir tentang hubungan mereka. Ia ingin berbicara, meluapkan semua kekhawatirannya, tapi entah kenapa, setiap kali ia ingin membuka hati, kata-kata itu terasa berat untuk keluar. Bima, suaminya, adalah pria yang penuh dengan ambisi dan tekad. Semua yang dilakukan Bima selalu berhubungan dengan pekerjaannya—perusahaan yang ia bangun, proyek-proyek besar yang harus diselesaikan, dan jadwal yang padat.
Namun, di balik semua itu, ada rasa sepi yang tak terhindarkan. Amara tahu Bima mencintainya, tetapi apakah itu cukup? Apakah hanya cinta saja yang bisa menyelamatkan mereka?
"Amara, kamu belum sarapan?" Suara Bima yang tiba-tiba membuat Amara terkejut. Ia menoleh, melihat Bima berdiri di ambang pintu ruang makan dengan jas rapi dan dasi yang masih terpasang. Wajahnya terlihat lebih segar dari kemarin, meskipun ada kelelahan yang tersisa di matanya.
Amara tersenyum lemah, meletakkan cangkir kopinya. "Aku sudah sarapan, kok," jawab Amara dengan nada ringan. "Kamu kelihatan sibuk, sudah siap berangkat?"
Bima mengangguk, lalu berjalan mendekat. Ia duduk di kursi samping Amara, menyandarkan tubuhnya. "Iya, banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan hari ini. Tapi aku ingin berbicara sebentar."
Amara mengangkat alisnya. "Tentang apa?"
Bima menghela napas, menatap Amara dengan tatapan serius. "Tentang kita."
Hati Amara berdegup kencang. Kata-kata itu menggetarkan hatinya. Ia sudah menunggu percakapan ini, meski ia tidak tahu apa yang akan dikatakan Bima. Apakah Bima merasa hal yang sama dengan dirinya? Apakah Bima merasakan ketegangan yang ada di antara mereka?
"Aku sadar belakangan ini kita semakin jauh, Amara," lanjut Bima dengan suara pelan. "Aku ingin memperbaikinya. Aku tidak ingin kamu merasa seperti ini terus."
Amara menatap Bima, melihat kerutan di dahi suaminya yang tampak penuh dengan beban. Ada sesuatu yang berbeda dalam cara Bima berbicara kali ini. Seperti ada kesadaran bahwa sesuatu yang lebih dari sekadar rutinitas hidup mereka harus diperbaiki.
"Aku tidak tahu harus mulai dari mana," Bima berkata, menggenggam tangannya dengan lembut. "Tapi aku janji, aku akan berusaha lebih baik."
Amara merasa seolah sebuah beban berat jatuh di pundaknya. Semua kekhawatirannya, keraguannya, mulai mereda. Bima memang berusaha, dan itu adalah langkah pertama. Namun di sisi lain, hatinya masih dipenuhi keraguan. Mungkinkah janji ini akan bertahan lama? Ataukah ini hanya satu lagi janji yang menguap begitu saja, seperti sebelumnya?
"Aku juga ingin lebih dekat lagi, Bima," jawab Amara dengan suara lembut, meskipun hatinya penuh dengan perasaan yang campur aduk. "Tapi… kita berdua harus saling memberi ruang, kan? Kita nggak bisa cuma mengandalkan kata-kata."
Bima terdiam sejenak, menatap Amara dengan tatapan penuh penyesalan. "Kamu benar. Aku harus menunjukkan itu dengan tindakan, bukan hanya janji."
Keheningan kembali mengisi ruang di antara mereka. Amara tahu, ini bukanlah akhir dari masalah mereka, melainkan awal dari perubahan yang harus terjadi. Mereka harus lebih dari sekadar pasangan yang ada di dalam satu rumah. Mereka harus kembali menjadi dua orang yang saling berbagi, saling mengerti, dan saling mendukung.
Setelah beberapa saat, Bima berdiri dan berjalan menuju pintu. "Aku harus berangkat sekarang. Kita bicara lagi nanti, ya?" Bima menoleh sekali lagi, tersenyum kecil pada Amara. "Aku berjanji."
Amara mengangguk, merasa sedikit lebih lega meskipun hatinya masih penuh pertanyaan. "Hati-hati di jalan, Bim."
Begitu Bima keluar dari rumah, Amara kembali ke kursinya. Ia menatap jendela besar yang menghadap ke taman. Udara pagi yang sejuk menyapu wajahnya, namun hatinya masih terasa panas. Ia tahu perubahan ini tidak akan terjadi dalam semalam. Mereka harus melalui banyak hal untuk menemukan kembali cinta yang pernah ada di antara mereka. Tidak mudah, dan Amara tahu, jalan yang mereka pilih mungkin akan penuh dengan rintangan.
Amara meraih ponselnya dan membuka pesan-pesan yang masuk. Salah satunya dari temannya, Lina, yang mengirimkan foto Sekar—sekretaris baru Bima yang disebut-sebut ambisius itu. Lina menulis pesan singkat: "Sekar itu bisa jadi ancaman, loh, Amara. Dia terlihat sangat dekat dengan Bima."
Amara menatap foto Sekar yang ada di ponselnya. Wanita itu terlihat profesional dengan gaun hitam yang elegan, rambut panjang tergerai dengan rapi, dan senyum yang memikat. Meskipun sekilas terlihat seperti wanita biasa, ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Amara merasa tak nyaman. Apakah ini hanya perasaan saja? Amara bertanya dalam hati.
Dia menghela napas, mencoba menenangkan pikirannya. Ia tahu ia tidak bisa hidup hanya dengan kecemasan. Jika Bima berkata ia akan berusaha, maka ia harus memberi ruang bagi suaminya untuk membuktikan kata-katanya. Namun, bayangan Sekar tetap terlintas dalam benaknya, menggoyahkan keyakinannya.
"Jangan terlalu khawatir," Amara berbisik pada dirinya sendiri. "Tapi tetap waspada."
Di sisi lain kota, Sekar baru saja menyelesaikan rapat pagi dengan Bima. Ia adalah sosok yang ambisius, penuh semangat, dan sangat profesional. Keberhasilannya dalam dunia kerja bukanlah hal kebetulan. Sejak kecil, ia selalu diajarkan untuk bekerja keras, dan kini, ia telah berhasil menempatkan dirinya di posisi yang sangat penting dalam perusahaan Bima. Ia tidak hanya menjadi sekretaris, tetapi juga memiliki pengaruh besar dalam berbagai keputusan yang diambil oleh Bima.
Sekar berjalan keluar dari ruang rapat, ponsel di tangan, matanya memeriksa pesan yang masuk. Ia tersenyum kecil ketika melihat pesan dari Bima yang memberitahunya tentang makan siang yang akan datang. Sekar merasa semakin dekat dengan Bima—suaminya yang baik hati dan selalu peduli. Namun, ia juga tahu, meskipun Bima sudah berkeluarga, perasaan itu tidak bisa dihindari. Terkadang, rasa tertarik bisa muncul begitu saja, tanpa bisa diatur.
Namun, Sekar juga tahu bahwa ia harus berhati-hati. Menarik perhatian Bima bukanlah hal yang mudah, dan ia tidak ingin terjebak dalam permainan yang berbahaya. Tapi perasaan itu terus mengganggunya, dan ia tidak bisa menahannya.
Di luar jendela kantor, hujan mulai turun dengan deras. Sekar menatap keluar, merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi—sesuatu yang tidak bisa ia kontrol, sesuatu yang membuat hatinya berdegup lebih cepat setiap kali ia berada dekat dengan Bima.
Sekar berjalan keluar dari ruang rapat, ponsel di tangan, matanya memeriksa pesan yang masuk. Ia tersenyum kecil ketika melihat pesan dari Bima yang memberitahunya tentang makan siang yang akan datang. Makan siang itu sudah direncanakan jauh sebelumnya, tetapi entah kenapa, kali ini rasanya berbeda. Ada sesuatu yang mengusik dalam dirinya, sebuah perasaan yang sulit dijelaskan. Sekar tahu bahwa ia sudah terbiasa bekerja dengan Bima, tetapi sekarang ada sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan profesional yang tumbuh di antara mereka. Itu bukan perasaan cinta yang besar, tapi ketertarikan yang tak bisa dihindari.
Dia sudah mencoba untuk mengabaikannya, meyakinkan dirinya bahwa ini hanya rasa kagum terhadap sosok Bima yang begitu sukses, begitu penuh ambisi, dan sangat profesional. Namun, semakin lama ia bekerja dengannya, semakin sulit untuk menahan perasaan itu. Ada sesuatu dalam cara Bima berbicara, dalam caranya melihatnya, yang membuat hatinya berdegup lebih kencang. Ia tahu bahwa Bima sudah menikah, dan ia tidak ingin menjadi orang ketiga dalam hubungan itu, tetapi terkadang, perasaan itu muncul begitu saja, tak bisa ia kendalikan.
Sekar menghela napas, menekan perasaan yang membebani dadanya. Ia tidak bisa terus menerus merasa seperti ini, karena itu hanya akan merusak segalanya. Ia harus bisa menjaga jarak, tetap profesional, dan tidak membiarkan perasaan pribadinya mengaburkan tugasnya sebagai sekretaris.
Namun, pada saat yang sama, ia juga merasa ada sesuatu yang lebih dalam dalam hubungan mereka. Bima sering melibatkan Sekar dalam keputusan penting, memberi kepercayaan lebih dari yang biasanya diberikan kepada seorang sekretaris. Ini bukanlah sekadar pekerjaan—ini adalah tanda bahwa Bima melihat sesuatu lebih dari sekadar peran profesional yang dimilikinya. Meskipun demikian, Sekar berusaha menepis perasaan itu, mencoba untuk fokus pada pekerjaan dan tidak membiarkan emosi menguasai dirinya.
Langkahnya terhenti sejenak ketika ia melihat Bima keluar dari ruang kerjanya. Bima berjalan menuju lift, sibuk dengan ponselnya, seolah tak melihat keberadaan Sekar. Namun, Sekar bisa merasakan ada ketegangan dalam langkahnya, seperti ada sesuatu yang sedang mengganggu pikirannya. Sekar pun melangkah mengikuti Bima, menyadari bahwa ia sudah tidak bisa menahan rasa penasaran yang tumbuh dalam dirinya. Apa yang sedang terjadi dengan Bima? Mengapa belakangan ini Bima tampak begitu tertekan?
“Bima,” Sekar memanggil dengan suara lembut, mencoba untuk tidak terdengar terlalu tergesa-gesa. Bima menoleh, sedikit terkejut melihat Sekar yang tiba-tiba muncul di belakangnya.
“Oh, Sekar. Ada apa?” Bima tersenyum tipis, namun Sekar bisa merasakan ada kerutan di keningnya, sebuah tanda bahwa Bima sedang berpikir keras tentang sesuatu.
“Ada yang mengganggumu, Bima?” tanya Sekar dengan hati-hati. “Kamu terlihat sedikit lelah akhir-akhir ini. Apa ada yang bisa aku bantu?”
Bima terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan apakah ia harus menceritakan apa yang sedang mengganggunya atau tidak. Setelah beberapa detik, ia akhirnya menggelengkan kepala.
“Tidak, tidak ada yang perlu kamu khawatirkan, Sekar,” jawab Bima sambil tersenyum lagi, meskipun kali ini senyumannya tidak sehangat sebelumnya. “Aku hanya sedikit tertekan karena beberapa proyek yang harus selesai. Tapi itu bukan masalah besar. Terima kasih sudah memperhatikan.”
Sekar mengangguk, mencoba untuk menunjukkan perhatian yang tulus. Namun di dalam hatinya, ia merasakan gelombang kekhawatiran yang semakin besar. Mungkin Bima sedang berjuang dengan lebih banyak hal daripada yang ia perlihatkan. Mungkin ada masalah pribadi yang tak ia bicarakan. Ia ingin sekali bertanya lebih banyak, tetapi ia tahu bahwa itu bukan tempatnya untuk ikut campur dalam urusan pribadi Bima.
Namun, perasaan itu tetap ada. Sekar merasa ada jarak yang semakin besar antara dirinya dengan Bima—meskipun mereka berdua bekerja sangat dekat, meskipun mereka sering berbicara tentang hal-hal penting, namun ada dinding yang tak terlihat yang mulai terbentuk di antara mereka. Bima tidak lagi terlihat seperti pria yang mudah didekati. Kini, dia lebih seperti seorang bos yang penuh tekanan dan tanggung jawab, yang menyembunyikan ketidakpastian dalam hatinya.
Sekar mencoba untuk mengabaikan perasaan itu dan memfokuskan diri kembali pada pekerjaannya. Setelah Bima masuk ke lift dan melanjutkan perjalanannya, Sekar kembali ke meja kerjanya, tetapi pikirannya tidak bisa berhenti berputar. Ia tahu ia harus menjaga profesionalisme, tetapi semakin lama ia bekerja bersama Bima, semakin sulit baginya untuk menjaga jarak antara hubungan kerja dan perasaan pribadinya.
Ketika jam makan siang tiba, Sekar menerima pesan dari Bima yang mengingatkannya tentang pertemuan mereka. Mereka akan makan siang bersama di restoran favorit Bima, tempat yang selalu dipilih untuk urusan bisnis. Sekar merapikan mejanya, mempersiapkan dirinya untuk makan siang yang akan datang, meskipun hatinya masih dipenuhi pertanyaan dan kekhawatiran yang belum terjawab.
Di sisi lain, Amara, yang merasa cemas tentang Bima dan Sekar, tidak bisa menahan rasa curiganya. Ia mengamati semua perubahan kecil yang terjadi di rumah. Bima lebih sering keluar rumah, lebih jarang pulang tepat waktu, dan lebih sering terlihat tertekan. Meskipun Bima mengatakan semuanya baik-baik saja, Amara merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar rutinitas dalam hidup mereka.
Amara merasa bingung. Ia tidak ingin terlalu menghakimi Bima, tetapi pada saat yang sama, ia merasa ada ketidakadilan dalam hubungan mereka. Bima telah berjanji untuk memperbaiki segalanya, tetapi Janji itu tampaknya mulai pudar. Ia merasa terjebak antara keinginannya untuk memperbaiki hubungan mereka dan ketakutannya terhadap kemungkinan Bima yang lebih tertarik kepada Sekar.
Pikiran itu datang begitu saja, menggema di dalam kepalanya. Amara tahu bahwa ia harus berbicara dengan Bima, tetapi ia juga tahu bahwa percakapan itu tidak akan mudah. Apakah Bima akan jujur tentang perasaannya? Ataukah ia hanya akan berusaha untuk menghindari topik yang sulit itu?