Dalam perjalanan cinta yang penuh hasrat, kebingungan, dan tantangan ini, Adara harus menentukan apakah dia akan terus bertahan sebagai "sekretaris sang pemuas" atau memperjuangkan harga dirinya dan hubungan yang bermakna. Di sisi lain, Arga harus menghadapi masa lalunya dan memutuskan apakah ia siap untuk membuka hatinya sepenuhnya sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafi M M, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20: Detak Jantung yang Tak Teratur
Suara dentingan jam di ruangan hotel yang sunyi terasa begitu keras di telinga Adara. Sudah lebih dari lima belas menit berlalu sejak Arga mengajaknya masuk ke suite hotel untuk mendiskusikan proyek mereka. Meskipun keduanya sudah terbiasa dengan jadwal rapat yang panjang hingga larut malam, ada perasaan aneh yang mengalir di antara mereka, seakan-akan malam ini berbeda dari biasanya. Tatapan dingin Arga malam itu terasa lebih lembut, namun juga lebih dalam, membuat Adara merasa tidak nyaman, tetapi juga tergugah.
Arga memulai pembicaraan dengan tenang, membahas proposal presentasi yang akan mereka sampaikan ke klien besar besok pagi. Adara berusaha keras fokus pada apa yang dijelaskan Arga, tetapi ia tak bisa mengendalikan pikirannya yang melayang-layang setiap kali Arga menatapnya terlalu lama. Ada sesuatu dalam cara pandangnya, sesuatu yang membuat jantung Adara berdebar tak karuan, lebih cepat dari biasanya.
“Adara, kau bisa fokus kan?” tanya Arga tiba-tiba, menghentikan pemikirannya. Ia melipat tangannya di dada, menatap Adara dengan ekspresi heran.
“Maaf, Pak Arga. Saya hanya… hanya berpikir tentang beberapa detail yang perlu kita tambahkan,” jawab Adara tergagap, mencoba mengembalikan pikirannya ke jalur yang benar.
Namun, Arga tahu ada sesuatu yang berbeda dengan sekretarisnya malam ini. Ia memiringkan kepalanya, seakan ingin menembus dinding yang dibangun Adara di sekitarnya. “Kau tampak tegang. Ada sesuatu yang mengganggu?”
Adara terkejut dengan pertanyaan itu. Tak biasa bagi Arga untuk menanyakan sesuatu yang personal. Selama ini, pria itu selalu bersikap profesional, menjaga jarak, dan cenderung tertutup. Namun malam ini, kehangatan yang tiba-tiba muncul dalam tatapannya membuat Adara semakin gugup. Ia tidak ingin menunjukkan kelemahan, tetapi detak jantungnya yang semakin kencang sulit dikendalikan.
“Tidak, Pak. Hanya sedikit lelah mungkin,” kata Adara sambil memaksakan senyum.
Arga mengangguk pelan, tetapi ia tampak tidak sepenuhnya yakin. Ada sekelebat kekecewaan yang terlihat di matanya, seakan-akan ia berharap Adara mau membuka diri kepadanya. Tapi ia tidak memaksa. Pria itu mengalihkan pandangan, kembali membahas pekerjaan mereka.
Namun, tanpa diduga, percakapan kerja tersebut mulai diselingi oleh canda ringan yang membuat suasana lebih hangat. Mereka tertawa bersama ketika Arga membagikan cerita lucu tentang klien yang sulit diatur, sesuatu yang jarang dilakukan Arga di kantor. Bagi Adara, momen ini terasa seperti keajaiban kecil; dia bisa melihat sisi Arga yang manusiawi dan jauh dari kesan arogan yang selama ini ditampilkan.
Setiap kali tawa mereka berhenti, ada keheningan sesaat yang melingkupi mereka. Keheningan yang sarat dengan makna, seolah ada kata-kata tak terucap yang menggantung di antara mereka. Ketika mereka saling bertukar pandang, tatapan mereka beradu, dan untuk sesaat, dunia di sekitar mereka seakan menghilang. Ruangan tersebut menjadi dunia kecil mereka, di mana hanya ada Adara dan Arga.
Perasaan itu begitu kuat, hingga Adara merasa napasnya tertahan. Jantungnya berdebar semakin cepat, dan ia tahu bahwa ini bukan hanya karena canda atau kelelahan. Ada sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih dalam dan mengguncang.
Arga tampaknya merasakan hal yang sama. Perlahan, ia menggeser kursinya lebih dekat, membuat jarak di antara mereka semakin tipis. Adara merasakan kehangatan dari tubuh Arga yang begitu dekat, dan aroma parfumnya yang maskulin semakin menguasai inderanya. Detak jantungnya semakin tak teratur, dan ia bahkan bisa mendengar jantungnya berdetak keras.
“Adara…” suara Arga terdengar lembut, hampir seperti bisikan. Tatapannya kini tidak lagi bersifat profesional atau sekadar kolega. Ada rasa di dalam matanya, yang seolah ingin menyampaikan sesuatu yang selama ini tersembunyi.
Adara hanya bisa terdiam. Ia tahu ia harus mengatakan sesuatu, harus melakukan sesuatu untuk menghindari tatapan Arga, tetapi tubuhnya membeku. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuatnya tak bisa berpaling.
Saat itu, Arga mendekat sedikit lagi, hingga wajah mereka hanya beberapa inci berjauhan. Napas mereka nyaris bersatu. Tangan Arga terulur perlahan, menyentuh pipi Adara dengan lembut. Sentuhan itu membuat Adara tersentak, tapi ia tak bisa mundur. Tubuhnya seperti terpaku di tempat, terhanyut dalam sensasi yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
“Kau tahu,” Arga berkata pelan, “aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya, terutama dengan seorang yang bekerja denganku. Tapi kau… kau berbeda, Adara.”
Mendengar pengakuan itu, tubuh Adara bergetar. Suara lembut Arga, tatapan matanya yang intens, dan sentuhan tangannya di pipi membuatnya merasakan kebahagiaan yang tidak pernah ia duga. Namun, bersamaan dengan itu, muncul perasaan takut dan bimbang. Ia tidak ingin menjadi seseorang yang hanya sekadar pelampiasan bagi Arga, seseorang yang hadir hanya ketika Arga merasa kosong.
Adara menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan detak jantungnya yang semakin liar. “Pak Arga… saya rasa… kita tidak seharusnya…”
Belum sempat Adara menyelesaikan kata-katanya, Arga sudah merengkuhnya dalam pelukan. Pelukan yang hangat, lembut, dan sarat dengan keinginan yang selama ini terpendam. Mereka terdiam dalam keheningan, membiarkan diri mereka larut dalam perasaan yang tak tertahankan.
Detak jantung Adara seakan berlomba dengan detak jantung Arga. Mereka saling merasakan kehangatan yang begitu nyata, dan dalam diam, keduanya tahu bahwa ada sesuatu yang lebih dalam di balik hubungan profesional ini. Sesuatu yang melampaui batasan pekerjaan, sesuatu yang membingungkan tetapi tak bisa diabaikan.
Namun, seiring dengan kehangatan yang menyelimuti mereka, Adara merasakan kenyataan mulai merasuk kembali. Ia mengingat posisinya, tanggung jawabnya, dan risiko yang harus dihadapinya jika hubungan ini berkembang lebih jauh. Ia tidak ingin menjadi wanita yang hanya hadir dalam bayang-bayang kehidupan seorang pria yang tak bisa memberikan kepastian.
Dengan perlahan, Adara melepaskan pelukan itu, memisahkan diri dari kehangatan Arga meskipun hatinya berontak. Ia menatap Arga dengan mata yang berkaca-kaca, menyampaikan perasaan yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.
“Pak Arga… saya mohon maaf, tapi saya… saya tidak bisa. Saya tidak ingin hubungan ini berakhir dengan saya hanya menjadi bayangan dalam hidup Anda,” kata Adara, suaranya bergetar. “Saya ingin menjaga profesionalisme saya, dan saya harap Anda bisa mengerti.”
Arga terdiam, menatap Adara dengan tatapan penuh kekecewaan sekaligus pengertian. Ia tahu bahwa ada dinding yang dibangun Adara, dinding yang sulit untuk dirobohkan. Meskipun ia sangat ingin melanjutkan apa yang sudah dimulai malam ini, ia tidak ingin memaksakan perasaannya. Ia menghargai keberanian Adara, dan ia tahu bahwa cinta yang sejati harus berlandaskan rasa saling menghormati.
“Baiklah, Adara,” ujar Arga akhirnya, suaranya berat dan penuh emosi. “Aku mengerti, dan aku tidak akan memaksamu. Tapi ketahuilah bahwa aku akan selalu menghargai dirimu, apa pun yang terjadi.”
Adara hanya mengangguk, berusaha menyembunyikan rasa kecewa yang menyesakkan hatinya. Meskipun ia merasa telah membuat keputusan yang tepat, ia tidak bisa menghilangkan rasa sakit yang menyelinap di dadanya. Malam itu, mereka berpisah dengan keheningan yang menyakitkan, meninggalkan ruangan hotel dengan perasaan yang tak sepenuhnya terungkap.
Setelah kembali ke kamarnya, Adara mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih belum teratur. Ia tahu bahwa perasaannya pada Arga bukanlah sesuatu yang bisa ia abaikan dengan mudah. Namun, ia juga tahu bahwa ia harus tetap kuat, harus mempertahankan harga dirinya, dan tidak membiarkan hatinya hancur oleh hubungan yang belum jelas akhirnya.
Malam itu, di tengah keheningan, Adara berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan menjaga jarak dan tetap profesional. Meski hatinya ingin melangkah lebih jauh, pikirannya tahu bahwa ada harga yang harus dibayar jika ia terlalu jauh terlibat. Di balik rasa sakit itu, ia menemukan kekuatan baru untuk melanjutkan hidup, bahkan jika detak jantungnya tak pernah sepenuhnya kembali seperti semula.