Ruby Lauren dan Dominic Larsen terjebak dalam pernikahan yang tidak mereka inginkan.
Apakah mereka akan berakhir dengan perpisahan? Atau sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenaBintang , isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saling Berpelukan
"Dominic, menyingkirlah!" Ruby berusaha mendorong pria itu menjauh, namun tubuh Dominic tidak bergerak sedikit pun.
"Semalam kau meremehkan aku, jadi aku harus membuktikan padamu," balas Dominic, setengah berbisik di telinga Ruby.
"Tidak perlu!" Ruby menjawab dengan cepat. "Aku yakin kau sangat ahli dalam urusan peranjangan dan sejenisnya, kau tidak perlu membuktikan padaku, buktikan saja pada Robin."
Kedua mata Dominic langsung terbelalak mendengar ucapan Ruby. "Kau sudah gila? Untuk apa aku membuktikannya pada Robin!?"
"Si-siap tahu Robin penasaran denganmu," jawab Ruby asal.
Dominic sedikit menjauhkan tubuhnya, sehingga Ruby menggunakan kesempatan ini untuk mendorong Dominic dengan kuat, lalu melarikan diri dari pria itu.
Dominic hanya menatap saja Ruby yang berlari dengan sangat cepat. "Nakal sekali!" gumam Dominic. Tanpa disadari, bibirnya membentuk senyum tipis mengingat keanehan Ruby.
"Tuan, apa Anda butuh sesuatu?" tanya Amora tiba-tiba.
Dominic menoleh dengan tatapan dingin. "Pergilah, aku tidak membutuhkan bantuan darimu!"
Amora mengangguk, dia lalu melangkah pergi. Namun, ketika tiba di pintu menuju dapur, Amora melirik Dominic dan menatapnya dengan tajam.
**
Malam harinya..
Sebuah ruang kerja megah di mansion milik Dominic.
Ruangan itu dikelilingi dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan di sekitar mansion pada malam hari.
Dominic duduk di kursi kulit hitam, memandang keluar jendela dengan ekspresi penuh perhitungan. Robin, asistennya, berdiri di dekat meja, memegang iPad dengan catatan penting.
Dominic, bersuara dengan nada datar, tetapi dingin. "Keluarga Larsen... mereka tidak pernah tahu kapan harus berhenti. Sejak dulu, mereka hanya tahu caranya memanfaatkan orang lain. Ayahku, ibuku... semua saudaraku, mereka bukan takut dengan kutakan yang pernah disebutkan, sepertinya ada rahasia yang mereka sembunyikan selama ini." Dominic lalu menatap Robin dengan lekat. "Bagaimana menurutmu, Robin?"
Robin, mengangkat alis, hati-hati memilih kata-katanya. "Aku juga sebenarnya menduga ada hal lain yang mereka sembunyikan, Tuan. Tapi aku belum berani mengatakannya, sebab tidak ada bukti."
Dominic tertawa. "Mereka harus dibasmi, karena sering berulah."
"Mereka sudah mulai bertindak lagi, Tuan? Aku pikir setelah pertemuan terakhir, mereka akan sedikit mundur."
Dominic, tertawa kecil, penuh sinisme.
"Mundur? Tidak, Robin. Mereka tidak seperti itu. Mereka terus mengusik. Menguji kesabaranku. Tapi kali ini berbeda. Aku sudah memutuskan—mereka tidak akan mendapatkan kesempatan lagi. Aku harus membalas, dan mereka harus tahu siapa aku!"
"Apa yang akan kau lakukan pada mereka?" tanya Robin penasaran.
"Hanya bermain-main," jawab Dominic, tatapannya masih begitu taja. "Keluarga Larsen mungkin berpikir mereka bisa terus hidup tanpa konsekuensi. Tapi ini permainan mereka yang terakhir, Robin. Aku akan memastikan itu."
Robin menatap Dominic untuk sesaat, menyadari bahwa tekad pria itu sudah bulat. Dia tahu kali ini tak akan ada yang bisa menghentikan Dominic.
Kemudian dengan sengaja, Robin mengalihkan pandangannya ke arah lain. Napasnya terdengar sedikit berat. "Anda sudah lama menghilang dari dunia Mafia," katanya, suaranya datar namun tajam. "Sepertinya saatnya Anda kembali ke dunia yang sebenarnya, Tuan." Ada nada perintah yang tidak bisa diabaikan dalam kata-katanya.
"Aku memang akan kembali, dan aku juga memiliki pekerjaan untukmu," sahut Dominic.
Robin mengerutkan keningnya. "Kau ingin aku melakukan sesuatu? Apa yang perlu aku lakukan, Tuan?"
Dominic, menatap Robin, mata tajam seperti elang. "Bukan hanya sesuatu. Aku ingin memastikan kita tidak hanya bertahan, tapi menguasai sepenuhnya. Aku sudah cukup lama membiarkan mereka merasa aman. Sekarang, aku yang akan membuat langkah pertama."
Dominic berdiri, berjalan perlahan menuju meja, mengambil gelas wiski, lalu melanjutkan. "Kita harus memeriksa operasi kita di Palermo. Aku ingin tahu apakah semuanya berjalan lancar di sana. Itu salah satu aset terpenting kita."
"Markas di Palermo? Aku bisa mengatur penerbangan besok pagi dan mengirimkan laporan begitu tiba di sana," sahut Robin.
"Tidak hanya laporan, Robin. Aku ingin kau memastikan semua orang tahu bahwa aku masih memegang kendali penuh. Jika ada yang mencoba bermain di belakangku... kau tahu apa yang harus dilakukan."
Robin mengangguk, mencatat perintah itu di dalam benaknya, tanpa menunjukkan keraguan. "Aku mengerti. Aku akan segera menyiapkan semuanya."
Dominic kembali ke kursinya, matanya memandang ke luar jendela, tetapi ekspresi dinginnya tidak berubah. Sementara Robin sibuk memikirkan apa yang harus dia lakukan selanjutnya.
**
Setelah dari ruangan kerjanya, Dominic segera ke kamar. Di dalam kamar, Ruby langsung menatapnya dengan tatapan heran.
"Kenapa kau datang ke kamar?" tanya Ruby.
Dominic menatap tajam Ruby. "Apa yang salah? Ini kamar milikku bukan? Aku berhak tidur di sini!"
"Tapi sejak aku datang ke mansion ini, kau tidak tidur di kamar bukan?" sahut Ruby.
"Mulai sekarang aku akan tidur di kamarku. Tak akan aku biarkan kau menguasai kamarku lagi!" balas Dominic dengan ketus, lalu dia berbaring di atas ranjang.
Ruby merasa sangat geram sekali pada pria itu. Namun, dia tidak mungkin melarang Dominic tidur di dalam kamarnya sendiri.
'Menyebalkan sekali! Hilang sudah malamku yang tenang!' gerutu Ruby dalam hati.
Ruby segera menyusun bantal-bantal di tengah dan mengatakan kepada Dominic supaya jangan melewati batas.
"Kau tenang saja, aku tidak akan melewati batas. Kau pikir aku mau menyentuhmu!?" ucap Dominic dengan nada jengkel.
"Baguslah," sahut Ruby dengan ketus.
Tiba-tiba Dominic merasa jengkel sekali mendengar sahutan Ruby yang ketus. Dia merasa tidak dihargai oleh wanita itu.
"Kita sudah menikah, meskipun melewati batas juga tidak masalah," kata Dominic.
Ruby langsung menatapnya. "Kau kan tidak mau menyentuhku, jadi jangan melewati batas!"
Dominic berdecih, dia lalu menyampingkan tubuhnya dan membelakangi Ruby. Wanita itu juga tidak mau kalah dan melakukan hal yang sama juga.
Malam sunyi memeluk erat seluruh ruangan, hanya terdengar suara hembusan nafas kedua insan yang memunggungi satu sama lain di atas ranjang, hingga mereka berdua terlelap.
Ruby yang semula menaruh bantal pembatas di antara mereka, kini dirinya sudah berada dalam pelukan Dominic yang juga sudah terlelap dan tanpa sadar memeluk wanita di sebelahnya.
Bantal-bantal pembatas itu tak lagi berada di tempatnya, melainkan telah berserakan di lantai, tanda batasan mereka yang perlahan runtuh selagi mereka terlelap dalam malam itu.
...****************...