Di bawah cahaya bulan, istana di lembah tersembunyi menjadi saksi kelahiran seorang bayi istimewa. Erydan dan Lyanna, pengemban Segel Cahaya, menyambut putri mereka dengan perasaan haru dan cemas.
"Dia adalah harapan terakhir kita," ujar Erydan, matanya menatap tanda bercahaya di punggung kecil bayi itu.
Lyanna menggenggam tangannya. "Tapi dia masih bayi. Bagaimana jika dunia ini terlalu berat untuknya?"
Erydan menjawab lirih, "Kita akan melindunginya."
Namun di kejauhan, dalam bayang-bayang malam, sesuatu yang gelap telah bangkit, siap mengincar pewaris Segel Cahaya: Elarya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon monoxs TM7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24: Warisan Terakhir
Ruangan itu masih penuh keheningan setelah kristal kehilangan sinarnya. Gadis itu berdiri di sana, masih memegang cangkang kosong yang dulunya memancarkan cahaya kehidupan. Namun, saat ia menatap benda itu, ia menyadari sesuatu. Energi kristal itu kini mengalir dalam tubuhnya. Perasaan itu tidak hanya sekadar kekuatan—ia merasa seperti dipenuhi oleh sesuatu yang jauh lebih besar, sesuatu yang berakar pada takdirnya.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Kael sambil memeriksa keadaan gadis itu. Tangannya siap menopangnya jika ia lemah.
Ia mengangguk, meskipun masih gemetar. "Aku baik-baik saja. Tapi... aku merasa ada sesuatu yang berubah."
Kael hendak bertanya lebih jauh, tetapi sebelum ia bisa berkata-kata, lantai di bawah mereka mulai bergetar hebat. Ukiran-ukiran di ruangan itu kembali menyala, namun kali ini bukan dengan cahaya lembut. Cahaya merah darah muncul dari dinding, membentuk lingkaran-lingkaran dengan simbol yang tidak mereka kenali.
"Apa yang terjadi sekarang?" Kael mengangkat pedangnya, bersiap menghadapi ancaman baru.
Sebuah suara bergema dari segala arah. "Kalian telah mengambil warisan yang bukan milik kalian. Dan untuk itu, kalian harus membayar harganya!"
Tanah di sekitar pedestal terbelah, memperlihatkan celah besar yang tampaknya tak berdasar. Dari dalam celah itu, asap hitam muncul, membentuk sosok yang jauh lebih besar daripada bayangan yang mereka lawan sebelumnya. Sosok itu memiliki tubuh seperti kabut, tetapi matanya yang merah menyala menunjukkan bahwa ia jauh dari sekadar ilusi.
"Penjaga terakhir," bisik gadis itu, mengingat kata-kata dari kitab yang pernah ia baca.
"Ini ujian terakhir kita," kata Kael dengan nada tegas. "Apa pun yang terjadi, kita tidak boleh kalah."
###
Makhluk itu mengayunkan salah satu lengannya yang berasap ke arah mereka, dan serangannya menghantam lantai dengan kekuatan luar biasa. Kael menarik gadis itu ke samping, menghindari serangan dengan jarak yang nyaris.
"Kita tidak bisa hanya bertahan!" seru Kael. "Kita harus menyerang balik!"
Gadis itu mengangguk, berusaha memfokuskan kekuatan dari segelnya. Namun, kali ini, kekuatannya terasa lebih sulit untuk dikendalikan, seperti badai yang mencoba keluar dari dalam dirinya.
Makhluk itu menyerang lagi, kali ini dengan semburan asap hitam yang bergerak seperti ular, mencoba melilit mereka. Kael menebas serangan itu dengan pedangnya, tetapi asap tersebut tampaknya tidak bisa dilukai dengan senjata biasa.
"Aku membutuhkan waktumu!" gadis itu berteriak, mencoba memusatkan energi di tangannya. Cahaya kecil mulai muncul dari segelnya, tetapi ia tahu itu tidak cukup.
Kael mengangguk tanpa ragu. "Aku akan mengalihkan perhatiannya!"
Ia melompat ke depan, menyerang makhluk itu dengan segala yang ia miliki. Pedangnya mungkin tidak bisa melukai langsung, tetapi setiap gerakan Kael cukup untuk membuat makhluk itu memusatkan perhatian padanya.
"Hei, kau yang besar dan jelek!" Kael berteriak, mencoba memancingnya. "Apa ini yang disebut ujian? Bahkan musuh yang lebih kecil dari ini membuatku lebih takut!"
Makhluk itu mengaum marah, menyerang Kael dengan lebih ganas. Namun, setiap kali serangannya hampir mengenai, Kael berhasil menghindar dengan lincah.
Di belakang, gadis itu memusatkan seluruh kekuatannya. Segel di dadanya bersinar terang, dan kali ini cahaya itu mulai membentuk pola di udara, menciptakan lingkaran sihir yang semakin besar. Kekuatan kristal kini bersatu dengan energinya, menciptakan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya.
"Aku sudah siap!" teriaknya, suaranya menggema di ruangan itu.
Kael melompat mundur, memberi gadis itu ruang. "Lakukan sekarang!"
Dengan satu gerakan, gadis itu mengarahkan tangannya ke makhluk itu. Lingkaran sihir di udara berputar dengan cepat, memancarkan sinar cahaya yang melesat langsung ke arah makhluk tersebut. Serangan itu menembus tubuh berasapnya, menghancurkan bagian tengahnya.
Makhluk itu mengaum kesakitan, tetapi tidak lenyap sepenuhnya. Sebaliknya, tubuhnya mulai berubah, menjadi lebih padat, lebih berbahaya.
"Ini belum selesai!" Kael berteriak, bersiap untuk putaran berikutnya.
###
Makhluk itu kini terlihat lebih nyata, tubuhnya yang sebelumnya seperti kabut berubah menjadi daging hitam dengan tekstur kasar. Serangan sebelumnya tampaknya hanya membuatnya lebih marah.
"Kita harus menyerangnya bersama!" gadis itu berkata, menyadari bahwa kekuatannya saja tidak cukup.
Kael mengangguk. "Katakan apa yang harus kulakukan."
Gadis itu meraih tangannya, menyatukan kekuatan mereka. "Ikuti aku, dan jangan ragu. Kita harus menyelaraskan energi kita lagi, seperti saat melawan bayangan sebelumnya."
Kael menutup matanya sejenak, mencoba merasakan energi dari gadis itu. Segel cahaya di tubuhnya mulai memancar melalui tubuh Kael, menyatu dengan pedangnya.
Makhluk itu menyerang lagi, tetapi kali ini mereka siap. Dengan gerakan yang sempurna, mereka melompat bersama, menghindari serangan makhluk itu dan menyerangnya dengan kekuatan gabungan. Pedang Kael, yang kini dipenuhi cahaya dari segel, menebas tubuh makhluk itu dengan kekuatan yang luar biasa.
Gadis itu melepaskan serangan terakhirnya, bola cahaya besar yang menghancurkan sisa tubuh makhluk itu. Aumannya bergema untuk terakhir kali sebelum ia lenyap sepenuhnya.
###
Saat semuanya berakhir, ruangan itu kembali sunyi. Kristal yang tadinya kosong mulai menyala lagi, tetapi kali ini cahayanya berbeda—lebih tenang dan stabil.
"Kita berhasil," gadis itu berkata dengan suara penuh kelegaan.
Kael tersenyum kecil, meskipun tubuhnya lelah. "Tapi aku rasa ini bukan akhir dari perjalanan kita."
Sebuah suara lembut bergema di ruangan itu, berbeda dari suara mengancam yang sebelumnya mereka dengar. "Kalian telah menunjukkan keberanian, kesatuan, dan keyakinan. Warisan ini sekarang milik kalian. Gunakanlah dengan bijak, karena kekuatan ini hanya akan berguna jika hati kalian tetap selaras."
Ruangan itu perlahan memudar, dan mereka kembali berada di pintu masuk kuil. Namun, mereka tahu bahwa sesuatu telah berubah dalam diri mereka—kekuatan baru yang lahir dari perjalanan mereka, dan tanggung jawab yang lebih besar menunggu di depan.
Angin dingin dari luar kuil menyambut mereka saat mereka muncul kembali di pintu masuk. Gadis itu mengusap peluh di dahinya, sementara Kael bersandar pada pedangnya, mengatur napas. Tidak ada tanda-tanda makhluk itu lagi, tetapi keheningan yang melingkupi sekeliling mereka terasa seperti penanda bahwa perjuangan baru saja dimulai.
"Kita keluar hidup-hidup," ujar Kael dengan nada bercanda meskipun napasnya berat. "Itu sudah pencapaian besar."
Namun, gadis itu tidak tersenyum. Pandangannya tertuju pada horizon, di mana langit mulai memerah, bukan karena matahari terbit, tetapi sesuatu yang jauh lebih gelap.
"Kael..." suaranya pelan namun tegas. "Kekuatan ini... aku bisa merasakannya, tapi ada sesuatu yang salah. Ini bukan hanya tanggung jawab, tapi juga sebuah ancaman."
Kael mengikuti arah pandangannya. Ia bisa merasakan hawa dingin menyelimuti udara, seperti ancaman tak terlihat yang merayap di antara mereka. "Apa maksudmu?"
Gadis itu memegang dadanya, tempat segel cahaya itu bersinar redup. "Kekuatan ini tidak stabil. Jika aku tidak bisa mengendalikannya, bukan hanya aku yang akan hancur, tapi segalanya di sekitarku."
Kael meraih bahunya, menatapnya dengan penuh keyakinan. "Kita sudah melewati banyak hal bersama. Jika itu masalahnya, kita akan mencari cara. Kau tidak sendiri."
Namun, sebelum ia bisa menanggapi, suara gemuruh datang dari kejauhan. Bumi di bawah mereka bergetar, dan dari horizon, sosok hitam besar muncul, perlahan namun pasti mendekati mereka.
"Bukan lagi ujian," gumam gadis itu dengan napas tertahan. "Ini nyata."
Kael menghunus pedangnya lagi, meskipun kelelahan jelas terlihat di wajahnya. "Apa pun itu, kita harus bertahan. Kau siap?"
Gadis itu memejamkan matanya sejenak, mencoba memusatkan energi segel yang kini terasa seperti badai di dalam dirinya. Ketika ia membuka matanya kembali, ada cahaya baru di dalamnya—sebuah tekad yang tidak tergoyahkan. "Aku selalu siap."
###
Sosok itu semakin jelas saat mendekat, memperlihatkan tubuhnya yang tidak sepenuhnya solid. Ia seperti perpaduan antara kabut gelap dan api merah yang berkobar. Setiap langkahnya membuat tanah di sekitarnya retak dan pecah.
"Dia membawa kekacauan bersamanya," ujar Kael, matanya mengamati dengan hati-hati. "Jika kita biarkan dia mendekat ke desa, semuanya akan hancur."
"Kita harus menghadapinya di sini," gadis itu menjawab. Ia mengangkat tangannya, mencoba membentuk perisai cahaya di sekitar mereka. Namun, energi segelnya terasa tidak seimbang, dan ia hampir terjatuh karena tekanan itu.
Kael menangkapnya sebelum ia jatuh sepenuhnya. "Kau harus mengendalikan kekuatan itu, atau kita tidak akan bertahan."
Gadis itu mengangguk, berusaha keras untuk memusatkan pikirannya. "Aku akan mencoba. Tapi kau harus memberiku waktu."
Kael melangkah maju, menghadapi sosok itu seorang diri. "Kalau begitu, aku akan memberimu waktu sebanyak yang kau butuhkan."
###
Pertempuran dimulai dengan ledakan besar. Makhluk itu melepaskan serangan berupa bola api besar yang menghantam tanah dengan kekuatan luar biasa. Kael menghindar dengan cepat, lalu melompat ke depan, menyerang makhluk itu dengan pedangnya. Namun, serangannya hanya melewati tubuh makhluk itu seperti menebas asap.
"Ini tidak akan mudah," Kael bergumam pada dirinya sendiri.
Makhluk itu mengeluarkan suara geraman yang dalam, lalu menyerang dengan cakar api yang hampir mengenai Kael. Ia berguling ke samping, lalu menyerang lagi, kali ini mencoba menusuk inti api di tengah tubuh makhluk itu. Namun, serangannya tidak membuahkan hasil.
Sementara itu, gadis itu memfokuskan energinya, mencoba menyelaraskan kekuatan segel dengan dirinya sendiri. Ia mengingat kata-kata yang pernah ia baca dalam kitab kuno: Keseimbangan adalah kunci untuk mengendalikan segel. Biarkan ia menjadi bagian dari dirimu, bukan musuhmu.
"Aku bisa melakukannya," gumamnya, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
Perlahan, cahaya dari segel itu mulai stabil, dan gadis itu merasakan kekuatan mengalir lebih harmonis dalam dirinya. Ia membuka matanya, dan kali ini, segel itu bersinar terang, memancar hingga ke udara di sekitarnya.
"Kael!" serunya.
Kael melompat mundur, memberi ruang. Gadis itu melangkah maju, tangan kanannya memancarkan cahaya yang membentuk tombak energi. Dengan gerakan cepat, ia melemparkan tombak itu ke arah makhluk tersebut.
Tombak itu menembus inti api di tubuh makhluk itu, menyebabkan ledakan besar yang membuat tanah di sekitar mereka berguncang. Makhluk itu mengeluarkan raungan terakhirnya sebelum tubuhnya hancur menjadi partikel-partikel cahaya merah yang menghilang di udara.
###
Keheningan kembali. Kael berjalan ke arah gadis itu, yang tampak kelelahan tetapi tetap berdiri tegak.
"Kau melakukannya," katanya, senyumnya penuh kebanggaan.
Gadis itu mengangguk, meskipun matanya masih terpaku pada horizon. "Tapi ini hanya permulaan. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang lebih besar menunggu di depan."
Kael menatapnya dengan serius. "Apa pun itu, kita akan menghadapinya bersama. Kau dan aku, kita sudah melewati terlalu banyak hal untuk menyerah sekarang."
Gadis itu tersenyum kecil, lalu mengalihkan pandangannya ke horizon yang mulai cerah. "Baiklah. Mari kita lihat seberapa jauh kita bisa melangkah."