Cayenne, seorang wanita mandiri yang hidup hanya demi keluarganya mendapatkan tawaran yang mengejutkan dari bosnya.
"Aku ingin kamu menemaniku tidur!"
Stefan, seorang bos dingin yang mengidap insomnia dan hanya bisa tidur nyenyak di dekat Cayenne.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21 Hubungan yang dingin
Stefan menyadari bahwa mungkin orang-orang akan mengolok-oloknya apabila mereka mengetahui mengenai hubungan tidurnya yang aneh dengan seorang karyawannya yang malang di hotel.
Melindungi wanita itu seolah melindungi dirinya sendiri. Memperlakukan wanita tersebut dengan manis adalah caranya untuk mempertahankan hubungan tersebut sementara waktu, agar wanita itu tetap membantunya.
Segala tindakannya semata-mata demi keuntungan sendiri.
Saat menyerahkan perhatian kepadanya, dia merasakan sakit yang menusuk di dadanya. Melihat senyuman tulus wanita tersebut menyakitkan baginya, terutama karena dia tahu bahwa Cayenne tidak tertarik padanya.
Beralih pandang ke tas di atas meja kopi, Stefan berujar, "Aku rasa kamu benar. Mari kita pertahankan hubungan sebagai majikan dan karyawan."
"Hn. Aku tidak keberatan dengan itu. kamu ingin makan malam apa?" tanya Cayenne, langsung mengalihkan pembicaraan.
Dia sebenarnya sudah menduga hal ini bisa terjadi dan sudah siap menghadapi berbagai kemungkinan.
"Aku tidak mau makan malam. Ayo tidur saja."
"Uh..o-oke." kata Cayenne sambil memperhatikan Stefan naik ke atas dan mengikutinya.
Jika Stefan tidak akan makan, dia juga memilih tidak makan. Dia tidak ingin dianggap tidak tahu malu dengan menikmati sesuatu yang bukan miliknya.
Setibanya di kamar tidur, Stefan mengambil jubah mandi dan menuju kamar mandi. Sementara itu, Cayenne duduk di tempat tidur, menunggu giliran. Dia mengatur alarm untuk keesokan harinya, memastikan tidak bangun kesiangan.
Cayenne membuka tas dan mengambil pakaian ganti, meski biasanya dia memakai baju yang Stefan sediakan. Malam ini, ia memilih pakaiannya sendiri, merasa lebih nyaman dengan miliknya ketimbang barang dari Stefan.
Di dalam kamar mandi, Stefan mencoba memahaminya sambil menggosok gigi dengan kesal. Dia juga bingung dengan perasaannya sendiri, tidak tahu bagaimana memperbaiki kekusutan yang ada.
Setelah mandi, saat hendak kembali ke kamar, dia melihat Cayenne memegang pakaian yang tidak dikenalnya.
"Kau akan memakainya?" tanya Stefan.
"Ya, kenapa?"
"Bagaimana dengan pakaian yang kubelikan untukmu?"
"Aku akan memakainya saat Aku ingin memakainya."
"Kamu masih marah denganku?"
"Tidak, kenapa Tuan?"
"Kamu terlihat kejam. Kamu tidak mau menjadikanku temanmu, tidak memakai baju yang kuberikan, dan memanggilku 'tuan' lagi"
"Aku tidak tahu artinya kejam. Banyak yang bilang Aku pekerja baik. Tugasku selalu aku lakukan dengan baik."
Stefan kembali terdiam, bingung, menyadari dia hanya bagian dari pekerjaannya.
Tanpa kata, Cayenne pergi mandi. Mereka harus tidur lebih awal, dan ia harus siap untuknya. Dia tetap menjalani rutinitas seolah tidak ada yang berubah.
Cayenne mandi, mengoleskan pelembap, mengenakan pakaian yang bersih, dan mengeringkan rambut tanpa bantuan Stefan yang biasanya membantu. Namun, dia tidak masalah melakukannya sendiri.
Selesai bersiap, Cayenne menuju dapur mengambil air dan gelas untuk malam, agar tidak meninggalkan Stefan sendirian sedetik pun.
Stefan hanya bisa memandanginya, tanpa berkata apa-apa. Malam itu menjadi hening.
Setelah menyiapkan semuanya, Cayenne naik ke tempat tidur, membelakangi Stefan, yang juga membelakanginya.
"Ayen, apakah aku masih boleh memelukmu saat tidur?"
"Hn."
Stefan mendekat, memeluk pinggangnya. Meski ia memeluknya, hatinya tetap resah, sulit tidur.
Cayenne, sebaliknya, tetap tenang mendengarkan gerakan dan napasnya yang tidak teratur, tanpa memandang atau berkata apa-apa.
"Ayen, bisakah kamu menyanyikan sebuah lagu untuk tidur?"
"Lagu apa? Aku tidak tahu lagu apa pun untuk tidur."
"Apakah kamu tidak pernah menyanyikan lagu pengantar tidur untuk adik-adikmu?"
"Tidak. Ibuku yang melakukannya."
"Bagaimana dengan ayahmu?"
"Aku tidak tahu siapa ayahku. Dia meninggalkan ibu saat tahu beliau mengandung adikku."
"Itu menyedihkan."
"Mungkin."
"Kamu tidak merasa sedih tidak punya ayah?"
"Tidak. Aku bahagia dengan keluargaku yang sekarang. Tidak punya ayah tidak memengaruhiku."
"Baguslah," gumam Stefan. "Kalau aku, aku punya orang tua lengkap, tapi tidak ada yang menyayangiku, kecuali kakakku. Aku tidak mengerti kenapa orang tuaku tidak menyukaiku, sampai tidak peduli padaku sekarang ini."
"Kau yakin kau anak mereka?" tanya Cayenne polos, bercanda, meski menimbulkan kewaspadaan pada Stefan.
Pertanyaan itu tampaknya membekas, karena tidak ada jawaban darinya. Namun, pelukannya semakin erat.
Stefan menarik napas panjang, menutup mata, berusaha menenangkan pikiran dan hatinya setelah hari yang melelahkan secara emosional.
Cayenne memikirkan percakapan mereka. Memang benar dia tidak memiliki ayah kandung, namun ada ayah tiri yang tidak dia ceritakan.
Dia tidak yakin apakah pengakuannya termasuk kebohongan.
Karena hubungan dingin yang terjadi di antara mereka, Stefan tidak memberi tahu Cayenne mengenai jadwal baru yang sudah dia sepakati.
Dia juga tidak memberikan ponsel baru yang sudah dibelinya untuk Cayenne dan tidak mengajaknya makan malam.
Pada Senin pagi, dia baru menyadari tindakannya. Meski begitu, Cayenne tidak menyampaikan keluhan tentang lapar atau memprotes karena tidak diberi makan. Dia memilih untuk bungkam dan bersiap-siap untuk pekerjaan lainnya.
"Bisakah kamu tunggu sebentar? Aku akan menyiapkan sarapan untuk kita," kata Stefan, tetapi Cayenne hanya tersenyum pelan.
"Tidak usah repot-repot. Aku bisa makan di rumah."
"Lalu, siapa yang akan sarapan denganku?"
"Kamu bisa minta Chris untuk menemanimu. Aku akan memanggil taksi untuk menjemputku."
"Tidak mungkin. Kamu harus sarapan bersamaku."
"Aku akan terlambat."
"Aku akan menanggung keterlambatanmu. Kamu harus sarapan bersamaku."
Cayenne menatapnya dengan wajah datar. "Baiklah. Biar aku yang memasak sarapan dulu."
"Tidak, aku yang akan memasak."
"Ingat, saya karyawan Anda, bukan sebaliknya, Pak."
Stefan hanya terdiam, memandangnya keluar dari kamar dengan barang-barangnya menuju dapur. Masa-masa indah mereka tidak berlangsung lama dan kini seolah sudah berakhir, padahal belum genap sebulan.
Chris juga menyadari ketegangan di udara. Stefan tidak menurunkannya di depan rumahnya, melainkan di halte bus.
Cayenne pergi tanpa menoleh, setiap langkah makin membuat jantungnya berdebar. Dia selalu cemas ketika Cayenne meninggalkannya.
"Tuan, apakah Anda dan Cayenne sedang bertengkar?"
"Tidak, aku tidak yakin. Mungkin dia sedang menjalani hari yang buruk."
Hari itu, dia memutuskan untuk tidak ke kantor. Dia pergi ke hotel untuk merenungkan pembicaraannya dengan Cayenne kemarin. Dia tidak ingin memikirkan kemungkinan hubungan darah dengan orang tuanya, tetapi andai dia bukan anak mereka, itu mungkin lebih baik. Dia bahkan mulai curiga ada yang sengaja merusak hasil tes DNA di masa lalu.
Lima tahun setelah kematian saudaranya, Stefan meminta bantuan Travis, temannya, dengan meminjam uang darinya untuk melakukan tes DNA dengan orang tuanya secara diam-diam.
Hasilnya positif. Membuatnya merasa sakit hati menyadari orang tua kandungnya membencinya, dan itu masih menyakitkan hingga kini. Rasa ditolak sulit sekali hilang.
Pertanyaan Cayenne tadi malam kembali membangkitkan keraguannya. Orang tuanya kaya, memungkinkan adanya manipulasi tes.
Akhirnya, dia meminta Chris mencari cara mendapatkan sampel DNA orang tuanya lagi untuk uji ulang.