Joko, seorang mahasiswa Filsafat, Vina adalah Mahasiswa Fisika yang lincah dan juga cerdas, tak sengaja menabrak Joko. Insiden kecil itu malah membuka jalan bagi mereka untuk terlibat dalam perdebatan sengit—Filsafat vs Sains—yang tak pernah berhenti. Vina menganggap pemikiran Joko terlalu abstrak, sementara Joko merasa fisika terlalu sederhana untuk dipahami. Meski selalu bertikai, kedekatan mereka perlahan tumbuh, dan konflik intelektual itu pun berujung pada pertanyaan yang lebih pribadi: Bisakah mereka jatuh cinta, meski dunia mereka sangat berbeda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Serangan di Grup Kampus
Hari berikutnya, Joko lagi asyik di kamar kosan, duduk di kursi butut sambil ngemil keripik. Buku filsafatnya terbuka di meja, tapi perhatian Joko sepenuhnya ada di HP. Grup WhatsApp kampus ramai banget sore itu.
Notifikasi grup "Fisika & Filsafat Bareng" bunyi terus. Itu grup gabungan mahasiswa lintas jurusan buat diskusi kolaborasi mata kuliah umum. Sebenernya Joko nggak terlalu peduli sama grup ini, tapi notifikasi yang dia lihat bikin dia mendengus kesal.
Vina Fisika: "Eh, anak Filsafat mana suaranya? Jangan cuma diem doang di grup. Gue yakin teori lu nggak ada yang lebih logis dari hukum Newton."
Joko yang lagi santai langsung terduduk tegak. Dia mendelik ke layar HP, berusaha menahan diri buat nggak terpancing. Tapi akhirnya dia nggak tahan. Jempolnya langsung bergerak mengetik balasan.
Joko Filsafat: "Lu kira Filsafat cuma buat debat receh? Kalo hidup lu cuma ngandelin logika Newton, berarti lu cuma robot, Vin."
Nggak butuh waktu lama, balasan Vina langsung muncul.
Vina Fisika: "Robot? Setidaknya robot punya fungsi jelas. Filsafat malah sering bingung sama tujuannya sendiri."
Grup makin ramai. Beberapa mahasiswa dari jurusan lain mulai ikut nimbrung.
Fahmi Sastra: "Wah, seru nih. Filosofi vs Sains. Gue jadi penasaran siapa yang menang."
Lia Psikologi: "Iya, debatnya lanjutin dong. Gue pengen belajar cara ngalahin cowok kalo lagi adu argumen, hahaha."
Joko merasa makin panas, tapi dia berusaha tetap tenang. Dia tahu Vina sengaja nyulut dia.
Joko Filsafat: "Filsafat itu lebih dari sekadar fungsi, Vin. Kita mikir soal alasan di balik fungsi itu ada. Lu anak Fisika, harusnya ngerti ini."
Vina nggak kalah cepat balas.
Vina Fisika: "Mikir terlalu jauh malah bikin bingung, Jok. Kita butuh solusi, bukan cuma pertanyaan nggak jelas."
Joko Filsafat: "Tanpa pertanyaan, nggak ada ilmu, Vin. Semua pengetahuan lahir dari rasa ingin tahu. Jadi jangan remehin pertanyaan."
Suasana grup memanas. Mahasiswa lain makin penasaran dengan perdebatan ini.
Fahmi Sastra: "Gila, ini debat udah kayak tontonan gratis. Lanjut, bro!"
Lia Psikologi: "Bener, bener. Siapa yang kalah harus traktir satu kantin kampus!"
Vina, yang selalu suka tantangan, langsung nyaut.
Vina Fisika: "Oke, deal. Joko, kalo gue menang, lu traktir gue kopi sebulan penuh!"
Joko tertawa kecil membaca tantangan itu. Dia balas dengan santai.
Joko Filsafat: "Boleh. Tapi kalo gue yang menang, lu berhenti gangguin gue soal Fisika."
Vina Fisika: "Siap!"
Dan begitu saja, perang Filsafat vs Fisika resmi dimulai, nggak cuma di grup, tapi juga di kehidupan kampus mereka.
Esok harinya, Vina lagi duduk santai di bangku depan kelas sambil mengerjakan tugas. Ketika Joko lewat, Vina langsung melambaikan tangan.
“Joko, sini deh!”
Joko menghela napas dan mendekat dengan malas. “Apaan lagi, Vin? Mau debat lagi?”
Vina menyengir. “Tentu aja. Tapi kali ini gue udah siap banget. Gue baru baca buku soal dualitas cahaya, dan gue yakin banget bisa bikin lu bingung.”
Joko memandang Vina dengan tatapan datar. “Lu kayak nggak punya kerjaan lain, ya?”
“Justru ini kerjaan gue sekarang. Ngebuktiin kalau Fisika lebih berguna daripada Filsafat,” jawab Vina dengan penuh percaya diri.
Joko tertawa kecil. “Oke, gue kasih lu kesempatan. Jelasin dualitas cahaya itu apa, dan gue bakal nunjukin kalau lu cuma fokus di permukaannya.”
Vina melipat tangan dan menjelaskan dengan semangat. “Dualitas cahaya itu konsep kalau cahaya bisa bersifat sebagai gelombang dan partikel. Gimana, Jok? Keren, kan? Lu Filsafat bisa jelasin ini?”
Joko berpikir sejenak, lalu menjawab dengan tenang. “Oke, gue akui itu menarik. Tapi itu kan cuma cara manusia memahami cahaya. Apakah cahaya itu sendiri peduli sama bagaimana kita ngelihatnya?”
Vina mengernyit. “Maksud lu?”
“Cahaya nggak peduli lu sebut gelombang atau partikel. Dia cuma ada. Lu yang bikin konsep buat ngerti dia. Tapi, konsep itu nggak bikin cahaya berubah,” jelas Joko dengan nada serius.
Vina terdiam sebentar, lalu tersenyum lebar. “Tuh kan, lu mulai mikir kayak Fisika. Itu udah kemajuan!”
Joko hanya memutar mata sambil berjalan pergi. “Lu yang aneh, Vin.”
Dan begitu, ronde baru dimulai lagi. Entah kenapa, meski debat ini bikin Joko pusing, dia nggak sepenuhnya keberatan kalau Vina terus muncul di hidupnya.
Hari itu, perpustakaan kampus lagi nggak terlalu ramai. Joko, yang biasanya lebih suka di kosan, memutuskan buat ke sana karena salah satu temannya bilang ada buku filsafat langka yang baru datang. Dengan celana jeans belel dan hoodie lusuh, dia masuk sambil membawa tas punggung yang isinya lebih banyak cemilan ketimbang buku.
Begitu dia masuk, matanya langsung menangkap pemandangan yang bikin dia mendecak sebal. Di salah satu meja dekat rak buku Fisika, Vina duduk santai, dengan buku tebal terbuka di depannya. Dia menyesap kopi dari termos kecil sambil mencoret-coret sesuatu di notebook.
Kenapa dia di sini lagi, sih? pikir Joko sambil berusaha jalan pelan-pelan biar nggak ketahuan.
Tapi keberuntungannya hari itu nggak besar. Vina melirik ke arahnya, dan senyum liciknya langsung muncul. “Eh, Joko! Ngapain lu di sini? Nyasar?”
Joko berhenti di tempat, menghela napas panjang, lalu menoleh malas. “Gue kira perpustakaan kampus bebas buat siapa aja.”
Vina tertawa kecil. “Gue cuma kaget aja. Anak Filsafat jarang nongkrong di sini. Biasanya kalian sibuk duduk di taman sambil mikir ‘apa arti hidup’.”
“Lucu banget, Vin.” Joko melangkah mendekat, melempar pandangan ke buku tebal di depannya. “Itu buku apaan? Jangan bilang lu lagi cari bahan buat ngejek gue lagi.”
“Loh, kok bisa ketebak?” Vina terkekeh sambil menunjukkan sampul buku. “Ini buku tentang teori relativitas Einstein. Gue pikir menarik buat ngelempar argumen baru ke lu. Siapa tahu lu mulai belajar mikir realistis.”
Joko mengangkat alis, lalu duduk di seberang Vina tanpa diundang. “Realistis? Gue rasa gue udah cukup realistis, kok. Gue sadar banget kalau lu nggak bakal berhenti ganggu gue sampai gue menangin debat ini.”
“Mimpi, Jok. Gue yakin lu bakal kalah terus.”
Joko mendekatkan wajahnya sedikit, tatapannya serius. “Oke, Vin. Gue kasih lu satu tantangan sekarang. Jelasin teori relativitas Einstein dengan bahasa yang simpel, biar gue ngerti. Kalau gue nggak ngerti, berarti lu nggak kompeten.”
Vina tersenyum lebar. “Oke, tantangan diterima. Dengerin baik-baik.”
Dia menggeser kursinya mendekat, mengambil notebook dan mulai mencoret-coret sesuatu. “Relativitas itu simpel banget, Jok. Intinya, waktu dan ruang itu relatif, tergantung siapa yang ngukur. Misalnya, kalau ada orang di kereta yang jalan cepat banget, dan ada orang lain di luar kereta yang diam, mereka bakal ngukur waktu dan jarak yang berbeda. Ngerti, kan?”
Joko mengerutkan dahi, pura-pura bingung. “Jadi, maksud lu, kalau gue di kereta dan lu di luar, waktu gue bakal lebih lambat dari waktu lu?”
“Betul!” Vina menjawab penuh semangat.
Joko terdiam sejenak, lalu bersandar di kursinya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. “Kalau gitu, kenapa hidup gue tetap terasa lambat padahal gue nggak pernah naik kereta?”
Vina melongo, lalu tertawa keras sampai penjaga perpustakaan menegur. “Sialan, Jok! Itu curhat namanya, bukan relativitas!”
“Gue cuma nyambungin konsepnya ke hidup sehari-hari,” jawab Joko dengan nada datar.
Vina menyeka air matanya sambil masih tertawa kecil. “Dasar lu, ya. Kadang gue mikir, kenapa lu nggak jadi komedian aja? Mungkin lebih cocok daripada jadi filsuf.”
“Karena gue nggak mau ngecewain stand-up comedy dengan lawakan gue yang terlalu pintar.”
Vina menggeleng pelan sambil tersenyum. “Terserah lu aja. Tapi serius, Jok, kenapa lu kuliah di Filsafat? Nggak pernah kepikiran ambil jurusan yang lebih... ya, praktikal?”
Joko diam sebentar, matanya memandang ke arah jendela perpustakaan. “Karena gue lebih suka mikir soal pertanyaan yang nggak punya jawaban pasti. Hidup ini kan nggak selalu logis, Vin. Dan kadang, gue lebih nyaman di dunia yang nggak harus logis itu.”
Vina terdiam. Jawaban Joko terdengar lebih dalam dari yang dia duga. Tapi dia nggak mau kalah. “Oke, tapi hidup tetap butuh logika, Jok. Kalau nggak, lu bakal jalan di tempat selamanya.”
“Makanya gue jalan pelan-pelan, biar gue nggak ketinggalan hal-hal kecil yang orang lain nggak lihat,” balas Joko sambil tersenyum tipis.
Vina menatapnya sesaat, lalu menggeleng sambil tersenyum. “Gue nggak pernah ngerti cara lu mikir, Jok. Tapi, ya udah, gue tetap bakal debat lu sampai kapan pun.”
“Dan gue tetap nggak akan kalah,” balas Joko santai.