Dominica Sophia Raviola Dexter, gadis cantik berusia 16 tahun itu merasa hidupnya tidak tenang karena selalu dipertemukan oleh seorang pria bernama Alexander Kai Devinter, pria yang berusia 12 tahun jauh di atas dirinya.
Alexander Kai Devinter, laki-laki berusia 28 tahun, pria single yang dingin dan menutup hati setelah kepergian sang kekasih, hingga orang tuanya nyaris kehilangan harapan memiliki menantu, mulai bangkit kembali dan mulai mengejar gadis yang membuatnya jatuh hati. Setelah pertemuan malam hari di sebuah pesta itu.
Bagai terikat sebuah benang takdir, keduanya selalu dipertemukan secara tidak sengaja.
Akankah Sophia menerima takdir cintanya, atau justru membuat takdir cintanya sendiri?
Don't Boom like!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Claudia Diaz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejadian Romantis di Supermarket
Seperti yang direncanakan sebelumnya, Kevin dan Zizi baru saja pulang dari periksa kandungan. Hari ini matahari sudah hampir berada di atas. Maklum saja, antrean dokter kandungan memang panjang dan Kevin enggan diistimewakan. Jadi mau tidak mau, mereka pulang saat hari menjelang siang.
Dan benar saja, ternyata Zizi memang tengah hamil dan usia kandungannya baru menginjak 8 minggu. Dokter pun meresepkan vitamin untuk ibu hamil dan obat mual. Mengingat Zizi sedang memasuki fase morning sickness.
Seperti janjinya pagi tadi, Kevin benar-benar tidak membeli susu ibu hamil untuk sang istri, lantaran kedua anaknya bersikukuh akan membelikan susu untuk sang ibu.
Berita bahagia ini pun juga disambut antusias oleh para pelayannya di rumah. Mereka berharap jabang bayi dan ibunya selalu sehat hingga waktu persalinan tiba.
Kevin menuntun istrinya menuju kamar mereka, kamar bernuansa hitam dengan ranjang berukuran king size di tengahnya terlihat mewah dan nyaman.
“Apa masih mual?" tanya Kevin. Mereka berdua sudah berada di atas tempat tidur. Dengan Kevin yang bersandar di kepala ranjang dengan merengkuh Zizi dalam pelukannya, kepalanya ia sandarkan di dada bidang Kevin.
Zizi hanya memejamkan matanya, berusaha meresapi dan menikmati elusan lembut Kevin, “Sedikit, kapan mualnya akan hilang?"
“Jika kau masih mual aku akan menyuruh pelayan untuk membuatkan jus lemon, rasa asam bisa meredakan rasa mual," Kevin memberi saran.
“Omong-omong bagaimana anak-anak?" Zizi bertanya, kepalanya mendongak menatap Kevin dengan mata pandanya yang tajam.
“Mereka bilang, mereka akan membelikan susu ibu hamil untukmu. Akan tetapi, aku punya firasat buruk saat mereka membelinya nanti, semoga kau tidak terkejut, heh," ujar Kevin sedikit terkekeh.
“Mereka memang anak-anak yang luar biasa! He-he," timpal Zizi.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Lain di kediaman Dexter, yang mana Zizi sedang menikmati waktu intim bersama sang suami, lain pula dengan perilaku sang putri di sekolahnya saat ini. Jika Lulu sudah menunggu di luar gedung sekolah hingga nyaris berjamur, lain dengan Soya yang saat ini masih mencoba bernegosiasi untuk izin keluar kelas pada saat jam pelajaran dengan surat dispensasi.
Sial sekali, untuknya karena hari ini guru piket mereka adalah Kai Devinter. Dan pria itu tidak dengan mudah memberikan izin untuk Soya keluar kelas pada saat kegiatan belajar-mengajar sedang berlangsung.
“Ayolah, Pak. Saya ini bersungguh-sungguh! Mommy saya sedang sakit, Daddy saya bahkan tidak bisa ke mana-mana karena harus menjaga Mommy. Maka dari itu, saya harus membelikan obat untuk Mommy saya!" ucap Soya sedikit ngotot. Jika bicara dengan guru yang satu ini Soya tidak bisa sedikit lebih santai. Urat saraf pun harus rela ia perlihatkan dengan jelas.
“Dan kenapa harus kau yang membeli obat? Bukankah di kediaman keluarga Dexter memiliki banyak pelayan?" Kai bertanya, hatinya seolah tidak mempercayai jika ibu dari muridnya ini jatuh sakit.
Soya menggeram guru di depannya ini sangat ... sangat ... sangat menjengkelkan. Ingin rasanya ia memotong tubuh guru sok tampan ini menjadi beberapa bagian dan dijadikan makanan Hochu, anjing kesayangannya. Akan tetapi, ia sedikit tersadar bahwa Hochu tidak akan mau makan racun seperti daging tubuh Kai.
Soya harus memutar otak agar Kai mau memberikan izin padanya melalui surat dispensasi, “Benar juga apa kata Anda. Di rumah saya ada banyak sekali pelayan. Kenapa bukan pelayan saja yang membeli obatnya? Bukankah Anda juga sama? Di rumah Anda banyak sekali pelayan. Oleh sebab itu, ketika Ibu Anda sakit, Ayah Anda dan Anda sendiri tak pernah merasa khawatir karena ada pelayan yang merawat Ibu Anda ...."
“... Anda hanya bekerja dan bekerja. Tidak memedulikan kesehatan dan keadaan Ibu Anda. Ketika kesehatan Ibu Anda memburuk, bahkan parahnya sampai ajal menjemput, Anda tinggal menyalahkan pelayan Anda. Wah, ternyata definisi anak yang berbakti pada orang tua itu, semacam itu, ya? Saya baru tahu. Akan tetapi, maaf Pak. Saya bukanlah anak durhaka macam Anda."
Kai dan beberapa guru yang masih berada di sana yang mendengar perkataan Soya sontak melotot. Mereka tidak menyangka Soya seberani itu dengan anak pemilik yayasan sekolah ini.
“Jika memang tak boleh, saya permisi, Pak. Waktu saya tidak banyak, terserah Anda ingin menghukum saya, atau mengeluarkan saya dari sekolah, saya tidak peduli," Soya melangkahkan kakinya bermaksud keluar dari ruang guru, dengan mengambil surat dispensasi yang belum disetujui oleh Kai.
Akan tetapi, ketika baru beberapa langkah, Soya terhenti karena mendengar seruan Kai, “Tunggu!"
Soya masih menunggu Kai melanjutkan ucapannya.
“Bawa ke sini surat dispensasi itu, biar saya tandatangani!" ucap Kai kemudian. Dan berhasil! Senyum licik nan tipis tersungging di bibir hati Soya. Ia lantas berbalik dan menghampiri meja Kai, menyodorkan surat dispensasi pada pria berkulit tan itu untuk dibubuhi tanda tangan.
“Sudah sana! Titip salam supaya ibumu lekas sembuh," ujar Kai pada Soya.
Senyum di bibir hati Soya tampak merekah, membuat Kai sedikit tergemap. Waktu seolah terhenti dan Kai lupa sejenak bagaimana cara bernapas. Sophia, gadis itu tampak berkali-kali lipat terlihat lebih cantik daripada biasanya.
“Terima kasih, Pak. Saya permisi!" seruan Soya membuat Kai tersentak. Dilihatnya gadis itu sudah berlari dari ruang guru dan sosoknya perlahan menghilang dari pandangan.
“Seharusnya Anda tidak memberikan izin untuknya, Pak Kai," komentar salah satu guru perempuan di sana.
“Diam dan tetaplah bekerja. Saya menggajimu untuk fokus mengajar anak-anak didik, bukan fokus untuk mengurusi kehidupan dan urusan pribadi saya! Atau Anda mau saya pecat?" desis Kai pada guru wanita itu, hingga wajah guru itu memucat.
“Ma ... maafkan saya, Pak," ucapnya seraya dengan kepala tertunduk.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
“Lama sekali, sih, sayangku? Aku menunggumu hingga berjamur di sini!" Lulu mengeluh.
“Maaf, ini semua salah Paman Pat Kai yang tidak memberikanku izin dengan mudah," Soya menjawab kakaknya.
“Pat Kai?" beo Lulu.
“Cu Pat Kai Devinter."
Detik berikutnya, tawa Lulu menggema dalam mobil, “Sialan, ha-ha-ha ... julukanmu, lalu kau bilang apa padanya hingga bisa mendapatkan izin darinya yang sangat berharga itu?"
Soya menceritakan bagaimana pada akhirnya ia bisa mendapatkan izin dari Kai pada Lulu. Hingga cerita itu berakhir justru tawa Lulu semakin meledak.
“Berhentilah tertawa please! Kita sedang berada di jalanan. Kakak mau disangka orang gila oleh pengguna jalan lain?" tanya Soya.
“Maaf-maaf, habisnya itu menggelikan. Bagaimana bisa kau memiliki ide semacam itu untuk mengelabuhinya?" tanya Lulu tidak habis pikir.
Soya membuang pandangannya ke arah jalanan dan kendaraan yang berlalu-lalang. Gas polutan yang menyeruak bercampur dengan debu menyesakkan paru-paru. Membuat Soya menutup kaca mobilnya, sembari menjawab pertanyaan kakaknya, “Entahlah, ide itu tiba-tiba melintas di pikiranku."
Lulu menganggukkan kepalanya dan menginjak pedal gas agar cepat sampai ke tempat tujuan.
Setibanya di supermarket, Lulu dan Soya langsung menuju di mana rak susu ibu hamil berada.
“Mau yang rasa apa?" tanya Soya, pada kakaknya.
“Bagaimana kalau vanilla?" usul Lulu.
“Tidak-tidak. Kebanyakan ibu hamil justru benci susu rasa vanilla, katanya terlalu enek, mereka pasti ingin rasa lain. Kalau begitu bagaimana jika rasa cokelat saja? Cokelat adalah raja dari segala minuman susu," Soya berpendapat.
“Cokelat itu terlalu biasa dan setahuku, rasanya juga sama eneknya. Bisa-bisa Mommy akan mengalami mual parah," Lulu tak menyetujui usulan adiknya itu.
“Lalu kita harus membeli yang mana? Eh, jangan lupa lihat juga kandungan susunya!" Soya mengingatkan sang kakak. Dalam hal nilai gizi ia lebih mempercayakan kepada kakaknya. Mengapa demikian? Karena Soya beranggapan jika yang lebih tua, itu berarti dia lebih memahami soal kehamilan.
“Kenapa harus aku?" tunjuk Lulu pada dirinya sendiri.
“Karena kakak lebih paham dariku. Dan pastinya kakak pasti paham soal kehamilan dan kesehatan janin serta ibu hamil," ucap Soya dengan yakin.
“Bodoh, aku ini adalah mahasiswa jurusan bisnis. Bukan kedokteran dan ahli gizi. Yang kedua, aku tak berpengalaman karena aku belum pernah hamil!" Lulu merasa gemas dengan tingkah sang adik yang seenaknya itu.
Di tengah perdebatan mereka, seorang pria mengulum senyum misterius. Sedikit menyeringai karena objek yang dia cari telah ditemukan. Tanpa membuang banyak waktu, dia mengeliminasi setiap jarak hingga saat ini dirinya berada tepat di belakang gadis itu.
“Jadi, sekarang apoteknya sudah pindah di supermarket?!" serunya, membuat para gadis itu menoleh.
“Kenapa Bapak menguntit kami?!" sentak Soya merasa kesal.
“Karena aku tidak percaya padamu. Kau bilang ibumu tengah jatuh sakit dan kau membeli obat? Akan tetapi, apa. Coba lihat ini, susu hamil?" Kai mengambil barang yang ada di tangan Soya.
“Mommy saya memang sedang sakit, beliau merasa lemas dan tidak berdaya, juga mengalami mual dan muntah yang disebabkan hamil, tetapi itu sama saja, kan membuat Mommy tidak memiliki tenaga?" Soya mulai berkelit.
“Hamil itu tidak sama dengan sakit, Viola! Bagaimana kau bisa sepolos itu?" Kai memijat pelipisnya yang mulai berdenyut.
“Stop!" seru Lulu menghentikan perdebatan mereka, “daripada kalian ribut tidak jelas di sini. Lebih baik Paman membantu kami memilihkan susu ibu hamil yang baik untuk Mommy kami."
“Ah, Kakak benar. Dan jangan lupa, bayar tagihan kami juga, ya!" Soya menimpali.
“Apa?" Kai membolakan matanya. Bagaimana bisa dirinya diperas oleh dua gadis yang umurnya jauh lebih muda daripada dirinya?
“Ayolah, hanya susu ibu hamil saja, tidak ada yang lain kok," rayu Soya.
Soya dan Lulu hendak meraih kotak susu ibu hamil yang ada di bagian atas. Namun, sayangnya mereka tak sampai. Alhasil harus melompat-lompat agar mendapatkannya.
“Dasar pendek!" cibir Kai dalam hati.
Ia masih melihat Soya yang berusaha melompat lebih tinggi tanpa melihat sekitarnya. Tiba-tiba saja tubuhnya kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh sebelum tangan Kai dengan cepat merengkuh pinggang ramping Soya.
Lulu yang melihat adegan romantis secara live itu memekik tertahan, menahan teriakan yang tertahan di tenggorokannya.
“Hati-hati," bisik Kai di telinga Soya. Posisi mereka sangat intim. Di mana punggung Soya menempel pada bagian depan tubuh Kai bahkan tanpa ada jarak. Bahkan suara hembusan Kai terdengar dengan jelas di telinga Soya, membuat gadis itu bergidik geli.
Kai lantas meraih kotak susu yang terdapat di rak bagian atas dengan tangannya yang bebas dan satu tangan lagi masih merengkuh pinggang Soya.
Mereka bahkan tidak menyadari jika perilaku mereka menjadi tontonan pengunjung lain. Bahkan ada yang berbisik-bisik dan terdengar cekikikan dari beberapa yang melihat mereka. Ada juga yang memekik tertahan menahan gemas.
“Halo, ini masih tempat umum, berhentilah berlovey-dovey ria, kalian bahkan menjadi tontonan pengunjung di sini!" seru Lulu membuat mereka tersadar dan Kai melepas rengkuhannya saat Soya sudah berdiri dengan benar.
“Maaf," ujar Kai singkat.
Kai mengambil beberapa kotak susu ibu hamil sebelumnya ia meneliti terlebih dahulu kandungan gizi yang tertera di informasi nilai gizi yang terdapat di susu tersebut. Setelahnya mereka berjalan menuju kasir.
“Sebelum membayar, apa ada lagi yang ingin kalian beli?" Kai bertanya matanya menjeling ke arah Lulu.
“Biasanya apa saja yang dibutuhkan ibu hamil?" Lulu balik bertanya.
“Tergantung, berapa usia kandungan ibumu?" jawab Kai kembali dengan pertanyaan.
“Entahlah, yang pasti tadi pagi, Daddy berkata bahwa Mommy sekarang tengah hamil, tetapi yang jelas perutnya belum menonjol," beritahu Lulu.
“Masih muda ternyata. Sebenarnya ada baju untuk ibu hamil juga, untuk berjaga-jaga jika bajunya sudah tidak muat, tetapi kurasa itu belum perlu," kata Kai sambil mendorong troli.
“Baiklah kurasa susu untuk ibu hamil sudah cukup, Paman," ujar Lulu. Ke mana Soya? Dis berjalan di samping Kai. Sedari tadi gadis bermata serupa burung hantu itu mendadak diam. Ia berusaha menormalkan detak jantungnya yang berdetak tidak normal karena sedang senewen akibat kejadian tadi.
“Kenapa jantungku berdetak cepat sekali? Aku tidak memiliki riwayat penyakit jantung koroner, kan? Daddy, tolong Soya, hiks ...," batin Soya merasa ketakutan, lantaran jantungnya terus berdegup kencang.
Kai terus memperhatikan Soya. Sedikit melirik gadis yang sedari tadi hanya diam tersebut. Netranya menangkap sesuatu yang menarik perhatiannya. Ada bercak merah di rok gadis itu.
Sejenak langkah Kai berhenti, ia melepas jas armani yang membungkus tubuh atletisnya, lalu dilingkarkan ke pinggang Soya. Bagian lengannya diikat menjadi satu menyerupai sabuk, hingga bagian belakang gadis itu tertutupi jas armani miliknya.
Jujur saja perlakuan Kai membuat tubuhnya membeku seakan tak mampu digerakkan. Sementara Lulu yang melihat aksi gentle Kai hanya mengulum senyum tipis.
“Kau sedang tanggal merah?" bisik Kai pada Soya lagi.
“Eh?" Soya baru ingat, mungkin ini sudah waktunya. Pantas saja, sedari tadi perutnya terasa tidak nyaman.
Kai berhenti lagi saat ia melewati rak dengan jajaran pembalut berbagai merk di sana.
“Biasanya kau pakai yang mana. Sayap, atau tidak. Dan ukuran berapa?" tanya Kai pada Soya, kedua gadis ini bahkan melongo. Apakah Kai tidak malu membeli barang yang identik dengan keperluan wanita seperti ini?
“Pak, Bapak sehat?" tanya Soya masih setia menatap heran pada gurunya ini.
“Saya sehat Soya. Bahkan sangat bugar hari ini, kenapa kau bertanya seperti itu?"
“Tentu saja saya bertanya seperti itu, memangnya Bapak tidak malu, membeli barang-barang seperti itu?"
“Kenapa harus malu? Kita sudah pernah diajarkan sistem reproduksi di sekolah, kan? Bahkan sejak sekolah dasar pun sudah dikenalkan meski tak mendalam seperti sekolah menengah atas, saya tahu apa itu menstruasi dan apa yang perempuan butuhkan pada saat menstruasi. Bukannya itu pengetahuan umum? Lagipula, ketika saya memiliki istri nanti, saya juga sering melihat barang ini, kok," jelas Kai lugas.
Soya dan Lulu benar-benar kehilangan kata-kata. Mereka tak menyangka Kai berani membeli bahkan berbicara tentang menstruasi, yang bagi kebanyakan kaum pria itu adalah hal tabu.
“Saya bukan lagi remaja labil. Yang masih malu-malu ketika melihat barang seperti ini," Kai mengambil dua pembalut berukuran besar dengan sayap, dan empat lagi yang berukuran kecil.
Setelahnya mereka menuju kasir untuk membayar belanjaan. Meski banyak pasang mata yang mencuri pandang ke arah pria itu, tetapi Kai tak mengacuhkan mereka semua.
Usai membayar mereka pulang terpisah, Lulu pulang sendirian dengan membawa susu ibu hamil, sementara Soya pulang bersama Kai dan kembali ke sekolah.
typ typ😝
tapi karya ini bagus.. alurnya agak lambat sih mnurutku, tapi ada kejutan di tiap bab nya, jadi mencegah bosan. terutama tokoh wanitanya, digambarkan sebagai wanita kuat, kuat dari semua sudut.