“Kamu harus bertanggungjawab atas semua kelakuan kamu yang telah menghilangkan nyawa istriku. Kita akan menikah, tapi bukan menjadi suami istri yang sesungguhnya! Aku akan menikahimu sekedar menjadi ibu sambung Ezra, hanya itu saja! Dan jangan berharap aku mencintai kamu atau menganggap kamu sebagai istriku sepenuhnya!” sentak Fathi, tatapannya menghunus tajam hingga mampu merasuki relung hati Jihan.
Jihan sama sekali tidak menginginkan pernikahan yang seperti ini, impiannya menikah karena saling mencintai dan mengasihi, dan saling ingin memiliki serta memiliki mimpi yang sama untuk membangun mahligai rumah tangga yang SAMAWA.
“Om sangat jahat! Selalu saja tidak menerima takdir atas kematian Kak Embun, dan hanya karena saat itu Kak Embun ingin menjemputku lalu aku yang disalahkan! Aku juga kehilangan Kak Embun sebagai Kakak, bukan Om saja yang kehilangan Kak Embun seorang!” jawab Jihan dengan rasa yang amat menyesakkan di hatinya, ingin rasanya menangis tapi air matanya sudah habis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makan siang
“Maaf Pak Fathi, Bapak diminta ke ruangan Pak Gibran sekarang,” ucap Ahmad asisten Fathi yang membantu pekerjaan administrasinya.
Pria itu menghela napas panjang seiringan bangkit dari duduknya, lalu tangannya bergerak merapikan jas putih yang dikenakannya. Derap langkah kakinya yang begitu tegap bergerak keluar dari ruang kerjanya.
Wajahnya yang penuh wibawa dan dingin, membuat siapa pun tidak bisa memalingkan wajahnya pada sang mantan duda, terutama para wanita yang bekerja di rumah sakit baik dokter maupun perawat, status menikahnya pun belum diketahui oleh orang banyak.
“Ada apa Pah memanggilku?” tanya Fathi setibanya di ruang kerja Papa Gibran.
Pria tua itu mendongakkan wajahnya. “Duduklah dulu Fathi,” pinta Papa Gibran, lalu dia beranjak dari kursi kebesarannya kemudian bergerak pindah duduk di sofa bersama Fathi.
“Papa memanggil kamu ke sini hanya ingin menanyakan keadaanmu dengan Jihan karena kamu kemarin langsung membawanya pulang ke rumah, bukannya menginap dulu di rumah mertuamu dulu.”
“Kabarnya baik-baik saja Pah, tidak ada yang perlu Papa khawatirkan.”
Papa Gibran menatap dalam Fathi mencari kebenaran atas ucapan anaknya tersebut. “Ya Papa harap rumah tanggamu dengan Jihan baik-baik saja walau kamu mungkin tidak menyukai Jihan, tapi setidaknya kamu belajar menerima istri barumu itu. Dan kapan kira-kira kamu mau menyelenggarakan resepsi pernikahanmu dengan Jihan, biar karyawan, kerabat dan semuanya tahu dengan status barumu?”
Fathi agak menyunggingkan senyum hambarnya. “Aku rasa tidak perlu menyelenggarakan resepsi Pah, tidak ada gunanya aku memberitahukan status baruku kepada semua orang, tetap seperti ini saja, lagi pula Jihan juga pasti tidak akan menginginkannya.” Biarlah semua orang tahunya jika Jihan sebagai adik mending istrinya bukan istrinya, inilah yang ada dipikirannya.
“Begitukah?”
“Ya seperti itulah.”
Papa Gibran menarik napas pelan. “Semoga saja kelak kamu dan Jihan bisa berubah pikiran, karena memberitahukan pernikahan barumu dengan Jihan juga mencegah sesuatu hal jika ada kesalahpahaman. Tapi ya, Papa hanya bisa menyarankan saja, karena itu hak kamu dan Jihan.”
Fathi tampaknya tidak mengindahkan permintaan papanya. “Dan satu lagi Papa dan Mama sudah menyetujui akan membiayai perkuliahan Jihan, nanti tolong kamu urus dan tanyakan dia mau kuliah di mana dan kamu tidak boleh melarang untuk Jihan kuliah, karena ini sudah janji kami saat dia mau menerima lamaran kami untuk kamu.”
Fathi menghela napas, lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran. “Jihan mau kuliah?” Rupanya pria itu agak mencemoohkan gadis itu.
“Papa sangat berharap dengan pernikahanmu ini, rumah tanggamu adem ayem Fathi, sekali lagi Papa ingatkan belajarlah menerimanya walau mungkin saat ini kamu masih mencintai mendiang istrimu, tapi anakmu butuh sosok seorang ibu. Tak ada salahnya mengenali lebih dalam lagi istrimu itu,” imbuh Papa Gibran memberikan nasehat.
Fathi hanya bisa mengulum senyum getirnya bersamaan kepalanya yang mengangguk paham, walau hatinya sangat jauh berbeda.
Usai Papa Gibran bertanya mengenai rumah tangga anaknya, mereka lanjut membicarakan masalah kerja sama rumah sakit dengan perusahaan farmasi dan alat penunjang kesehatan, dan tak terasa waktu sudah menuju jam makan siang, Fathi pun berpamitan.
“Mas Fathi,” panggil Kinan yang tak sengaja melihat pria itu keluar dari ruangan Papa Gibran.
Wanita itu mendekat dan menyebarkan senyum manisnya. “Makan siang yuk Mas. Pasti Mas Fathi belum makan'kan?”
“Iya, ini juga rencananya mau makan siang dulu sebelum nanti jam 2 ada jadwal bedah,” jawab Fathi.
“Nah kebetulan, makan siang baru yuk Mas, di cafe yang gak jauh dari sini, makanannya enak-enakloh,” ajak Kinan dengan wajah yang meyakinkan.
“Ya udah boleh,” jawab Fathi menyetujui tanpa banyak berpikir lagi, lalu mereka berjalan beriringan turun dan keluar dari lobby. Wanita itu selalu mengembangkan senyum hangat pada setiap mata yang memandang dirinya dan Fathi berjalan bersamaan.
Sementara itu di Sunshine Cafe Resto ...
Syifa mengajak Jihan bertemu dengan teman-teman sekolah mereka yang memang sudah bikin janji mau bertemu sambil makan siang, dan akan saling berbagai informasi mengenai universitas yang akan mereka pilih. Dan di sinilah Jihan dan Syifa sekarang, duduk bersama ketiga temannya yang lain, sambil menikmati makan siang sambil berbincang.
“Jadi Ji, lo rencana mau pilih kuliah di mana?” tanya Lula sambil menikmati paket nasi pecel ayamnya.
“Rencananya gue mau coba SNMPTN dulu, kalau gak lolos ya cari universitas swasta yang terjangkau aja di daerah Jakarta,” jawab Jihan
“Lo mah pasti bisa masuk negeri, lo'kan selalu dapat rangking di sekolah, Ji,” celetuk Syifa.
“Aamiin, semoga aja deh nanti lulus SNMPTN,” jawab Jihan tersenyum penuh harapan, lalu dia kembali menikmati paket nasi iga bakarnya, akan tetap Syifa mencolek pinggangnya.
“Jihan, lihat siapa di sana,” ucap Syifa sambil tangannya terulur ke depan, lantas netra Jihan mengikutinya. Gadis itu pun mengulum senyum manisnya dan semakin lama orang yang ditunjukkan oleh Syifa semakin mendekat.
Pria keturunan Turki itu tersenyum pada Jihan dan ke semua teman Jihan.
“Kak Beni!” seru teman-teman Jihan terkejut dan terlihat senang saat melihat pria muda itu saat menghampiri meja mereka.
“Halo semuanya, halo juga Jihan, gak menyangka bisa ketemu di sini,” ucap Beni begitu ramahnya, ditambah senyumnya begitu hangat di wajah tampannya.
“Halo juga Kak Beni,” balas sapa Jihan ramah.
“Boleh ikutan bergabung?” tanya Beni sembari menatap Jihan.
“Eh ... Sangat boleh kok, Kak Beni,” timpal Syifa, agak menggeser tempat duduknya karena sejak tadi dia melihat seniornya itu tertuju pada Jihan, jadi tanpa diminta Syifa membiarkan Beni duduk di samping Jihan. Lagian Jihan juga tidak komplain padanya, malah terlihat senyum terus.
Semakin ramailah meja Jihan dan teman-teman dengan kehadiran Beni, apalagi pria itu dengan ramah menjawab tentang perkuliahan karena Beni saat ini sedang kuliah tingkat tiga.
“Jihan, semoga nanti kita satu universitas ya,” ucap Beni sangat berharap pada gadis cantik itu.
“Aamiin ya Kak Beni, doain biar Jihan tembus ke sana,” jawab Jihan penuh semangat.
“Pasti kamu bisa lulus, kamu'kan pintar,” puji Beni sembari membelai rambut panjang Jihan.
Fathi yang baru saja tiba di cafe resto bersama Kinan, dan sedang mencari meja yang kosong mendadak langkah kakinya berhenti saat tak sengaja netranya melihat meja yang ditempati oleh Jihan, dan di saat itu juga Fathi melihat pria muda tersenyum pada Jihan sambil membelai rambut Jihan.
Pria dewasa itu terdiam, tapi netranya semakin memicing dan sangat tajam ke arah meja Jihan, namun untungnya Jihan tidak melihatnya.
“Mas Fathi, kok diam aja? Kita duduk di sana yuk, di sana kosong,” ajak Kinan, tangannya menunjuk ke arah meja sebelah kanan yang ditempati oleh Jihan dan teman-temannya. Melihat Fathi belum meresponnya, Kinan pun melayangkan pandangannya sesuai pandangan Fathi.
“Oh rupanya ada Jihan ... Eh'kan benar yang aku duga Mas, pasti Jihan mau bertemu sama teman dan pacarnya,” ucap Kinan tersenyum memandang Jihan lalu Fathi.
Bersambung ... ✍🏻