Semua yang masih bersama memang pasti seakan tiada artinya. Penyesalan akan terasakan ketika apa yang biasa bersama sudah HILANG.
Andrian menyesali segala perbuatannya yang sudah menyiksa Lasya, istrinya. Sampai akhir dia di sadarkan, jika penyelamat dia saat kecelakaan adalah Lasya bukan Bianka!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lyoralina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Dengan pemikiran matang-matang Lasya memutuskan untuk tetap pergi bekerja. Dia, saat ini sudah berpakaian rapi dengan mengenakan atasan berwarna merah serta rok hitam.
Haigh hells hitam dan tas hitam, menjadi satuan perpaduan penampilan Lasya. Dengan sangat anggun dan ramah, dia kembali memasuki kantor papa-nya.
" Selamat pagi." Lasya menyapa semua pegawai dan rekan kerja nya yang dia lewati.
" Selamat pagi." Balas mereka.
Langkah kaki Lasya semakin maju.
" Waaaa pengantin baru." Hesti memekik kegirangan saat melihat teman dekat nya ini kembali masuk. Hesti berlari menyambut ria Lasya.
" Pengantin baru, astaga."
Hesti dan Lasya berpelukan. Saling berpegangan bersama dengan senyum yang sama-sama menghiasi wajah mereka.
" Bagaimana? Kamu tadi di antar suami mu kan?" Hesti sangat ingin melihat suami Lasya.
" Tidak. Aku dan dia arah nya beda. Kebetulan dia tadi juga ada rapat pagiii sekali. Jadi yaa gitu deh aku berangkat sendiri."
Hesti langsung menggerakkan bibirnya mengkerut.
" Kok bisa sih pengantin baru gak romantis kayak gini." Ucap Hesti dengan raut wajah tidak suka.
" Ya mau bagaimana lagi, kebetulan dia juga sangat sibuk."
" Haaahhh.." Hesti menghela napas nya kecil. " Tetap saja, sebagai suami seharusnya dia itu prioritasin kamu Sya."
" Udah lah. Bukan masalah besar kok. Lagian aku biasanya juga berangkat sendiri. Kenapa sekarang kamu malah aneh." Balas Lasya. Menatap teman nya yang terus mengoceh tak jelas.
" Iya lah iya lah. Maaff.. gak sesuai expect aja. Makanya aku kayak gini. Maaf yaa." Hesti menarik ujung bibirnya membentuk senyuman. Kelopak matanya juga berkedip-kedip, membuat Lasya yang melihat tingkah Hesti langsung tersenyum geli.
" Ya sudah yuk. Ke ruangan."
Lasya mengajak Hesti ke ruangan.
Tampat kerja mereka memang berjarak dekat.
•
TOK..
TOK..
Lasya mengetuk pintu ruangan papa-nya. Dia langsung masuk dengan menongolkan wajah nya dulu.
" Papa.." panggilnya manja.
Hendrik melepaskan kacamata nya. Menatap putri nya yang sudah 3 hari ini tidak dia jumpai.
" Kemarilah." Titah Hendrik.
Dengan membawa bekal Lasya berjalan menuju meja papa Hendrik. Dia mengangkat wadah makanan itu sedikit ke atas. Menunjukkan kepada sang papa kalau dia membawa sesuatu untuk nya.
" Bawa apa kamu?" Tanya papa Hendrik.
" Aku bawakan sarapan untuk papa. Papa sudah sarapan belum?"
" Sudah. Mama mu tadi mengajak papa sarapan."
Lasya langsung menggut-manggut. Dia duduk di kursi yang berseberangan dengan papa Hendrik.
" Ya sudah kalau gitu papa makan nanti saja." Ucap Lasya.
Papa Hendrik kembali mengenakan kacamata nya. Bersiap kembali membaca pekerjaan yang ada di meja.
Lasya diam sajam. Dia menggigit bibir dalam nya. Melirik berkali-kali sang papa.
" Ehm Pa!" Lasya masih ragu.
" Hem.." balas Papa Hendrik.
" Aku... " Lasya masih ragu.
Kata-kata yang menggantung inilah yang kembali mencuri perhatian Papa Hendrik. Dia menatap Lasya yang nampak ingin berbicara tapi seperti berat untuk mengatakan.
" Ada apa?" Saut Papa Hendrik. Dia meletakkan kembali lembaran dokumen ini. Menatap sang putri yang masih menunduk.
" Apa terjadi sesuatu?" Sambung papa Hendrik.
" Sebenarnya ada sesuatu yang mau aku bicarakan dengan papa. Tapi... aku ragu." Balas Lasya.
" Ragu? Memang apa yang mau kamu katakan!"
" Sebenarnya, mas Andrian menyuruh ku untuk resign." Ucap Lasya.
" Kenapa?" Tanya papa Hendrik dengan nada datar. Terdengar kalau dia tidak ada terkejut-terkejut nya sama sekali.
" Kata mas Andrian biar aku di rumah saja. Tapi papa jangan mikir yang buruk! Aku dan mas Andrian baik-baik saja kok." Lasya dengan sangat yakin menegakkan pandangan nya lurus. Menatap dengan mantap papa-nya.
" Tunggu!" Balas sang papa dengan menunjuk Lasya dengan polpen.
" Iya ada apa Pa?"
" Kenapa dengan jari mu?" Papa Hendrik menyondong kan badan nya ke depan. Menunjuk jari Lasya yang terbalut dengan sebuah hasaplast.
" Ini.... ini tadi aku tidak sengaja teriris. Aku sangat sembrono pa!" Jawab Lasya.
Jantung Lasya sontak langsung berdegub. Papa nya itu menatap nya dengan menyelidik.
Rasa nya tubuh ini sudah berkeringat dingin saja. Tatapan papa Hendrik ini benar-benar menguras adrenalin Lasya. Seketika itu juga, dia merasa terintimidasi. Padahal papa-nya ini diam tidak mengucapkan sepatah kata pun.
" Sembrono!"
Mata Lasya langsung terbuka. Perasaan lega seketika di rasakan penuh oleh nya. Ternyata, papa nya itu tidak menaruh curiga.
" Syukurlah!" Gumam Lasya dalam hati nya. Dia merasa beban yang tadi menindihnya tiba-tiba menjadi sirna.
" Jadi papa setuju tidak? Kalau papa tidak setuju, aku bakalan bilang ke mas Andrian." Ucap Lasya bertanya dengan bersungguh-sungguh. Bagaimana pun juga, menuruti dan menghormati seorang suami adalah kewajiban baginya.
" Terserah kamu! Itu malah bagus. Andrian ingin membuktikan kepada papa kalau dia bisa mencukupi kamu tanpa harus bekerja." Balas Papa Hendrik dengan menandatangi lembaran.
" Iya. Mas Andrian memberikan ku kartu miliknya. Kalau papa tidak percaya lihatlah!" Lasya beranjak berdiri. Dia ingin kembali ke ruangannya hendak mengambil kartu pemberian Andrian.
" Tidak perlu." Cegah papa Hendrik.
Lasya langsung menoleh dan diam di tempat.
" Papa percaya dengan Andrian. Papa sangat yakin dengan pilihan papa."
Lasya langsung tersenyum. Dia senang melihat papa nya bahagia.
" Jadi papa setuju?" Tanya Lasya kembali duduk.
" Tentu saja. Kenapa papa harus tidak setuju." Balas papa Hendrik santai.
" Tapi aku ada syarat." Ucap Lasya.
Membuat kerutan di kening Papa Hendrik terukir.
" Syarat? Syarat apa maksut mu?" Papa Hendrik tidak paham dengan syarat apa yang akan di ajukan oleh Lasya. Bukankah ini cukup aneh! Bawahan mengajukan syarat kepada atasan di jelang masa keluar nya.
" Aku mau papa minta Hesti yang ganti in aku." Balas Lasya.
" Kenapa harus dia? Apa alasan mu?" Pulpen di tangan itu sudah di taruh oleh papa Hendrik. Dia mengangkat tangan nya ke dekat dagu. Seolah sedang menanti jawaban alasan dari Lasya.
" Aku sudah bilang ke Hesti jam berapa saja papa harus minum vitamin. Aku juga sudah bilang ke Hesti minuman apa yang boleh papa konsumsi. Aku tidak mau papa jatuh sakit. Papa selaluuu saja sembrono dan melupakan semua nya kalau sudah fokus dengan pekerjaan."
" Kalau papa setuju, aku dengan tenang mengundurkan diri dari sini. Tapi kalau papa tidak setuju aku akan tetap bertahan di sini sampai papa benar-benar menemukan pengganti ku yang terbaik."
Terlihat sangat protektif sekali. Lasya mengajukan syarat ini bahkan tanpa ragu.
" Ya terserah kamu saja. Jika menurut mu wanita siapa tadi...." papa Hendrik menggantungkan ucapan nya.
" Hesti pa!"
" Ya itu. Kalau menurut mu dia mampu jadi sekretaris papa yan sudah minta dia saja." Ucap papa Hendrik.
" Papa serius." Lasya kegirangan. Apalagi papa Hendrik menyauti dengan anggukan kepala.
" Baik kalau begitu mulai besok aku mengundurkan diri. Aku akan meminta kepada Hesti untuk mengganti kan ku. Terima kasih ya papa. Papa adalah atasan yang terbaik."
Lasya beranjak bangun dan menunduk memberikan hormat.
Tanpa berkata lagi, dia sudah pergi dari sana.
•
Hesti menatap keheranan Lasya.
" Kamu mau kemana? Kenapa barang-barang mu kamu masukkan kardus?" Tanya Hesti.
" Mulai besok aku resign, kamu yang akan gantikan aku." Balas Lasya.
" APA! AKU?" Suara Hesti memekikkan gendang telinga.
" Husstt.. pelankan suaramu. Kamu ini kenapa sih? Gitu saja heboh." Ucap Lasya.
" Lasya, kamu serius? Kenapa kamu berhenti? Terus kenapa harus aku? Bagaimana kalau pak Hendrik tidak setuju?"
" Kamu tenang saja. Aku sudah bicara sama pak Hendrik. Dan dia setuju kok!"
" Whattt!!" Hesti masih tidak percaya. Menurutnya kejadian ini terlalu cepat dan mudah.
" Ya sudah aku pulang dulu ya. Ini sudah jam 5." Lasya mengangkat kardusnya. Tapi Hesti langsung menahannya.
" Biar aku bantu."
" Ya sudah kalau kamu maksa." Lasya memberikan satu kardus milik nya ke arah Hesti. Sedangkan dia sendiri membawa kardus kecil.
Para pegawai sudah mulai satu persatu pulang.
Lasya kali ini tidak menunggu papa-nya, karena dia harus menata barang-barang nya sendiri.
Hesti memasukkan barang Lasya ke mobil. Dia masih berdiri di sana dan memperhatikan Lasya.
" Kenapa kamu resign secara mendadak?" Tanya Hesti sendu.
" Ya mau bagaimana lagi. Ini permintaan mas Andrian." Jawab Lasya.
" Aku pulang duluan ya. Sudah sore, aku harus menyiapkan makanan untuk mas Andrian." Tanpa menunggu lagi. Lasya melambaikan tangan dan masuk ke dalam mobilnya.
Dia menyalakan mesin dan melajukan mobil ini pergi dari sana.
Di perjalanan. Lasya berkali-kali menatap jam nya. Dia sangat telat. Sialnya entah kenapa sore ini macet sekali.
" Aku bisa terlambat membuatkan makanan untuk mas Andrian." Desisnya merasa tak tenang.
Hanya sedikit demi sedikit macet ini bergeser. Entah apa sebenarnya penyebab nya.
Pukul 6 lebih Lasya baru sampai di rumah. Tanpa berganti pakaian dia sudah buru-buru berlari ke dapur. Memakai celemek dan hendak memulai membuat makanan.
Dia seketika bingung. Kendala nya adalah dia belum terlalu mahir masak. Dia juga belum tahu makanan apa kesukaan Andrian.
Dia terus menatap bahan-bahan makanan yang tersedia di dalam kulkas.
" Aku masak apa? Mas Andrian suka apa? Astagaaa!"
Pusing sendiri Lasya memikirkan hal ini. Tapi dia sudah tidak punya waktu lagi untuk tetap berdiam diri.