Sabrina Alexandra, gadis bar-bar yang frontal dan minus akhlak, hidupnya mendadak jungkir balik. Pulang ke kampung halaman, tiba-tiba saja ia di nikahkan paksa oleh bapaknya, Abiyan Fauwaz, dengan seorang lelaki yang lebih tua 9 tahun darinya. Siapa lelaki itu? Gus Sulaiman Faisal Zahid-seorang ustaz dengan aura santun, tampilan alim, dan bahasa serba syariah. Masalahnya? Sabrina yang biasa bebas, santai, dan dikejar banyak pria, dipaksa menikah dengan lelaki yang mengatakan, "Saya melamar putri bapak, karena beliau sudah saya sentuh." WHAT?! Seorang Sabrina yang bahenol dan penuh pesona malah jadi rebutan ustadz tak dikenal?! "Bapak, apa-apaan sih? Aku gak kenal dia!" protes Sabrina sambil menjambak rambut sendiri. Tapi, bapaknya tak peduli. Demi menyelamatkan anaknya dari kehidupan yang sudah miring 180 derajat, Abiyan tetap bersikeras. Tapi Abiyan tak peduli. Dengan santai, ia menjawab, "Kalau kalian gak saling kenal, ngapain nak Aiman jauh-jauh buat lamar kamu? Pokoknya bapak tetap pada pendirian! Kamu harus menikah dengan dia!" "Bapak egois banget!!!" protes Sabrina. "Ini demi kebaikan kamu, agar gak terlalu tersesat ke jalan yang salah," jawab Abiyan tegas. Sabrina merasa dunia tak lagi adil. Tapi apa yang terjadi saat dua orang dengan dunia yang bertolak belakang ini dipaksa bersanding? Akankah Sabrina yang bar-bar ini berubah, atau justru Gus Sulaiman yang pusing tujuh keliling menghadapi Sabrina?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6
Ustadz Aiman dan Ustadz Haidar akhirnya tiba di desa Cikarang setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh dari kota. Begitu sampai, mereka disambut hangat oleh Pak RT, seorang pria setengah baya dengan wajah ramah dan senyuman yang lebar. Pak RT dengan penuh semangat langsung mempersilakan keduanya untuk beristirahat di rumahnya.
Silakan masuk, Bapak Ustadz. Kami sangat berterima kasih atas kehadiran kalian. Pasti perjalanan jauh, silakan beristirahat dulu," kata Pak RT sambil menyalami Aiman dan Haidar.
Ustadz Aiman tersenyum santun, "Terima kasih banyak, Pak RT. Kami sudah cukup lama menempuh perjalanan, tapi Alhamdulillah sampai dengan selamat."
Pak RT kemudian mengantar mereka masuk ke dalam rumah, di mana tampak suasana yang cukup sederhana namun hangat. Makanan dan minuman sudah disiapkan di meja untuk menyambut mereka.
Anak-anaknya pun bergegas menghampiri, tampak sibuk mengatur segelas air mineral dan menyajikan makanan kecil di atas meja. Pak RT sendiri dengan penuh semangat menyambut tamu-tamunya, bercakap-cakap santai sembari tersenyum ramah.
"Gak perlu repot-repot, Pak RT. Kami jadi gak enak," ujar Ustadz Haidar dengan sopan.
"Gak apa-apa, Ustadz. Jarang-jarang kami kedatangan tamu jauh seperti ini. Harus disambut dengan baik," balas Pak RT dengan penuh semangat.
Saat suasana mulai cair, terdengar suara anak lelaki Pak RT yang dari kejauhan berteriak dari dapur. "Kamar tamunya sudah siap, Pa!"
Namun, Pak RT langsung menoleh dengan pandangan serius. "Kamu ini, sopan dikit! Ngapain teriak-teriak begitu? Saliman dulu sama Pak Ustadz!" Pak RT meluruskan sikap anaknya yang kurang sopan.
" Besok acara kajiannya, Ustadz. Sekarang sudah hampir magrib, lebih baik kalian beristirahat dulu," kata Pak RT dengan ramah.
Ustadz Aiman dan Ustadz Haidar mengangguk menanggapi dengan penuh penghormatan. "Terima kasih, Pak RT. Kami ingin menyegarkan diri terlebih dahulu setelah perjalanan jauh."
Pak RT pun mengangguk sambil tersenyum. "Iya, silakan istirahat dulu. Kamar sudah kami siapkan di rumah, dan nanti jika butuh apa-apa, keluarga saya akan siap membantu."
...➰➰➰➰...
Malam harinya, setelah selesai melaksanakan salat Isya, Ustadz Haidar dan Ustadz Aiman, bersama Pak RT, duduk di teras depan rumah, mengobrol dengan santai layaknya para bapak-bapak. Suasana di sekitar terasa begitu akrab dan hangat, diiringi suara nyanyian malam dari alam sekitar.
Ustadz Haidar mengangguk, sambil melirik Ustadz Aiman yang duduk di sampingnya. "Bagaimana menurut Ustadz Aiman? Semua ini sudah sesuai rencana?"
Ustadz Aiman tersenyum ringan. "Insya Allah, Ustadz Haidar. Jika jadwal ini sudah direncanakan, kami siap."
Pak RT tertawa kecil. "Alhamdulillah. Kami sangat senang menyambut kedatangan Ustadz. Jarang-jarang kami mendapat tamu dari jauh seperti ini. Tapi kalau kalian punya waktu santai malam ini, bagaimana kalau sekalian kami ajak jalan-jalan keliling kampung? Suasananya cukup indah di malam hari, Ustadz. Banyak lampu bambu yang menerangi jalan-jalan, sangat khas."
Ustadz Haidar mengerutkan kening sejenak, mencoba mempertimbangkan. Dia menoleh ke arah Ustadz Aiman. "Bagaimana menurutmu, Aiman? Apakah kita cukup sanggup untuk berjalan-jalan malam ini?"
Ustadz Aiman tersenyum sopan. "Insya Allah, Ustadz Haidar. Saya merasa cukup kuat untuk menyusuri kampung sebentar."
Pak RT ikut terkekeh. "Bagus kalau begitu! Saya pasti senang mengajak Ustadz keliling. Kampung kami memang kecil, tapi ada banyak cerita dan kehidupan yang menarik untuk dilihat."
Ustadz Haidar akhirnya mengangguk sambil tersenyum. "Baiklah, Pak RT. Kami bersedia untuk berjalan-jalan malam keliling kampung, Biar lebih tahu mengenai desa orang."
Mereka mulai berjalan kaki mengelilingi kampung, menikmati suasana malam yang begitu berbeda dari hiruk-pikuk kota. Beberapa kali, Pak RT berhenti untuk menunjukkan sesuatu kepada mereka. Mulai dari jalan setapak yang berkelok-kelok, lahan pertanian yang subur, hingga rumah-rumah sederhana yang menjadi hunian warga.
"Ini ladang milik Pak Wati, Ustadz. Beliau petani yang rajin, hasil taninya selalu mencukupi kebutuhan keluarga." Pak RT menunjuk ke arah sekelompok pria yang sedang sibuk merawat tanaman jagung. "Dan di sana, itu kegiatan sehari-hari warga, Ustadz. Para ibu menjemur hasil panen, sementara bapak-bapak bercocok tanam di sawah."
Ustadz Haidar mengangguk-angguk, mendengarkan setiap penjelasan dengan penuh perhatian, sementara Ustadz Aiman memperhatikan semuanya dengan mata yang tajam.
"Meskipun desa ini kecil, tapi kehidupan di sini penuh semangat, Pak RT," Ustadz Haidar menanggapi. "Warga masih saling tolong-menolong dan menjaga kearifan lokal."
Pak RT tersenyum. "Betul, Ustadz. Itu kekuatan kami di sini, saling bantu satu sama lain. Tapi, Ustadz tahu, untuk anak-anak yang ingin melanjutkan pendidikan lebih tinggi atau mencari pekerjaan yang lebih baik, mereka harus merantau ke kota."
Ustadz Aiman mengangguk, mendengarkan kalimat itu dengan penuh perhatian. Pak RT melanjutkan, "Karena namanya desa, apalagi di daerah yang seperti ini, apa yang bisa diharapkan? Zaman sekarang sudah berbeda dari zaman dulu kala. Perkembangan teknologi sudah sangat maju, Ustadz. Kalau anak-anak tidak ke kota, bagaimana mereka bisa mendapatkan akses pendidikan yang lebih baik?"
Ustadz Aiman menghela napas kecil, mengingatkannya pada situasi yang mungkin terjadi di banyak desa. "Benar, Pak RT. Ini adalah tantangan yang dialami banyak desa di Indonesia. Banyak anak muda yang terpaksa harus merantau untuk mengejar impian mereka. Namun, di sinilah kita juga melihat pentingnya dukungan dari pendidikan agama, yang bisa menjadi bekal mereka di mana pun mereka berada."
Ustadz Haidar menimpali, "Pendidikan agama sangat penting, Pak RT. Karena selain memberikan ilmu dunia, ilmu agama juga mengajarkan karakter yang kuat. Dengan itu, anak-anak bisa menghadapi tantangan hidup, baik di kota maupun di desa."
Pak RT mengangguk, sepakat dengan apa yang mereka sampaikan. "Iya, Ustadz. Pendidikan agama bisa menjadi landasan kuat. Tapi, memang kalau melihat kenyataan di desa ini, jarang sekali ada kesempatan untuk memadukan pendidikan umum dan agama secara seimbang."
Ustadz Haidar tersenyum lembut. "Itulah salah satu tujuan kedatangan kami, Pak RT. Kami ingin mengajak warga di sini untuk melihat bahwa ada jalan untuk memperkaya ilmu agama tanpa meninggalkan dunia, dan sebaliknya. Karena seperti yang Ustadz Aiman katakan, pendidikan yang seimbang akan mencetak generasi yang kuat."
Pak RT tampak bersemangat mendengar pemikiran mereka. "Alhamdulillah, Ustadz. Kami sangat terbuka untuk menerima ilmu seperti ini. Semoga banyak anak-anak muda di kampung kami yang mendapatkan manfaat dari kajian-kajian yang Ustadz sampaikan nanti."
Mereka bertiga berhenti sejenak, mengamati dari kejauhan keributan yang terjadi di depan gang desa. Suara gaduh itu cukup mengundang perhatian, mengisi udara malam dengan hiruk-pikuk yang tak biasa.
Ustadz Haidar yang pertama kali bersuara, celingukan menatap ke arah keributan itu. "Itu siapa, Pak RT? Kenapa ribut sekali?"
Pak RT menghela napas, memandang ke kejauhan sambil menggelengkan kepalanya. "Sepertinya ada yang butuh bantuan, Ustadz."
Ustadz Aiman memperhatikan lebih saksama. "Oh, itu si Bina. Biarin aja, kalau pulang kampung ke sini emang begitu, suka cari keributan doang."
Ustadz Haidar mengernyitkan dahi. "Warga desa sini juga, Pak RT?"
Pak RT mengangguk. "Iya, Ustadz. Anak si Pak Fauwaz, biasalah. Namanya juga anak kampung, suka bikin onar kalau pulang dari kota."
Ustadz Haidar sedikit penasaran. "Tapi kenapa kayaknya ribut begitu, Pak RT? Apa dia ada masalah dengan keluarganya? Melihat bawa koper?"
Pak RT menggelengkan kepala. "Gak ada masalah. Dia itu anak rantau ke kota J, mungkin lagi liburan akhir tahun. Udah, Ustadz. Kita balik saja, saya agak malas cari ribut malam-malam begini."
Mereka berdua pun mengikuti langkah Pak RT, melanjutkan perjalanan mereka dengan sikap santai, meskipun perasaan penasaran masih terasa samar di benak mereka.