Agnes tak pernah menyangka, sebuah foto yang disalahartikan memaksanya menikah dengan Fajar—dosen pembimbing terkenal galak dan tak kenal kompromi. Pernikahan dadakan itu menjadi mimpi buruk bagi Agnes yang masih muda dan tak siap menghadapi label "ibu rumah tangga."
Berbekal rasa takut dan ketidaksukaan, Agnes sengaja mencari masalah demi mendengar kata "talak" dari suaminya. Namun, rencananya tak berjalan mulus. Fajar, yang ia kira akan keras, justru perlahan menunjukkan sisi lembut dan penuh perhatian.
Bagaimana kelanjutan hubungan mereka? Apakah cinta bisa tumbuh di tengah pernikahan yang diawali paksaan? Temukan jawabannya di cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Agnes hampir tersedak mendengar bisikan Fajar. Wajahnya langsung memerah seperti tomat matang. "Pak, jangan bercanda deh!" bisiknya dengan nada panik.
"Siapa yang bercanda?" balas Fajar sambil menatap Agnes dari bawah meja, senyum tipis terukir di wajahnya.
Agnes menggeleng cepat, nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Pak Fajar, ini nggak lucu!"
"Kalau gitu, kamu bisa tetap di bawah sana sampai aku selesai," balas Fajar santai, lalu duduk tegak kembali di kursinya seolah tidak ada yang terjadi.
Bu Nana memandang Fajar dengan heran. "Pak Fajar, kenapa bolpoinnya lama sekali dicari?"
"Oh, ini," jawab Fajar sambil memungut bolpoin lain dari atas meja. "Sudah ketemu." Ia tersenyum tipis, membuat Bu Nana semakin terpesona.
Sementara itu, Agnes menggerutu dalam hati. "Astaga, dia serius! Masa aku harus begini terus?!" Ia mengintip ke arah kaki Fajar, berharap ada cara lain untuk keluar dari situasi memalukan ini.
Namun, Fajar sengaja mengetuk-ngetukkan kakinya ke lantai, menciptakan bunyi ritmis yang membuat Agnes semakin gugup. "Kamu sudah memutuskan?" Fajar berbisik lagi tanpa menunduk.
Agnes mendesah panjang. "Ya ampun, apa salahku sampai harus begini?" Dengan hati-hati, ia mendekat ke arah kaki Fajar, lalu mencubitnya cukup keras.
"Au!" Fajar hampir melompat dari kursinya, tapi dengan cepat menyembunyikan rasa sakitnya dengan batuk kecil. "Maaf, tenggorokan saya kering," katanya pada Bu Nana, yang menatapnya curiga.
"Pak Fajar, Anda baik-baik saja?" tanya Bu Nana dengan nada prihatin.
"Ah, iya. Hanya butuh air, mungkin. Tapi bagaimana tadi? Mahasiswa pindahan itu, Sherly? Saya akan memikirkan permintaannya dulu," jawab Fajar sambil menatap jam tangannya, memberi isyarat halus bahwa pembicaraan mereka sebaiknya diakhiri.
"Oh, tentu, Pak. Kalau begitu saya tunggu kabar dari Anda," kata Bu Nana, sedikit enggan, tapi akhirnya berdiri dan melangkah keluar dari ruangan dengan senyum menggoda.
Begitu pintu tertutup, Agnes langsung keluar dari bawah meja dengan wajah merah padam. "Pak Fajar, Bapak tuh keterlaluan!" protesnya.
Fajar menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan santai, senyum nakal masih menghiasi wajahnya. "Keterlaluan bagaimana? Aku kan cuma minta ciuman kecil."
Agnes memelototinya. "Ciuman kecil apanya? Aku hampir mati jongkok di bawah meja itu!"
"Tapi kamu berhasil kan?" Fajar mengangkat bahu, seolah itu bukan masalah besar.
Agnes hanya bisa menatapnya dengan kesal, tapi ia tahu melawan Fajar adalah perjuangan sia-sia. Lelaki itu terlalu licik untuk dikalahkan. "Kenapa sih aku harus menikah sama orang kayak dia?" pikirnya, tapi di balik kekesalannya, ia tidak bisa menahan jantungnya yang berdebar setiap kali Fajar menunjukkan sisi menyebalkannya yang misterius itu.
***
Hari yang tadinya pagi kini sudah berganti malam. Agnes dan Fajar kembali ke rumah secara bersama-sama dan disambut oleh Nenek Grace yang membawa dua gelas jamu di tangannya.
"Kalian sudah pulang, sini, sini. Nenek tadi bikin jamu resep nenek moyang dulu, ini manjur untuk pasangan muda seperti kalian agar bisa segera memiliki momongan."
Agnes langsung merasa merinding mendengar ucapan itu. Momongan? Pasangan muda? Ini maksudnya apa sih? pikirnya sambil melirik Fajar, yang seperti biasa tetap tenang seolah tidak terganggu.
"Nenek, nggak usah repot-repot bikin jamu segala," ujar Agnes sambil tertawa gugup. "Kami baik-baik aja kok."
"Tidak, Nes. Kalian harus minum ini," sahut Nenek Grace tegas. "Nenek sudah capek-capek bikin. Fajar, sini, kamu duluan."
Tanpa banyak bicara, Fajar mengambil salah satu gelas dan meneguknya dalam sekali minum. "Enak, Nek. Terima kasih," katanya sambil menyerahkan gelas kosong kembali ke Nenek Grace.
Sekarang giliran Agnes. Namun, Agnes hanya memandang gelas jamu itu dengan ekspresi ketakutan. Bau rempah yang menyengat membuat kepalanya pusing. "Nenek, ini... baunya kok kuat banget ya? Emang harus diminum?"
"Harus! Jangan manja, Nes. Kalau mau momongan, nggak boleh pilih-pilih," jawab Nenek Grace sambil mendorong gelas itu ke arah Agnes.
Fajar tersenyum tipis melihat Agnes yang masih ragu. "Ayo, Nes. Masa kalah sama aku?" godanya.
Agnes mendelik. "Aku nggak takut, cuma... ini jamu kayaknya terlalu ekstrem buatku."
"Tapi nenek bikin dengan cinta, sayang. Jangan sia-siakan," tambah Nenek Grace sambil tersenyum lebar.
Merasa tidak punya pilihan, Agnes mendekatkan gelas itu ke mulutnya. Namun, bau jamu yang terlalu tajam membuatnya memutar wajah dan bergidik. "Aku nggak bisa, Nek! Maaf banget..."
Fajar menghela napas sambil menggeleng, lalu meraih gelas itu dari tangan Agnes. "Kalau dia nggak mau, biar aku aja yang minum. Daripada nenek kecewa."
"Fajar! Ja... jangan diminum..." cegah Nenek Grace.
Namun Fajar sudah menenggak jamu itu tanpa ragu. Tapi kali ini, ekspresi wajahnya berubah drastis. Ia terbatuk-batuk keras dan menutupi mulutnya, sementara matanya berair. "Nenek... ini pedas banget! Apa tadi isinya cabai rawit sekilo?"
Nenek Grace tertawa puas. "Ya gak juga, tapi..." Nenek Grace tidak jadi melanjutkan kalimatnya ia berpikir efek jamu itu akan sama saja kalau yang minum Fajar, ia pun tersenyum seperti menyembunyikan sesuatu.
"Tapi kenapa Nek?" Fajar berusaha menenangkan dirinya sambil terus batuk.
"Gak Apa-apa sudah diminum ini kan," sahut Nenek Grace tersenyum geli.
Sedangkan Agnes langsung tertawa terpingkal-pingkal. "Kamu sok kuat tadi, kan? Rasain! batuk kan!"
Fajar melirik Agnes sambil mengusap mulutnya. "Kamu ketawa puas banget, ya? Jangan kaget kalau nanti kamu juga kebagian."
Tiba-tiba, ia mendekat dan pura-pura ingin menyuapi Agnes sisa jamu dari gelas yang sama. Agnes memekik dan mencoba kabur, tapi Fajar menarik tangannya, membuat Agnes terhuyung hingga hampir jatuh ke pelukannya.
"Jamu ini harus bermanfaat buat kita, kan?" ucap Fajar sambil menahan tawa, sementara wajah Agnes memerah.
"Kalian ini lucu sekali," komentar Nenek Grace sambil terkikik. "Ayo, cepat punya momongan biar nenek makin bahagia."
Keduanya kini berhenti bercanda saat nenek Grace membahas tentang momongan kembali, mereka langsung berpamitan untuk masuk ke dalam kamar dan membersihkan diri.
Malam semakin larut. Fajar duduk di sofa, tubuhnya mendadak terasa panas. Ia mengusap keringat yang mulai mengalir di pelipisnya. Kenapa rasanya jadi begini? Apa ini efek jamu tadi? pikirnya gelisah.
Matanya tanpa sadar terarah ke ranjang, tempat Agnes terlelap. Wajahnya yang tenang dan rambutnya yang tergerai begitu memikat. Tapi kali ini, tatapan Fajar terasa berbeda. Ada sesuatu dalam dirinya yang mendesak untuk mendekat.
Fajar bangkit perlahan, tubuhnya terasa panas dan gelisah. Ia menghampiri Agnes yang masih tidur nyenyak, berhenti tepat di samping ranjang. Jemarinya terulur, namun tertahan.
"Hhh..." Fajar menarik napas berat, mencoba menenangkan diri, tapi tubuhnya seperti tak bisa diajak kompromi. Pikirannya semakin kacau.