"Tidak semudah itu kamu akan menang, Mas! Kau dan selingkuhanmu akan ku hancurkan sebelum kutinggalkan!"
~Varissa
_____________________
Varissa tak pernah menyangka bahwa suami yang selama ini terlihat begitu mencintainya ternyata mampu mendua dengan perempuan lain. Sakit yang tak tertahankan membawa Varissa melarikan diri usai melihat sang suami bercinta dengan begitu bergairah bersama seorang perempuan yang lebih pantas disebut perempuan jalang. Ditengah rasa sakit hati itu, Varissa akhirnya terlibat dalam sebuah kecelakaan yang membuat dirinya harus koma dirumah sakit.
Dan, begitu wanita itu kembali tersadar, hanya ada satu tekad dalam hatinya yaitu menghancurkan Erik, sang suami beserta seluruh keluarganya.
"Aku tahu kau selingkuh, Mas!" gumam Varissa dalam hati dengan tersenyum sinis.
Pembalasan pun akhirnya dimulai!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itha Sulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Khilafnya Varissa
10 hari kemudian...
"Saya tidak mau tahu! Cepat panggilkan bos kamu kemari!" bentak Harun sambil menggebrak meja resepsionis keras.
Resepsionis wanita yang berjaga mencicit ketakutan. Tangan gemetarnya masih berusaha melambai pada dua security yang berjaga di pintu depan untuk meminta bantuan. Sigap, kedua security itu pun menghampiri Harun dengan cepat lalu mengamankan pria paruh baya itu.
"Lepaskan! Saya ke sini hanya ingin bertemu dengan Gisam. Panggil dia kemari! Panggil!" teriak Harun memberontak.
Semua kejadian ini bermula sejak Gisam tak bisa di hubungi dua hari belakangan. Lelaki yang katanya bos perusahaan bonafit itu menghilang bak ditelan bumi usai memperoleh tanda tangan Harun di berkas pengalihan aset. Meski tersisa empat hari lagi dari perjanjian, namun firasat buruk tiba-tiba menghampiri Harun. Lelaki tua yang haus akan uang itu seolah sudah paham bahwa dirinya baru saja kena tipu.
"Gisam! Gisam! Keluar kamu! Dasar penipu!" teriak Harun di depan perusahaan perhotelan tersebut. Masa bodoh dengan pandangan orang-orang terhadapnya. Dia bertingkah bagai orang yang sudah kehilangan akal.
"Bapak sebaiknya pergi dari sini!" tegas salah satu security. Geram rasanya melihat tingkah pria tua yang sedari tadi tak pernah mau mendengar kata-kata siapapun.
"Saya tidak akan kemana-mana sebelum penipu itu menemui saya!" Harun berucap lantang. Memutuskan untuk berbaring di depan pintu masuk perusahaan sampai keinginannya benar-benar dikabulkan.
"Kita seret paksa saja dia," kata Security satunya.
"Ya sudah! Ayo!" angguk Security yang lain.
Keduanya kompak menghampiri Harun. Membangunkan pria paruh baya yang terlentang didepan pintu masuk perusahaan meski harus dengan upaya ekstra akibat adanya perlawanan.
"Bapak tidak bisa seenaknya begini! Bertemu dengan Pak Gisam juga harus melewati prosedur. Bapak harus bikin janji dulu!" terang Security yang masih berusaha sabar.
"Apanya yang harus bikin janji? Kalian memangnya tidak tahu saya? Saya ini adalah Ayah dari pemilik perusahaan Good Food Corp." Harun menyombong.
Dua security tadi saling berpandangan kemudian menghela nafas bersamaan. Sudah sering mereka menjumpai kasus serupa. Tak hanya Harun, sebelum dan sebelumnya lagi, entah sudah berapa banyak orang yang memaksa menemui pimpinan mereka dengan dalih kerabat atau pemilik perusahaan besar yang pastinya hanya tipuan semata.
"Meski Anda Bapak dari Presiden sekalipun, juga harus tetap ikut prosedur, Pak! Nggak bisa seenaknya begini!"
Selang beberapa detik, sebuah BMW hitam berhenti tepat di dekat mereka. Seorang pria dengan setelan jas rapi turun dari dalam mobil dengan didampingi oleh dua orang pria berbadan besar serta satu perempuan cantik yang tampak memegang MacBook ditangannya. Kompak, dua security itu menyapa dengan penuh hormat.
"Selamat pagi, Pak Presdir!"
"Ada apa ini ribut-ribut?" tanya pria itu.
"Ini Pak, Bapak ini memaksa untuk bertemu dengan Anda." Dia menunjuk Harun.
Harun lekas mendekat. Meneliti penuh konsentrasi pada wajah pria yang baru datang itu.
"Ini siapa?" tanyanya pada dua security itu.
"Dia Presdir kami. Bapak Gisam Butena!"
Harun tertawa sumbang sembari mengusap wajahnya kasar. Apa ini lelucon? Kenapa wajah Gisam bisa berubah sedrastis ini dalam hitungan hari? Apa dia oplas? Kenapa wajahnya terlihat berbeda dan jauh lebih muda?
"Kalian mau mempermainkan saya, ya?" kata Harun penuh emosi. "Mana mungkin dia Gisam. Kalian nipu saya?"
"Bapak ini siapa dan mau apa? Saya Gisam. Gisam Butena pemimpin perusahaan ini!" tegas lelaki berpakaian rapi itu.
"Tidak!" geleng Harun. "Kamu mau nipu saya, kan? Saya tahu kamu bukan Gisam."
Lelaki yang mengaku bernama Gisam itu mengerutkan alis. Tampak dari wajahnya bahwa ia mulai tidak suka pada kekurang-ajaran yang ditunjukkan oleh Harun. Cukup memberi kode lewat dua jari tangannya, dua pria berbadan besar dibelakangnya lekas maju dan menyeret Harun menjauh dari sana.
Tak lama, setelah memastikan Harun sudah tak berada di lingkungan perusahaannya, Gisam lalu melangkah masuk dan menghubungi seseorang melalui ponsel pribadinya ketika berada didalam lift.
"Dia datang! Dan sekarang, pasti dia sudah sadar jika telah ditipu."
Tak perlu mendengar jawaban dari teman irit bicaranya itu, Gisam pun mematikan ponselnya setelah menyampaikan laporan.
"Cih! Kenapa pula aku harus ikut dalam permainan anehmu, Dikta?" celetuk Gisam sembari mendengus.
"Dinda, pastikan pria tua tadi tidak akan pernah mendekati perusahan kita lagi. Dan juga, jangan biarkan dia mengajukan tuntutan hukum apapun terhadap kita. Mengenai identitas orang yang menyamar menjadi saya, kamu sudah hapus semua jejaknya, kan?" tanya Gisam pada Dinda, Sekretarisnya.
"Anda jangan khawatir! CCTV restoran itu memang sudah lama tidak berfungsi. Dan, jejak yang lain di sekitar restoran juga sudah di lenyapkan oleh hacker kita."
"Bagus, Dinda!" puji Gisam senang.
"Tapi, apa saya boleh bertanya sesuatu, Pak?" tanya Dinda sedikit ragu.
"Silahkan!"
"Sebenarnya, siapa yang sedang Anda bantu ini, Pak? Kenapa Anda harus serepot ini dan nekat berbuat kriminal?"
Gisam tertawa kecil. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana formalnya sambil menunduk sekilas. "Dia teman kuliahku di Amsterdam dulu. Meski orangnya sangat menyebalkan, tapi dia yang berperan besar dalam kesuksesan yang ku raih saat ini." Ia melangkah keluar dari dalam lift. "Nanti kamu juga akan bertemu jika sudah saatnya. Dan...," Gisam berbalik yang membuat langkah Dinda yang mengekor dibelakangnya mendadak berhenti.
"Aku peringatkan sejak awal. Jangan sampai jatuh cinta karena dia ahlinya mematahkan hati wanita." Gisam tertawa yang membuat Dinda hanya bisa menggaruk kepalanya tak mengerti.
******
"Orang suruhan kamu nggak bakalan ketangkep, kan?" tanya Varissa dengan gelisah.
Dikta mengikuti gerakan bolak-balik Varissa dengan sepasang matanya. Pria berbadan tinggi dengan rambut gondrong yang diikat itu tersenyum kecil. Merasa lucu melihat tingkah Varissa yang menurutnya masih kekanak-kanakan.
"Jangan senyum!" peringat Varissa. Apa lelaki ini tidak tahu seberapa gelisahnya dia saat ini? Bagaimana kalau anak buah Dikta sampai tertangkap? Apa yang harus mereka lakukan jika sampai hal tersebut sampai terjadi?
"Tenang, Va!" ucap Dikta lembut.
"Tenang? Mana bisa aku tenang kalau kondisinya jadi runyam begini? Kenapa juga Papa Harun mesti tahu secepat ini, sih?" Varissa mulai menggigit ujung kukunya. Pertanda bahwa kecemasan yang ia miliki sudah semakin membesar.
GREP!!
Dikta menarik tangan Varissa hingga wanita itu jatuh terduduk tepat disebelahnya. Jantung Varissa mendadak berhenti. Posisi wajah Dikta yang terlalu dekat dengannya benar-benar menimbulkan kekacauan pada kinerja normal jantungnya.
Merasa telah melakukan kesalahan, Dikta segera menggeser posisi duduknya agak menjauh. Pria itu berdehem berusaha mengurai ketegangan. Tangan kirinya nampak menggaruk bagian belakang telinganya sambil berusaha mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Gini nih kalo belum pernah pacaran. Salting sendiri, kan?" gumam Dikta dalam hati.
"Kenapa matanya bisa sebagus itu sih? Kalau kayak gini, bisa-bisa aku nggak ada bedanya sama Mas Erik!"
PLAK!
"Va?" Dikta terperanjat. Mendekat kembali dengan reflek begitu mendengar bunyi tamparan yang cukup keras di sampingnya. Dapat dia lihat pipi bagian kanan Varissa memerah akibat tamparan tangannya sendiri.
"Kamu kenapa, Va?" tanya Dikta panik. Di pegangnya pipi wanita yang enggan melihat ke arahnya itu. Embusan hangat dari nafas Dikta yang menyapu permukaan kulit wajahnya justru semakin membuat kinerja jantung Varissa semakin tidak terkendali.
"Ngapain nampar diri sendiri? Kamu bodoh? Sakit, kan?" omel Dikta sambil terus meniup pipi Varissa. Ia bahkan tak sadar bahwa tangannya juga turut menggenggam tangan wanita itu.
"Kenapa malah makin deket? Kalau aku khilaf, gimana, Ta?"
"Ta? Apa perasaan kamu yang dulu buat aku masih ada sampai sekarang?"
GLEK!
Tenggorokan Varissa mendadak kering. Kenapa pula pertanyaan bodoh bin memalukan itu harus tercetus hanya karena baper sedikit? Selemah inikah imannya?
"Mati aja, Va! Nggak ada gunanya kamu hidup!" umpat Varissa dalam hati dengan mata terpejam rapat.
Pradikta Anantavirya
Varissa Azalea
awalan yg menarik