Di tengah gelapnya kota, Adira dan Ricardo dipertemukan oleh takdir yang pahit.
Ricardo, pria dengan masa lalu penuh luka dan mata biru sedingin es, tak pernah percaya lagi pada cinta setelah ditinggalkan oleh orang-orang yang seharusnya menyayanginya.
Sementara Adira, seorang wanita yang kehilangan harapan, berusaha mencari arti baru dalam hidupnya.
Mereka berdua berjuang melewati masa lalu yang penuh derita, namun di setiap persimpangan yang mereka temui, ada api gairah yang tak bisa diabaikan.
Bisakah cinta menyembuhkan luka-luka terdalam mereka? Atau justru membawa mereka lebih jauh ke dalam kegelapan?
Ketika jalan hidup penuh luka bertemu dengan gairah yang tak terhindarkan, hanya waktu yang bisa menjawab.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Selina Navy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19
"Ricardo, aku mohon," pinta Adira dengan air mata yang jatuh ke pipi.
Melihat bulir air mata itu hati Ricardo bergetar. Entah apa alasan kenapa dia bisa sesensi itu pada Adira. Padahal yang diinginkan Adira hanyalah menghubungi keluarganya. Perlahan, ia mengeluarkan ponsel dengan casing biru dari kantong celana, lantas menyodorkannya.
"Maaf," ucapnya lirih, merasa bersalah.
Adira lalu melihat handphone itu dengan mata yang berbinar-binar. Seperti telah menemukan harta karun yang hilang. Dia langsung kegirangan dan spontan mencium pipi kiri Ricardo lalu berlari kecil menuju ke jendela yang ada di depannya. Sementara itu Ricardo membeku sejenak, menyentuh pipi kirinya yang tadi terkena kecupan Adira, lalu tersenyum tipis.
Ricardo tetap duduk di atas kasur, menatap punggung Adira yang sedang sibuk menelpon adiknya. Dalam diam, Ricardo menyimak pembicaraan itu. Walaupun Ricardo tak mengerti bahasa yang digunakan Adira, dia bisa merasakan ketulusan dari setiap kata yang diucapkan Adira. Adira kini tengah berusaha menenangkan adiknya dengan kebohongan yang manis.
"Kakak baik-baik saja, tenang ya," suara lembut Adira terdengar lirih, menenangkan seseorang di ujung sana.
"Handphone kakak sempat hilang," lanjutnya lagi.
"Kakak bakal di Tijuana agak lama nih, titip usaha onlineshop kakak ya."
Ricardo memperhatikan ekspresi wajah Adira. Bagaimana mata coklatnya bersinar saat dia berbicara dengan adiknya. Ini mengingatkan nya pada lima tahun yang lalu. Saat Adira yang terlihat panik menyelamatkan nya dari kematian.
.
.
.
Flashback ON
.
.
Ricardo lahir di Hunts Point, New York.
Sejak kecil ia sudah belajar bertahan hidup di dunia yang tak ramah. Di malam hari, Hunts Point berubah menjadi sarang para predator, para pengedar narkoba, pelacur dan tunawisma yang tersebar di sepanjang jalan.
Tak jarang, mayat-mayat ditemukan di gang sempit atau di tepi sungai yang mengalir dengan sampah.
Ricardo mengalami masa kecil yang sangat berat. Ia harus menghadapi ibunya yang terus melampiaskan amarah karena kemiskinan yang mereka derita. Ricardo bahkan sudah melakukan apa saja untuk membantu. Seperti berjualan barang-barang di jalan atau apapun. Namun kerja kerasnya selalu dianggap tak pernah cukup. Ibunya justru menyiksa Ricardo baik secara fisik maupun emosional.
Malam demi malam, Ricardo kecil menyaksikan ibunya menjual diri kepada lelaki hidung belang demi uang. Setiap kali melihat pemandangan itu perasaan benci dan sakit hati membakar diri Ricardo. Meskipun ia sangat membenci apa yang dilakukan ibunya, dia masih berharap untuk bisa memperbaiki hidup mereka.
Hingga suatu malam, di usia sepuluh tahun, Ricardo harus menyaksikan ibunya meninggalkannya di jalan yang suram dan gelap. Meski ia menangis dan memohon, ibunya tak menoleh. Ia ditinggalkan begitu saja, seperti sampah tak berguna.
"Bu, jangan tinggalkan aku," Ricardo kecil memohon dengan suara terisak.
Ibunya hanya melirik dingin, lalu berkata, "Kamu cuma beban," sebelum berlalu tanpa menoleh lagi.
Ricardo yang masih kecil menatap punggung ibunya yang semakin menjauh, merasakan kehancuran yang begitu dalam. Sejak hari itu, Ia belajar menjadi dingin, kuat, tak tergoyahkan. Satu-satunya cara untuk bertahan hidup di dunia yang kejam. Ia pun tak pernah memberi ruang untuk percaya pada orang lain, terutama wanita.
Di tengah kesulitan hidupnya di Hunt Point, ia menjelma menjadi pribadi yang tak tersentuh. Dengan cepat, ia menarik perhatian mafia setempat yang melihat potensi besar dalam sikap dinginnya.
Tatapan kosong dan dinginnya adalah perisai yang menutup rapat emosinya, membuatnya semakin dalam terjerat dalam dunia kelam. Dengan satu tujuan: bertahan hidup dan meraih kekayaan.
Shadow Lounge, tempat di mana Ricardo bekerja adalah simbol dari sisi gelap Hunts Point. Dimana rahasia dan aktivitas ilegal berdenyut di balik pintu tertutup. Hidupnya hampir berakhir saat penyerangan antar mafia di Shadow Lounge meledak di luar kendali.
Suara tembakan dan teriakan menghantui malam itu dan di tengah kekacauan, Ricardo berusaha melindungi diri. Namun takdir tak berpihak dan sayatan pisau di lengan kanannya membuat darah mengalir deras.
Dia tahu dirinya tak bisa bertahan lama tetapi otaknya yang cerdas dan insting bertahan hidup membawanya melarikan diri. Dengan tubuh lemah Ricardo berlari dibawah bayang-bayang kota melintasi jalan-jalan gelap di Mott Haven hingga mencapai Wilis Avenue.
Napasnya semakin berat dan dunia seakan mulai memudar. Luka ditangannya terus mengeluarkan darah, membuatnya hampir menyerah merasa tak mungkin bisa sampai ke persembunyian yang masih jauh. Tapi tiba-tiba di momen tergelap itu seseorang datang.
Adira, dengan wajah panik dan gemetar muncul entah darimana. Mata nya dipenuhi kecemasan dan ketakutan tapi juga keteguhan hati. Meski tak mengenal Ricardo dia tak bisa membiarkan seseorang mati begitu saja didepannya.
Ricardo merasakan sesuatu yang asing. Ada ketulusan dalam tindakan Adira, sebuah kasih sayang yang belum pernah ia rasakan. Hatinya yang kering dan dingin merasakan harapan yang selama ini padam kembali menyala, hanya karena perhatian tulus dari seorang gadis asing yang baru ditemuinya.
Malam itu, di tengah luka yang menganga dan nyawa yang hampir lepas. Ricardo merasakan sentuhan yang membuatnya sadar bahwa ia masih layak hidup.
.
.
Flashback OFF
.
.
Ricardo menatap punggung Adira yang sibuk menelpon adiknya. Bayang-bayang masa lalunya muncul kembali, menghantui pikirannya seperti hantu yang tak pernah mau pergi. Pengalaman itu membuat Ricardo sulit tidur selama bertahun-tahun. Setiap kali dia memejamkan mata, adegan mengerikan itu kembali. Insomnia pun telah menjadi teman sejatinya, karena tidur hanya berarti bertemu mimpi buruk yang terus-menerus mengingatkan pada rasa sakit karna ditinggal dan di abaikan.
Di tengah lamunan itu, Adira sesekali menoleh ke arahnya. Tatapan Adira begitu lembut, penuh rasa terima kasih. Dengan senyuman yang seolah mengatakan lebih banyak dari sekadar rasa terima kasih untuk handphonenya. Seakan ingin meredakan luka-luka yang telah lama menganga di dalam jiwa Ricardo.
Meski ia mencoba menepis semua perasaan, kehangatan yang ditawarkan oleh senyuman Adira membuatnya sedikit goyah. Menyadari bahwa mungkin, untuk pertama kalinya ada orang yang benar-benar peduli tanpa syarat.
Adira yang sudah selesai menelpon adik nya kini duduk di sampingnya, menunduk. Dia merasa bersalah atas amarah sesaatnya tadi.
"Makasih ya untuk handphone nya," katanya pelan, suaranya dipenuhi dengan kejujuran dan rasa terima kasih.
Dia terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Maaf aku marah-marah tadi padamu,"
Ricardo masih tidak berkata apa-apa. Matanya menyisir wajah Adira, seperti sedang mencari sesuatu di balik tatapan lelah dan senyum yang penuh penyesalan itu. Dalam diamnya, Ricardo merasa bodoh atas sikap dingin nya yang tak beralasan. Semua amarah yang ia simpan selama tiga hari terakhir tampak sia-sia di hadapan senyum kecil yang sekarang terpancar dari Adira.
Tanpa sadar, Ricardo mengulurkan tangannya dan menyentuh lembut lengan Adira. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Tapi, sentuhan itu cukup untuk mengatakan bahwa dia memahami dan menerima permintaan maafnya.
"Adira.. "
.
.
.
Bersambung...
Hai semua jangn lupa Like, Komen dan Gift nya ya 💙
Terimakasih 🙏
🥰🥰🥰🥰🥰