Liu Wei, sang kultivator bayangan, bangkit dari abu klannya yang dibantai dengan Pedang Penyerap Jiwa di tangannya. Dibimbing oleh dendam dan ambisi akan kekuatan absolut, dia mengarungi dunia kultivasi yang kejam untuk mengungkap konspirasi di balik pembantaian keluarganya. Teknik-teknik terlarang yang dia kuasai memberinya kekuatan tak terbayangkan, namun dengan harga kemanusiaannya sendiri. Di tengah pertarungan antara takdir dan ambisi, Liu Wei harus memilih: apakah membalas dendam dan mencapai keabadian lebih penting daripada mempertahankan sisa-sisa jiwa manusianya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pralam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harmoni Kehancuran
Dua pedang bergerak dalam tarian maut yang belum pernah disaksikan dunia kultivasi selama ribuan tahun.
Setiap ayunan Pedang Penyerap Jiwa menciptakan gelombang energi putih yang menyerap qi spiritual di sekitarnya, sementara Pedang Pembakar Surga meninggalkan jejak api keemasan yang membakar udara itu sendiri.
"Mustahil..." salah satu pengawal elit berbisik ngeri. "Bagaimana bisa... kedua pedang itu..."
"SERANG DIA!" Paman Chen berteriak, armor darahnya berdetak seperti jantung yang menggila. "SERANG SEBELUM DIA MENGUASAI SEPENUHNYA!"
Para pengawal elit melesat maju, qi pertempuran mereka membentuk berbagai senjata - dari pedang sampai tombak energi. Tapi...
SLASH!
Dalam sekejap mata, Liu Wei telah bergerak. Pedang kembar dalam genggamannya bergerak begitu cepat hingga menciptakan ilusi seolah ada puluhan pedang yang menari di udara.
Satu per satu, para pengawal elit tumbang - qi pertempuran mereka lenyap seolah tak pernah ada.
"Wei'er..." Guru Feng, yang masih terluka, menatap dengan campuran bangga dan sedih. "Kau akhirnya... mencapainya..."
"Satu setengah menit," Kaisar Bayangan mengingatkan. "Dan tubuh ini... semakin..."
Liu Wei bisa merasakannya. Setiap gerakan, setiap ayunan pedang, membuatnya semakin transparan. Tapi anehnya, dia tidak merasakan takut. Yang ada hanyalah... kedamaian.
"Liu Wei!" Xiao Mei berteriak, suaranya penuh kekhawatiran. "Hentikan! Kumohon... kau akan..."
"Tidak apa-apa, Xiao Mei," Liu Wei tersenyum - senyum yang entah bagaimana mengingatkan pada mendiang ayahnya. "Ini... adalah takdirku."
Paman Chen, yang kini sendirian menghadapi Liu Wei, tertawa getir. "Takdir? Kau pikir ini tentang takdir?" Armor darahnya mulai bergerak, membentuk sayap-sayap dari darah mengental. "Ini tentang KEKUATAN! Dan aku... sudah terlalu jauh untuk berhenti sekarang!"
Dengan gerakan yang menggetarkan altar, Paman Chen melesat ke udara. Sayap darahnya membentang, menutupi langit yang sudah gelap.
"Teknik Terlarang: Hujan Darah Seribu Jiwa!"
Tetes-tetes darah hitam mulai berjatuhan dari sayap Paman Chen, dan setiap tetes yang menyentuh tanah berubah menjadi makhluk mengerikan - replika-replika dari kultivator yang telah dia bunuh.
"Bagaimana, keponakanku?" Paman Chen tersenyum lebar. "Inilah kekuatan sesungguhnya! Bukan harmonisasi pedang konyolmu itu... tapi DOMINASI!"
Liu Wei tidak menjawab. Alih-alih, dia memejamkan mata, membiarkan resonansi kedua pedang mengalir dalam dirinya.
"Satu menit," Kaisar Bayangan berbisik. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda dalam suaranya - seolah dia juga... menunggu sesuatu.
"Liu Wei..." Xiao Mei berusaha bangkit, tapi kakinya masih lemah akibat ritual tadi. "Aku... aku tidak mau kehilanganmu..."
Mendengar suara Xiao Mei, Liu Wei membuka matanya. Dan saat itulah, sesuatu yang menakjubkan terjadi.
Pedang Penyerap Jiwa dan Pedang Pembakar Surga mulai berputar di sekelilingnya, menciptakan pusaran energi yang memadukan cahaya putih murni dan api keemasan.
"Ini..." Guru Feng terkesiap. "Teknik Legendaris yang hilang... Harmoni Penghancur Surga!"
Paman Chen menggeram. "Tidak peduli teknik apa yang kau gunakan! Kalian semua akan menjadi PERSEMBAHAN!" Dia mengangkat tangannya, dan ratusan makhluk darah di bawahnya mulai bergerak.
Di tengah kekacauan itu, Liu Wei menatap Xiao Mei untuk terakhir kalinya. "Terima kasih," bisiknya. "Untuk memberiku alasan... untuk mengingat kembali siapa diriku."
"Tiga puluh detik," Kaisar Bayangan menghitung mundur.
Tapi Liu Wei sudah tidak peduli dengan waktu lagi. Karena dalam momen ini, saat kedua pedang beresonansi dalam harmoni sempurna, dia akhirnya mengingat...
Mengingat mengapa takdirnya... adalah menghentikan semua ini.
Karena terkadang, untuk menciptakan harmoni yang sempurna...
Kita harus rela menjadi instrumen kehancuran.
Dan di bawah langit yang menangis darah, Harmoni Penghancur Surga mulai menggetarkan fondasi dunia itu sendiri.