Max membawa temannya yang bernama Ian untuk pertama kalinya ke rumah, dan hari itu aku menyadari bahwa aku jatuh cinta padanya.
Mungkinkah dia bisa menjadi milikku meski usia kami terpaut jauh?
note: novel ini dilutis dengan latar belakang luar negeri. Mohon maklumi gaya bahasanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BellaBiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 7
Bulan-bulan berlalu hampir tanpa aku sadari. Antara hubunganku dengan Ian dan fokus pada skripsi, sebagian besar waktu sudah terlewati. Baru hari ini aku presentasi, dan aku gugup, tapi juga percaya diri. Aku sudah banyak belajar dan paham banget soal topiknya. Aku harap semuanya berjalan lancar, semoga.
Kelulusan Ian dan Max dari SMA hampir barengan sama jadwal kelulusanku. Walaupun Ian nggak terlalu peduli dan lebih milih menemani aku, aku nggak bisa biarin dia lewatkan momen pentingnya. Dia juga harus jalani tahap-tahap itu, termasuk kelulusannya.
Aku selesai dandan dan berkaca. Gaun yang kupakai ketat di bagian atas, dan longgar sampai lutut. Aku cuma berharap nggak kesandung sama sepatu hak tinggi ini, dan berharap juga nggak muntah lagi karena gugup, kayak pagi tadi.
Ibu udah nunggu di bawah, siap dengan tisu di tangannya. Demi Tuhan, aku cuma mau presentasi skripsi, bukan wisuda.
Kami masuk mobil. Di perjalanan, aku terus ngulang-ulang semua yang akan aku katakan, sambil berusaha ngusir rasa mual.
***
Presentasiku berjalan sempurna, tapi ada satu hal yang bikin malu. Pas selesai dan mau duduk, aku harus lari ke kamar mandi buat muntah. Ya ampun, gugup banget. Aku cuma harap itu nggak ngaruh ke nilai skripsiku.
Aku masih ngerasa tegang, berharap nilai skripsiku bagus. Aku nahan diri biar nggak muntah lagi.
Stres, cemas, malam-malam tanpa tidur, semuanya akhirnya sepadan. Ini akhir dari studi kuliahku. Sekarang tinggal tunggu satu bulan lagi buat upacara kelulusan.
Ini akhir dari masa studi, dan awal dari kehidupan kerja.
Mulai sekarang, aku yakin yang akan datang adalah hal-hal baik.
***
Ibuku terus cerita soal betapa bangganya dia sama aku, tapi pikiranku cuma fokus pada bau cuka yang keluar dari salad. Bau itu bikin mual.
"Megan? Kamu dengerin aku nggak?"
"Maaf, Bu. Aku cuma capek. Tadi Ibu bilang apa?"
"Aku tadi ngomongin soal kesempatan besar yang ditawarin ke Ian."
"Kesempatan? Kesempatan apa?"
"Mereka nawarin beasiswa setengah biaya kuliah buat Ilmu Hukum di Harvard."
Jantungku rasanya berhenti.
"Serius? Dari mana Ibu tahu?"
"Max bilang ke aku beberapa minggu lalu. Dia bilang Ian galau banget, kayaknya mikirin ini terus."
Kenapa Ian nggak bilang apa-apa? Aku udah nanya dia soal ini berulang kali, dan dia selalu bilang masih nunggu kabar.
"Walaupun, kalau kamu nggak mau dia ke Harvard, Oxford masih nunggu dia. Mungkin itu impian dia, sama kayak impiannya Max."
Semua kebahagiaanku hari ini langsung lenyap. Pikiranku dipenuhi kekhawatiran soal Ian. Aku nggak bisa biarin dia ngorbanin mimpinya demi aku. Aku harus bicara sama Max. Dia pasti tahu sesuatu.
Aku nggak bisa biarin Ian menghentikan hidupnya hanya karena aku.
***
Max menatapku kayak aku tiba-tiba punya anggota tubuh tambahan. Dia ngerutkan kening waktu lihat aku duduk di beanbag depannya.
"Halo, Max."
"Langsung aja, Megan," jawabnya singkat. Bocah yang cerdas, emang.
"Anggap aja aku penasaran. Kamu udah diterima di universitas?"
"Udah, kamu bisa lihat di lemari es. Tapi kamu kan nggak bener-bener penasaran soal aku, kan?"
Serius, dia tahu tentang aku dan Ian? Nggak mungkin.
Max nutup bukunya, dan jantungku makin kencang. Ini pertanda nggak bagus.
"Megan, aku bukan orang bodoh. Aku tahu cara kalian saling liat. Nggak jelas apa yang terjadi di antara kalian, tapi udah pasti ada sesuatu."
"Max, aku. Aku nggak tahu harus bilang apa."
"Kamu nggak perlu bilang apa-apa. Tapi aku cuma bisa kasih tahu, kalau ini cuma permainan, lebih baik hentikan sekarang. Ian kayaknya ngerelain banyak hal, dan aku yakin itu karena kamu. Harvard adalah impiannya. Dia udah kerja keras buat itu, tapi sekarang kayaknya kamu yang jadi hal terpenting buat dia."
Aku terdiam, nggak bisa berkata-kata.
"Kalau kamu sayang sama dia, pikirkan baik-baik. Cinta selalu melibatkan pengorbanan. Kalau cinta nggak bikin sakit, mungkin itu bukan cinta yang sebenarnya. Cinta itu nyatanya memang menyakitkan."
Kata-katanya bikin aku geram.
"Kamu lagi ngehakimi aku, Max?"
"Nggak, Megan. Aku nggak bisa ngehakimi kamu, apalagi kalau aku sendiri nggak tahu gimana masa depanku."
Kata-katanya bikin aku terkejut. Aku selalu pikir Max adalah orang yang udah punya rencana hidup yang matang.
"Makasih, Max."
"Sama-sama, Megan," dia senyum kecil. "Sekarang, biar aku selesaikan baca buku ini."
Aku balas tersenyum, terus keluar dari kamarnya. Aku harus menata pikiran dan istirahat. Hari ini masih panjang, dan aku masih ngerasa nggak enak. Sekarang, aku butuh tidur dan mikirin semuanya dengan jernih.