*Juara 1 YAAW 9*
Tiga tahun mengarungi bahtera rumah tangga, Vira belum juga mampu memberikan keturunan pada sang suami. Awalnya hal ini tampak biasa saja, tetapi kemudian menjadi satu beban yang memaksa Vira untuk pasrah menerima permintaan sang mertua.
"Demi bahagiamu, aku ikhlaskan satu tanganmu di dalam genggamannya. Sekalipun ini sangat menyakitkan untukku. Ini mungkin takdir yang terbaik untuk kita."
Lantas apa sebenarnya yang menjadi permintaan ibu mertua Vira? Sanggupkah Vira menahan semua lukanya?
Ig. reni_nofita79
fb. reni nofita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34. Meminta Cerai
Vira berlari ke kamarnya, hatinya sangat sakit setelah kejadian tadi. Apalagi Yudha sama sekali tidak membelanya dan berencana semakin menyudutkannya, untung saja Vira sudah menebak hal itu dan mengakiri semuanya. Wanita itu masuk ke dalam kamar, lalu bersandar pada pintu kamarnya kemudia perlahan tubuhnya melorot ke bawah.
"Kenapa semua ini terjadi kepadaku Ya Allah," gumamnya dengan air mata yang terus keluar dengan derasnya.
"Aku tidak tahu kenapa Tuhan memilihku sebagai salah satu manusia yang hidup ditakdir yang keras ini. Entah dari sisi mana Tuhan melihat ketangguhan dan kemampuanku untuk melewati semua ini. Setiap malam harus menangis karena kasihan pada diri sendiri. Setiap hari harus berpura-pura terlihat baik-baik saja. Dihadapan semua orang harus menahan rasa mengeluh, rasa hancur, rasa ingin marah, semua ku tahan sendirian," ucap Vira dengan lirih. Wanita itu memukul dadanya yang terasa sesak.
"Bagaimana Tuhan bisa berikan ujian seberat ini padaku yang lemah? Bagaimana Tuhan bisa percaya aku mampu, sedangkan diriku sendiri ragu? Aku benar-benar sampai di titik pasrah, pintaku pun pada Tuhan tidak banyak, sekiranya memang ini sudah jalanku, kuatkan aku pada apa yang telah menjadi takdirku ini," gumam Vira dengan diri sendiri.
Entah sampai kapan Vira bisa bertahan dengan kondisi seperti ini, rasanya dia sudah tidak sanggup lagi. Kalau kemarin dia masih mempunyai harapan kepada Yudha kalau suaminya itu sebenarnya masih sangat mencintainya. Tapi saat ini harapannya itu telah sirna.
Terkadang Vira juga membayangkan kalau dirinya segera memiliki keturunan, mungkin saja sikap Yudha dan juga Ibu mertuanya tidak akan seperti ini, dirinya pasti akan sangat dimanja. Mungkin semua ini adalah cobaan yang diberikan Tuhan kepadanya, Vira masih harus sabar menghadapi ini semua. Karena Vira yakin kalau semua cobaan ini pasti ada hikmah dibaliknya.
Sementara di dapur, Ibu Desy dan Weny tampak saling pandang dan tersenyum menanggapi Yudha yang kembali membentak Vira. Ibu Desy merasa puas karena anaknya sudah bisa memarahi Vira dihadapan mereka.
"Kamu lihat sendiri'kan, istrimu itu selalu saja melawan apa yang Ibu katakan. Apa salahnya membantu Ibu ngepel lantai. Apa karena rumah ini miliknya dan kita hanya menumpang sehingga dijadikan babu?"
Yudha menarik napas berat. Baru dua minggu dia menikah lagi, tapi sudah beberapa kali dia membentak dan memarahi Vira. Entah kenapa dia jadi pemarah.
"Aku harap ibu juga jaga sikap. Jangan meminta bantuan Vira, mana yang tidak bisa ibu kerjakan, bisa minta bantuan Weny."
Setelah mengatakan itu Yudha berjalan menuju kamarnya Vira. Diketuk beberapa kali tidak ada sahutan, pria itu mencoba membuka pintu, beruntung tidak terkunci.
Sejak menikah dengan Weny, Yudha tidak pernah tidur lagi di kamar itu. Terakhir saat hari pernikahannya dan mereka melakukan hubungan.
Tidak ada lagi foto pernikahan ataupun foto mereka berdua lainnya di kamar mereka lagi. Tampaknya Vira telah menurunkan semuanya.
Yudha mencari keberadaan istrinya itu, namun tidak melihatnya. Terdengar suara air dari kamar mandi, pria itu yakin istrinya di dalam. Dia menunggu dengan duduk di tepi ranjang.
Saat Vira keluar dari kamar mandi, dilihatnya Yudha. Dia diam saja mengacuhkan kehadiran pria itu. Vira duduk di sofa yang ada di kamar dan menyalakan televisi. Yudha bangun dari duduknya dan menghampiri istrinya itu.
Yudha meraih tangan Vira dan menggenggamnya. Wanita itu masih saja diam, tidak peduli.
"Maafkan, aku. Entah mengapa akhir-akhir ini kesabaranku makin menipis. Mungkin karena pekerjaan kantor yang menumpuk, tidak ada yang membantu. Semenjak Weny berhenti, belum ada yang menggantikan posisinya sebagai sekretarisku," ucap Yudha.
"Aku tahu kamu capek. Aku maafkan kamu, Mas," ucap Vira pelan.
"Terima kasih, Vir."
"Agar kamu tidak terlalu capek, aku ingin mengurangi beban kamu, Mas."
"Apa maksud kamu, Vir?" tanya Yudha tidak mengerti.
"Aku ingin kita berpisah. Dengan begitu beban kamu berkurang satu. Kamu tidak perlu memikirkan tentang aku."
"Kamu bicara apa? Aku tidak akan pernah berpisah darimu!" ucap Yudha sedikit tinggi.
"Untuk apa mempertahankan rumah tangga yang tidak sehat ini. Mas, sesuatu yang telah dibagi itu pasti tidak utuh lagi. Aku ingin kamu pikirkan ini. Dari pada kita saling menyakiti," ucap Vira pelan.
Dia telah memikirkan ini tadi. Mungkin inilah jalan terbaik bagi mereka berdua.
"Aku tidak mau dan tidak akan pernah menceraikan kamu sampai kapanpun. Bukankah kamu yang setuju aku berpoligami. Kami katakan jika ikhlas atas semua ini. Kenapa sekarang kamu yang menyerah. Aku tidak bisa," ucap Yudha.
Dia berdiri dari duduknya dan meninggalkan Vira seorang diri di kamar.
...****************...