NovelToon NovelToon
Antara Dua Sisi

Antara Dua Sisi

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Selingkuh / Percintaan Konglomerat / Pelakor
Popularitas:4.7k
Nilai: 5
Nama Author: Lucky One

Libelle Talitha, atau Belle, adalah gadis 17 tahun yang hidup di tengah kemewahan sekolah elit di Inggris. Namun, di balik kehidupannya yang tampak sempurna, tersembunyi rahasia kelam: Belle adalah anak dari istri kedua seorang pria terpandang di Indonesia, dan keberadaannya disembunyikan dari publik. Ayahnya memisahkannya dari keluarga pertamanya yang bahagia dan dihormati, membuat Belle dan ibunya hidup dalam bayang-bayang.

Dikirim ke luar negeri bukan untuk pendidikan, tetapi untuk menjauh dari konflik keluarga, Belle terperangkap di antara dua dunia. Kini, ia harus memilih: terus hidup tersembunyi atau memperjuangkan haknya untuk diakui.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tidak Punya Pilihan

Draven menarik napas panjang sebelum menjawab. "Hubungan kami... agak rumit. Ini lebih karena keputusan keluarga. Kami bertunangan karena desakan orang tua, tapi... kami tidak pernah benar-benar dekat." Tatapan Draven jauh, seolah-olah ada beban yang ia bawa dalam kata-katanya.

Belle mengangguk pelan, memahami perasaan itu. Ia pernah mendengar tentang keluarga-keluarga seperti itu—keluarga kaya dan terpandang yang lebih mementingkan status daripada perasaan. “Sepertinya kau juga terjebak di antara dua dunia,” Belle berkata pelan, setengah berbicara pada dirinya sendiri.

Draven tersenyum tipis. “Mungkin begitu,” gumamnya sambil menatap Belle. “Dan kau?”

Belle ragu sejenak sebelum menjawab. "Aku juga. Kurasa kita punya kesamaan dalam hal itu."

Keduanya terdiam sejenak, merasakan keheningan yang tiba-tiba terasa hangat dan intim. Di tengah ketidakpastian dan masalah masing-masing, Belle dan Draven menemukan titik temu yang tak terduga—sebuah kesamaan dalam perasaan terjebak di antara dunia yang tidak sepenuhnya milik mereka.

"Aku senang bisa berbicara denganmu," Draven berkata tiba-tiba, memecah keheningan. "Aku jarang merasa bisa terbuka seperti ini, bahkan dengan orang-orang yang kukenal."

Belle tersenyum, merasa hal yang sama. "Aku juga," jawabnya jujur.

Di saat itu, keduanya merasa seperti ada koneksi yang terbentuk. Meskipun baru saja bertemu, mereka tahu bahwa ada sesuatu yang spesial dalam kebersamaan mereka—sebuah kehangatan dan pemahaman yang mungkin sulit ditemukan dalam hidup mereka yang penuh dengan intrik dan tekanan keluarga.

Namun, sebelum percakapan mereka bisa berlanjut lebih jauh, suara Paula yang khas terdengar dari kejauhan. "Draven, kau di sini?"

Belle dan Draven saling menatap sejenak sebelum Paula dan Darwin muncul dari kerumunan, mengakhiri momen itu.

"Sudah selesai mainnya?" tanya Darwin dengan senyum lebar, tidak menyadari ketegangan yang tiba-tiba muncul.

Draven mengangguk, sementara Paula menatap Belle dengan dingin. "Kita harus pergi sekarang, Draven," kata Paula singkat. "Ada janji makan malam."

Draven melirik Belle untuk terakhir kali sebelum akhirnya mengikuti Paula. "Sampai jumpa, Belle," ucapnya pelan, seolah ada perasaan enggan dalam suaranya.

Belle mengangguk, menatap punggung Draven yang perlahan menghilang di antara kerumunan.

***

Pada pagi hari yang cerah di Manchester, Paula duduk di dekat jendela hotel, menghadap ke luar sambil menikmati secangkir kopi. Meski ia mencoba menikmati pemandangan, pikirannya sibuk. Setelah dua hari berada di kota ini, Paula merasa lelah dengan segalanya terutama dengan Draven, yang sepertinya semakin sulit dijangkau. Sesaat kemudian, ponselnya bergetar, menampilkan nama ibunya di layar. Paula mendesah pelan dan mengangkat telepon itu dengan berat hati.

"Ya, Ma?" jawab Paula, berusaha terdengar tenang.

"Paula! Di mana kamu?!" suara ibunya terdengar penuh emosi di seberang telepon. "Dua hari tanpa kabar, dan aku harus mendengar dari orang lain bahwa kamu menyusul Draven ke Manchester? Apa yang kamu pikirkan?!"

Paula menggigit bibirnya, mencoba menahan perasaannya. "Ma, aku butuh waktu sendiri dengan Draven. Aku ingin... aku ingin memastikan semuanya berjalan sesuai rencana."

"Sesuai rencana?" ibunya menghela napas panjang. "Ayahmu sangat marah mendengar hal ini! Kau kabur begitu saja tanpa memberitahu siapa pun. Kamu tidak paham situasinya, Paula. Kamu bertunangan dengan Draven bukan untuk liburan main-main di Manchester."

Paula menahan napas, tak ingin memperkeruh situasi. "Aku tahu, Ma. Tapi Draven semakin sulit diajak bicara. Aku merasa dia menjauh dariku. Aku ke sini untuk memperbaiki semuanya."

Ibunya terdiam sejenak sebelum berbicara lagi dengan nada yang lebih dingin. "Paula, pernikahan ini bukan tentang perasaanmu. Ini tentang hubungan dua keluarga besar. Jika kau tidak bisa membuat Draven tetap bersama, semuanya akan berantakan, dan kau tahu apa yang itu artinya bagi kita."

Paula memejamkan mata, menyadari betapa besar tekanan yang ia hadapi. "Aku akan mengurusnya, Ma. Tolong katakan pada Ayah untuk tenang. Aku akan kembali segera setelah semuanya selesai."

"Ayahmu tidak ingin tahu soal rencana-rencana itu. Yang dia ingin tahu adalah kapan kau akan membawa Draven kembali dan membuat semuanya stabil seperti seharusnya," suara ibunya semakin keras. "Ingat, Paula, kita tidak bisa kehilangan keluarga Faelen. Kau harus mempertahankan pertunangan ini."

Paula menggigit bibirnya lagi, merasa berat dengan tuntutan ini. "Aku tahu, Ma. Aku tahu," ucapnya pelan sebelum menutup telepon.

Setelah percakapan itu berakhir, Paula duduk dalam diam, merasakan tekanan yang begitu besar. Tuntutan keluarganya, hubungan dengan Draven yang makin renggang, dan ketakutan akan masa depan yang tidak menentu membuatnya merasa terjebak. Ia tahu apa yang diharapkan darinya, tapi semakin ia memaksa Draven, semakin jauh pria itu pergi darinya.

Paula menatap ponselnya, ingin menghubungi Draven tapi ragu. Perasaannya campur aduk. Di satu sisi, ia ingin memperbaiki hubungan ini dan memenuhi harapan keluarganya, tapi di sisi lain, ia merasa Draven tidak akan pernah mencintainya.

Sementara itu, di lantai bawah hotel, Draven sedang duduk di lobi, menatap layar ponselnya. Dia sudah tahu Paula akan segera datang mencarinya, tetapi pikirannya terus mengembara ke arah pertemuannya dengan Belle. Dia tidak bisa mengabaikan perasaan nyaman yang muncul ketika berbicara dengan Belle—perasaan yang tidak pernah ia rasakan dengan Paula. Namun, ia juga tahu bahwa keluarganya, seperti halnya keluarga Paula, memiliki rencana yang sudah diatur untuk masa depannya.

Ketika Paula akhirnya turun ke lobi, Draven melihatnya datang dengan wajah yang tampak lelah dan frustrasi. Tanpa mengatakan apa-apa, Paula duduk di sebelah Draven, diam sesaat sebelum akhirnya berbicara.

"Ayahku marah karena aku ada di sini," katanya pelan, nadanya penuh dengan tekanan. "Aku harus memastikan semuanya baik-baik saja antara kita, Draven. Kau tahu betapa pentingnya hubungan ini bagi keluarga kita."

Draven mendengus pelan, tak ingin membuat situasi lebih sulit, tapi dalam hatinya ada rasa penolakan yang tak bisa ia abaikan. "Paula, kita tidak bisa terus berpura-pura semuanya baik-baik saja jika sebenarnya tidak."

Paula menatapnya dengan mata penuh frustrasi. "Kita tidak punya pilihan, Draven. Ini bukan hanya tentang kita. Ini tentang dua keluarga besar yang bergantung pada hubungan kita."

Draven menghela napas panjang, merasa terjebak dalam situasi yang tidak diinginkannya. "Aku tahu, tapi itu tidak berarti aku harus menyukai semuanya."

Paula terdiam sejenak, menatap Draven dengan tatapan penuh harap. "Aku hanya ingin hubungan ini berhasil, Draven. Aku ingin kita bisa bahagia."

Namun, Draven tak bisa memberikan jawaban yang Paula inginkan. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa kebahagiaan yang Paula cari mungkin tidak pernah bisa ia berikan. Apalagi, setelah pertemuannya dengan Belle, ia semakin merasa bahwa ia sedang mencari sesuatu yang lain dalam hidupnya sesuatu yang lebih dari sekadar kewajiban keluarga.

Dan di sisi lain, Belle yang sedang berjalan-jalan bersama Darwin di pusat kota Manchester juga tidak bisa sepenuhnya melupakan pertemuannya dengan Draven. Meskipun ia berusaha fokus pada pertemuannya dengan temannya yang baru datang dari Indonesia, pikirannya terus kembali ke sosok pria misterius yang membuatnya merasa nyaman di tengah kebingungannya sendiri.

1
Leviathan
sedikit saran, perhatikan lagi struk katanya iya Thor.

ada beberapa kalimat yang masih ada pengulangan kata..

contoh kyk ini: Belle berdiri di jendela di bawah langit.

jadi bisa d tata struk kalimatnya;
Belle berdiri di tepi jendela, menatap langit Inggris yang kelam

atau bisa juga Belle berdiri di jendela, memandang langit kelam yang menyelimuti Inggris.

intinya jgn ad pengulangan kata Thor, dan selebihnya udah bagus
Lucky One: Makasih ya saran nya/Heart/
total 1 replies
safea
aku baru baca dua chapter tapi langsung jatuh cinta sama tulisan kakaknya💜
safea
suka banget sama tata bahasanya, keren kak! oh iya sedikit saran dari aku, tolong penempatan tanda bacanya diperhatikan lagi yaa
Lucky One: Makasih saran nya ya..
total 1 replies
Anggun
hadir saling support kak
🔵@🍾⃝ ͩAᷞғͧɪᷡғͣ DLUNA
Saran aja kak, itu tulisannya bisa di bagi lagi menjadi beberapa paragraf agar yang membaca lebih nyaman..
Lucky One: okey, makasih ya feedback nya
total 1 replies
semangat kak /Determined/ tapi kok rasanya kayak baca koran ya, terlalu panjang /Frown/
Lucky One: Makasih feedbacknya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!