Penasaran dengan kisahnya yuk lansung aja kita baca....
Yuk ramaikan...
Sebelum lanjut membaca jangan lupa follow, like, subscribe , gife, vote and komen yah....
Teruntuk yang sudah membaca lanjut terus, dan untuk yang belum hayuk segera merapat dan langsung aja ke cerita nya....
Selamat membaca....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Tangan kanannya mendorong handle pintu hingga terbuka. Pandangannya langsung mengarah pada seorang wanita yang dimaksud oleh Nijar.
"Salma!!" sebutnya dengan nafas tertahan. Tiba-tiba nyeri menusuk jantung bertubi-tubi meninggalkan sesak.
"Aris."
Wanita bernama Salma itu bangkit dari posisi duduk. Melihat Aris berjalan mendekat, ia langsung berlari kecil dan menabrak dada mantan kekasihnya. Aris terkesiap. Salma menangis di dadanya.
"Maafkan aku ...." Isak tangis Elis langsung memenuhi ruangan.
"Jangan begini, please! Akubisa mendapat masalah kalau ada yang tau kamu menangis di sini bersamaku."
Aris mendorong pelan tubuh mantan kekasihnya. Tiba-tiba saja, ia teringat akan diri Arumi. Apa jadinya jika istrinya mengetahui ada wanita lain yang bersandar di dadanya?
"Aris, kok kamu jadi berubah secepat ini?"
"Maaf, Salma. Aku sudah menikah."
Wanita di hadapannya mundur satu langkah mendengar pengakuan Aris. Selama berpisah dari Aris, ia tak pernah sekalipun mendengar pernikahan mantan kekasihnya. Mulut ternganga, segera Salma tutup dengan tangan. Gadis cantik itu menggeleng berkali-kali sebagai respons ketidakpercayaannya.
"Nggak mungkin?" Lirihnya menolak pengakuan Aris.
"Aku sudah menikah, dua bulan yang lalu. Aku sudah bahagia dengan istriku. Aku harap, kamu pun akan segera menemukan kebahagiaan."
"Mana mungkin aku bahagia sedangkan letak kebahagiaanku adalah kamu.
Kenapa kamu cepat sekali melupakan aku, Ris? Tiga tahun kehadiranku di sisimu dengan mudahnya kamu hapus dengan kehadiran orang lain yang kamu kenal dalam waktu dua bulan. Secepat itu kamu melupakan kenangan kita, janji-janji kita."
"Bukan salahku. Kenapa nggak introspeksi diri sebelum melimpahkan kesalahan padaku? Bukankah kamu yang berkhianat lebih dulu? Menerima pinangan laki-laki lain di belakangku? Salah siapa coba? Salah siapa yang tiba-tiba datang minta mengakhiri hubungan kita?"
"Aku dijodohkan! Aku tidak pernah mencintainya. Bahkan sudah kutinggalkan dia demi kamu."
"Terserah. Alasanmu tak berarti apa-apa sekarang. Aku sudah menikah dan aku tidak mungkin menghianati istriku apalagi sampai harus meninggalkan dia."
Aris beranjak dari hadapan Salma menuju meja kerja Nijar. Di sana ia mencari sesuatu yang ia butuhkan. Setelah mendapatkannya, bergegas melangkah ke arah pintu luar.
"Aris! Aku sudah di sini. Terlanjur memutuskan pertunanganku dan meninggalkan keluargaku demi kamu. Apa ini balasannya darimu, hah?"
Aris menghentikan gerak kakinya. Ucapan demi ucapan yang keluar dari mulut mantan kekasihnya terasa seperti sayatan-sayatan tipis yang mengikutinya. Perih rasanya.
"Pulanglah, lupakan aku. Karena percuma kamu ada disini."
"Aris!"
"Kita sudah tidak ada urusan lagi, Salma." Aris memejamkan mata, menahan agar emosi yang sudah berada di ubun-ubun tidak meledak saat itu juga.
"Aku meninggalkan dia, meninggalkan tunanganku. Aku sudah menyerahkan cincin pertunangan kami sebagai tanda mengakhiri hubungan kami. Itu semua demi kamu, Ris. Aku sadar, empat bulan bertunangan dengannya tak cukup waktu untuk melupakan kamu. Aku memberanikan diri jujur padanya, bahwa aku masih mencintai kamu, Ris. Hanya kamu."
Aris yang sedang menghadap pintu luar, berbalik secara perlahan-lahan mendengar kecaman Salma. Ditatapnya sangat lama diri gadis yang sampai saat ini masih mendiami sisi terdalam hatinya.
"Please, Aris. Pikirkan nasibku ...." Salma terisak lagi. Tubuhnya terasa tak memiliki tulang. Kenyataan pahit telah memukul telak dirinya.
Sisi sensitif dari hati Aris tersentuh. Tak tega juga melihat wanita yang masih dicintainya berada dalam situasi menyakitkan seperti ini.
"Setidaknya kita harus bicara. " Salma meraih tisu di meja sampingnya. Lalu, mengusapkan pada pipi yang sudah tak beraturan ronanya.
"Ya, sudah. Tunggu di ruanganku. Aku selesaikan dulu urusanku."
Aris berbalik, kemudian melangkah meninggalkan sang mantan seorang diri. Bibir Salma tiba-tiba menyunggingkan senyum. Merasa mendapatkan kesempatan besar, hatinya terasa lebih tenang kini.
***
"Selesai."
Arumi tersenyum puas memandang deretan rantang berisi makanan. Ia berencana mengantarkan makan siang untuk suaminya.
"Semoga Mas Aris sudah nggak malu mengakuiku sebagai istrinya. Datang ke kantor rasanya cara yang tepat untuk membuktikan apakah dia benar-benar telah menyelesaikan masalahnya." Ia berbicara sendiri.
"Masalah kita sudah selesai di sini, Arumi ...."
Arumi membayangkan romansa semalam. Di mana Aris berbisik usai penyatuan yang pertama.
Ia tersenyum sendiri. Andai ada orang lain yang melihat kelakuannya, pastilah ia disangka gila. Tangannya bergerak meraih satu persatu wadah makanan itu, lalu memasukkannya ke dalam paper bag. Senyumnya masih mengembang, membayangkan peristiwa semalam seperti tak ada bosannya. Sesiang ini Arumi berkali-kali menghentikan aktivitasnya ketika terlintas bayang pergulatan semalam, senyum-senyum sendiri dan mengakhirinya dengan menampar pipi sendiri.
"Mas Aris-mas Aris. Kamu bikin aku seperti orang gila seharian ini, astagfirullah."
Arumi membawa bawaannya ke ruang tengah. Ia masuk ke kamar untuk menggantikan pakaian dengan model yang lebih baik. Meskipun mengenakan cadar, ia ingin terlihat tetap menarik di hadapan Aris.
Selesai mengganti gamis panjang berwarna soft blue dengan jilbab hitam dan cadar hitam pula, Arumi beranjak membawa makanannya ke teras. Di sana ia menunggu taksi online pesanannya.
Menunggu lima menit, taksi langganan Arumi pun datang. Ia melangkah menghampiri, lantas pergi ke kantor Aris.
Cukup deg-degan, dadanya berdebar-debar. Ini untuk pertama kali dirinya datang ke kantor suami. Sebelumnya, Aris tidak pernah memintanya datang. Kali inipun atas inisiatif sendiri, menimbang bahwa hubungannya dengan Aris sudah lebih baik dan berada di titik yang aman. Tak ada salahnya jika ia membuat kejutan.
"Sudah sampai, Mbak," ucap si sopir, menghentikan Arumi di halaman depan kantor pusat Wijaya Group.
"Ya, saya turun di sini saja, Pak. Terimakasih."
Arumi turun setelah memberikan bayaran. Begitu menginjakkan kaki di paving halaman kantor itu, ia langsung dibuat takjub dengan keadaan sekitar. Bersih dan tertata rapi.
"Pantas Mas Aris betah bekerja di kantor. Megah begini ." Ia mendongak. Mengamati gedung bertingkat dari bawah, menatap kaca-kaca perbagian ruangan sambil membatin, ' 11 Mungkin Mas Aris ada di salah satu ruangan itu."
Dirinya yang hanya seorang yatim piatu, hidup serba kekurangan sejak kecil, berkali-kali bekerja hanya sebagai kurir, kuliah pun sembari bekerja, rasanya sangat beruntung bersuamikan Aris, pria tampan dengan segudang keahlian di kantornya, seorang berpendidikan tinggi dan mapan.
"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" Arumi terkejut bukan main saat dirinya ditanyai seorang sekuriti. Ia yang menginjakkan kakinya di lobi utama mendapat sambutan dari petugas keamanan.
"Saya mencari ruangan suami saya," jawab Arumi jujur. Berharap tidak akan mendapat kesulitan mencapai ruangan Aris.
"Suami Ibu bekerja di sini?" tanya sekuriti bernama Jimmy itu.
"Ya, kerja di sini."
"Maaf, nama suami Ibu siapa?"
"Mas Aris. Aris Rizki."
"O ... Pak Aris. Ibu istrinya pak Aris? Kalau begitu, mari saya antar ke ruangan beliau. Mari, silahkan ibu duluan."
"Maaf, biar saya jalan di belakang Bapak."
"Aduh, saya jangan dipanggil bapak. Jadi sungkan saya. Ibu kan istrinya atasan saya. Pak Aris itu salah satu orang penting di kantor ini, Bu. Ibu panggil nama saja."
"Yang orang penting kan suami saya, Pak. Saya mah ibu rumah tangga biasa."
"Hehe iya, Bu, mari. Maaf saya jalan di depan."
"Iya, silakan."
Arumi mengikuti langkah Jimmy, sekuriti kantor yang sangat ramah padanya. Entah pada pengunjung lain.
Mungkin karena dirinya istri dari atasannya Jimmy. Arumi merasa mendapat kemudahan karena alasan itu.
Jimmy membawa Arumi memasuki lift. Tombol yang dipilih Jimmy adalah angka tujuh. Berarti suaminya berada di lantai tujuh. Begitu batin Arumi menebak.
Pintu terbuka. Jimmy melangkah ke luar. Arumi pun mengikutinya. Sekuriti itu berhenti selang beberapa langkah.
"Maaf, Ibu, ruang kerja Pak Aris ada di ujung itu. Nanti tanya saja sama karyawan yang ada di sana kalau Ibu masih bingung," ucap Jimmy.
"Oh, iya. Terima kasih sudah mengantarkan saya. Assalamualaikum ...."
"Sama-sama Ibu, waalaikumsalam ...."
Arumi lantas melangkah melewati Jimmy, menuju pintu yang dimaksud pria itu.
Dadanya berdebar-debar. Menjalankan misi, memberi kejutan pada sang suami dengan cara mendatangi ruang kerjanya sambil membawa bekal makan siang. Arumi membayangkan betapa senang Aris melihat kedatangannya membawa makanan favorit, rendang , dan tumis sayuran hijau.
"Kira-kira, mas Aris lagi ngapain ya ...?"
*