NovelToon NovelToon
Nura 1996

Nura 1996

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Spiritual / Ibu Pengganti / Anak Yatim Piatu / Mengubah Takdir / Keluarga
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Titik.tiga

menjadi anak pertama dan satu-satu nya membuat aku merasakan kasih sayang sepenuhnya dari kedua orangtua ku terutama ayahku.
tapi siapa sangka, kasih sayang mereka yang begitu besar malah membuat hidupku kacau,,,.
aku harus menjalani hidupku seorang diri disaat aku benar-benar sedang membutuhkan keberadaannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 32 : penyambutan orangtua& awal pertaubatanku

Pagi itu, aku dikejutkan oleh pesan yang masuk di ponselku. Bu Sinta, karyawan travel umrah milik Pak Bayu, mengabari bahwa ayah dan ibuku sedang dalam perjalanan pulang dari ibadah umrah. Sinar mentari yang lembut masuk melalui jendela, tapi hatiku terasa jauh lebih cerah dari pagi itu. Sudah sekian lama aku tak bertemu kedua orang tuaku , khayalanku saat momen penyambutan membuatku tak bisa menahan senyum.

“Nurra, kami akan menyambut kepulangan jamaah dan Pak Bayu nanti sore di Jakarta, bertepatan dengan syukuran ulang tahun ke-10 travel umrah. Kamu mau ikut menyambut orang tuamu?” tanya Bu Sinta dalam pesan yang ia kirim.

Tanpa pikir panjang, aku segera menyetujui ajakan tersebut. Siang harinya, aku mempersiapkan diri dengan hati yang penuh semangat. Sore menjelang, aku tiba di kantor travel untuk menemui Bu Sinta. Kami mengobrol hangat, bertukar cerita tentang rencana penyambutan yang spesial itu, saat itu hatiku dipenuhi dengan perasaan bahagia yang bercampur aduk.

Selepas salat magrib, aku dan rombongan dari travel tersebut berangkat menuju Jakarta. Sepanjang perjalanan, aku tak henti-hentinya membayangkan momen dimana aku bisa kembali melihat senyuman hangat ayah dan ibuku. Bayangan itu membawa kehangatan di hatiku, terutama di masa-masa sulit yang aku lewati belakangan ini.

Sesampainya di Jakarta, rombongan menuju masjid besar tempat acara syukuran akan digelar. Masjid itu sudah mulai dihiasi dengan dekorasi yang indah, berhiaskan bunga dan pernak-pernik yang elegan namun tetap sederhana. Melihat kesibukan Bu Sinta dan para karyawan travel lainnya yang sibuk menyusun segala keperluan acara, aku menawarkan diri untuk membantu mereka. Bu Sinta menyambut baik tawaranku, kami pun mulai bekerja bersama, menghias meja-meja dan merangkai bunga.

Saat semuanya hampir selesai, waktu sudah mulai beranjak malam. Dengan hati yang berdebar, aku bersama Bu Sinta dan beberapa karyawan lainnya segera berangkat menuju bandara. Pesawat yang membawa orang tuaku akan segera tiba. Setiap langkah yang ku ambil terasa penuh dengan harapan dan kebahagiaan yang tak tertahankan. Kembali melihat orang tuaku setelah sekian lama, dan di tengah suasana syukuran yang hangat, adalah momen yang ku nantikan.

Sesampainya di bandara, aku melihat sosok kedua orangtuaku berjalan keluar dari pintu kedatangan, masih mengenakan pakaian ihram, wajah mereka bercahaya penuh kedamaian. Aku tidak dapat menahan haru dan berlari memeluk mereka.

“Ibu, Ayah… Nurra kangen banget!” kataku sambil terisak, memeluk mereka erat.

Ayahku tersenyum sambil mengusap lembut kepalaku yang tertutup hijab. Sang ibu tak henti-hentinya mencium pipi ku, matanya berkaca-kaca melihat putri kesayangannya.

“Nak, Alhamdulillah Ibu bisa melihat kamu lagi. Ternyata sekarang sudah berhijab, ya?” kata sang ibu, dengan nada bahagia dan haru.

Aku pun tersenyum, sedikit malu. “Iya, Bu. Ini karena Bu Sinta yang bantuin. Nurra belum benar-benar berhijab, tapi malu juga liat semua perempuan di sini pakai hijab. Jadi, ya... Nurra coba.”

Ibuku tersenyum penuh kehangatan, memeluk ku lebih erat lagi. “Bersyukurlah, Nak. Ini langkah awal yang indah.”

Obrolan hangat mereka terhenti sejenak ketika para jamaah lain sudah dipanggil untuk naik ke bus menuju hotel. Nurra melepaskan pelukan, meskipun masih berat rasanya.

“Besok kita ketemu lagi di acara syukuran, ya. Nak, kamu ikut Bu Sinta saja ya,” pesan ayahku sebelum mereka berpisah.

Keesokan paginya, aku dan Bu Sinta tiba di masjid yang sudah ramai dengan jamaah umrah lainnya. Masjid itu dihiasi begitu indah dengan rangkaian bunga dan pernak-pernik syukuran. Aku melihat ibuku datang bersama para jamaah perempuan, dan aku langsung berlari ke arah ibuku, memeluknya dengan erat seolah tak ingin melepasnya.

“Ibu seneng banget kamu ada di sini, Nak. Kamu baik-baik aja, kan?” tanya ibuku, mengelus pipiku.

“Nurra baik, Bu. Cuma kangen banget sama Ibu sama Ayah. Rasanya lama banget gak ketemu,” jawabku sambil terisak kecil.

Ayahku berada di shaf depan bersama jamaah laki-laki lainnya, siap mengikuti acara syukuran.

Setelah semua jamaah berkumpul, penceramah naik ke mimbar. Suara salam yang lembut namun penuh wibawa mengawali sesi ceramah. Aku memperhatikan dengan saksama, sementara ayahku berada di shaf depan bersama jamaah laki-laki, dan ibuku duduk di sampingku, sesekali menggenggam tanganku. Setelah menyampaikan puji-pujian kepada Allah dan shalawat kepada Nabi, penceramah memulai ceramah dengan tema tentang keutamaan bertobat dan kembali ke jalan yang benar.

Penceramah berkata dengan nada penuh kasih dan pengertian, “Saudara-saudaraku, marilah kita bersama-sama merenung sejenak. Hidup ini, sebagaimana yang kita tahu, penuh dengan ujian. Kadang kita merasa tak sanggup, kadang kita tergoda untuk melupakan tujuan utama kita. Tapi sadarlah, Allah tidak pernah menutup pintu bagi mereka yang ingin kembali kepada-Nya. Setiap kita, tak peduli seberapa banyak kesalahan dan dosa yang telah kita lakukan, tetap memiliki kesempatan untuk berubah dan bertaubat.”

Aku mendengarkan dengan saksama, merasakan setiap kata seolah tertuju langsung padaku. Aku teringat semua kesalahan yang pernah ku lakukan, hati kecilku terasa seperti diremas.

Penceramah melanjutkan, “Apakah kalian tahu, salah satu nama Allah adalah Al-Ghaffar, Yang Maha Pengampun. Tidak ada yang terlalu besar bagi Allah untuk dimaafkan, asalkan kita bersungguh-sungguh bertaubat. Lihatlah, betapa banyak nikmat yang sudah kita terima: kesehatan, keluarga, bahkan kesempatan untuk bersama dalam majelis ini. Itu semua adalah bentuk kasih sayang Allah kepada kita. Lalu, bagaimana bisa kita membiarkan diri kita terus dalam dosa, seakan-akan kita lupa bahwa Allah selalu mengawasi setiap perbuatan kita?”

Mendengar kata-kata itu, aku merasakan tatapan lembut sang ibu yang duduk di sampingku. Ibuku tersenyum kecil, seolah berkata tanpa suara bahwa semua akan baik-baik saja, dan aku akan selalu diterima.

Penceramah melanjutkan, suaranya semakin syahdu, “Allah itu Maha Penyayang, dan dengan kasih sayang-Nya, Dia mengingatkan kita untuk bertaubat, meninggalkan segala kemaksiatan dan dosa yang pernah kita lakukan. Banyak di antara kita yang terlena oleh kehidupan dunia. Ada yang berfoya-foya, ada yang membuang-buang waktu dengan perbuatan yang sia-sia. Ingatlah, saudara-saudaraku, bahwa dunia ini sementara. Dunia ini hanyalah tempat singgah untuk mempersiapkan diri menuju kehidupan abadi. Bayangkan, ketika kita berbuat dosa, apakah kita siap jika nyawa kita dicabut di saat kita sedang berada di jalan yang salah?”

Aku menghela napas panjang, merasa sedikit bergetar. Diriku yang dulu sering terjerumus dalam pergaulan bebas bersama Ryan, dalam kebiasaan minum minuman keras dan melupakan batas-batas agama, terasa semakin jauh dari Nurra yang sekarang duduk di masjid ini.

Kemudian penceramah melanjutkan, “Banyak dari kita menganggap bahwa dosa-dosa kita terlalu besar untuk diampuni. Padahal, Allah telah berjanji bahwa jika kita sungguh-sungguh ingin berubah, maka pintu maaf-Nya selalu terbuka lebar. Sesungguhnya, Allah lebih mencintai hambanya yang bertaubat, yang menangis dalam doa, dan yang berusaha memperbaiki diri dari waktu ke waktu. Jangan pernah merasa bahwa dosa kita terlalu besar bagi-Nya. Sebesar apapun dosa yang kita lakukan, kasih sayang Allah jauh lebih besar.”

Aku menunduk, air mata mulai mengalir di pipiku tanpa bisa ku tahan. Tanganku yang tergenggam erat di pangkuan bergetar halus, ibuku yang menyadari keadaanku, merangkulku dengan lembut.

“Nak, kamu baik-baik saja?” tanya ibuku, penuh kelembutan.

“Iya, Bu,” jawab Nurra dengan suara bergetar. “Nurra cuma... merasa banyak banget salah.”

Ibuku mengelus punggungku, dan dengan nada penuh pengertian, ibuku berbisik, “Setiap orang pernah salah, Nurra. Tapi yang terpenting, sekarang kamu sudah ingin berubah. Itu sudah cukup. Allah Maha Pengampun, ingatlah itu.”

Di depan, sang penceramah mengangkat kedua tangannya, bersiap untuk berdoa, “Mari kita bersama-sama berdoa. Semoga Allah senantiasa membuka pintu hati kita agar kita selalu diberi kekuatan untuk meninggalkan dosa-dosa yang telah lalu. Semoga Allah memberikan kita kekuatan untuk tetap istiqamah di jalan yang lurus dan menjauhkan kita dari segala bentuk kemaksiatan dan godaan dunia yang menyesatkan. Aamiin.”

Suasana hening, semua jamaah menundukkan kepala, mengikuti doa dengan khusyuk. Aku menutup mataku, mengangkat kedua tanganku, berdoa sepenuh hati agar Allah menerima tobatku, agar aku bisa berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Aku menangis dalam pelukan ibuku, merasakan kehangatan kasih sayang yang sudah lama ku rindukan.

Setelah acara selesai, Bu Sinta menghampiriku dan mengajak ku duduk sejenak di luar masjid, mencari tempat yang lebih tenang.

“Ra, Ibu liat tadi kamu kayanya tersentuh banger dengan ceramah itu,” ujar Bu Sinta dengan lembut, menatapku dengan penuh perhatian.

Aku pun mengangguk, menundukkan kepala. “Bu Sinta… Nurra merasa banyak dosa. Nurra udah ngelakuin hal-hal yang bikin Nurra malu sama Allah, sama orangtua Nurra. Dosa Nurra terlalu besar, Bu…”

Bu Sinta menggenggam tanganku dan menepuk ku pelan. “Nak, Allah itu Maha Pengampun. Ibu dulu juga sama seperti kamu, banyak kesalahan yang ibu lakukan. Tapi jangan pernah berhenti percaya bahwa kasih sayang Allah lebih besar dari dosa kita.”

“Beneran bisa, Bu? Nurra takut banget… Takut kalau Allah gak mau maafin,” bisik Nurra, air mata kembali membasahi wajahnya.

Bu Sinta mengangguk mantap, “Tentu saja bisa, Nak. Tapi kamu juga harus berusaha, jangan pernah lelah untuk memperbaiki diri. Kita semua manusia, tak ada yang sempurna, tak ada yang tidak pernah salah. Yang terpenting, kamu punya niat untuk berubah.”

Di dalam hatiku, aku merasa bahwa aku menemukan harapan baru. Aku tahu perjalananku masih panjang, dan meninggalkan masa lalu ku itu bukan hal yang mudah. Tapi ceramah tadi dan dukungan dari Bu Sinta serta kedua orangtuaku memberikan aku kekuatan baru untuk bangkit.

“Terima kasih, Bu Sinta. Mulai sekarang, Nurra janji, Nurra bakal coba buat jadi lebih baik. Mungkin nggak langsung berubah total, tapi Nurra akan berusaha,” ujar Nurra dengan mata penuh keyakinan.

Dengan senyum penuh arti, Bu Sinta mengangguk dan memeluk ku dengan erat. “Ingat, Nak, yang terpenting adalah niatmu dan usahamu. Pelan-pelan, Allah akan membimbingmu.”

Hari itu menjadi momen yang akan selalu diingat olehku. Sebuah awal dari perjalanan baru, perjalanan untuk memperbaiki diri dan mendekatkan diri kepada Allah. Di dalam hatiku, aku yakin bahwa meskipun perjalananku tidak akan mudah, kasih sayang dan ampunan Allah akan selalu ada untuk ku.

1
Eriez Pit Harnanik
trus rani sama aji nya kmn thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!