SMA Rimba Sakti terletak di pinggiran Kota Malang. Menjadi tempat di mana misteri dan intrik berkembang. Di tengah-tengah kehidupan sekolah yang sibuk, penculikan misterius hingga kasus pembunuhan yang tidak terduga terjadi membuat sekelompok detektif amatir yang merupakan anak-anak SMA Rimba Sakti menemukan kejanggalan sehingga mereka ikut terlibat di dalamnya.
Mereka bekerja sama memecahkan teka-teki yang semakin rumit dengan menjaga persahabatan tetap kuat, tetapi ketika mereka mengungkap jaringan kejahatan yang lebih dalam justru lebih membingungkan.
Pertanyaannya bukan lagi siapa yang bersalah, melainkan siapa yang bisa dipercaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moon Fairy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12
Dua hari setelah kebakaran yang menghancurkan Balai Seni Rupa SMA Rimba Sakti, suasana di sekolah tampak tenang kembali. Para murid kembali ke rutinitas mereka, meskipun beberapa masih membicarakan tragedi yang menimpa Ria Astini. Pagi itu, Arga, Nadya, Dimas, Rian, dan Aisyah berkumpul di perpustakaan, tempat yang kini menjadi markas mereka untuk mendiskusikan kasus yang masih belum terpecahkan.
Arga menatap layar laptop Dimas, yang sedang menunjukkan berita terbaru. “Jadi, ternyata kebakaran ini sudah dinyatakan sebagai kecelakaan, ya?” tanyanya sambil mengernyitkan dahi.
Dimas mengangguk. “Ya, berita terakhir dari pihak berwenang menyebutkan kalau kebakaran disebabkan oleh kerusakan sirkuit listrik. Mereka bilang gak ada indikasi bahwa kebakaran ini disengaja.”
Nadya menggigit bibir bawahnya. “Itu artinya kasus ini udah ditutup? Gak ada yang mencurigakan sama sekali?”
Rian, yang dikenal dengan kemampuannya dalam mengumpulkan gosip dan informasi, menggelengkan kepala. “Aku sempat tanya beberapa orang, dan katanya gak ada bahan berbahaya kayak minyak atau bensin yang ditemukan di lokasi kebakaran. Semua saksi yang ada juga gak lihat aktivitas mencurigakan sebelum kebakaran.”
Aisyah membuka catatannya dan mulai mencatat informasi terbaru. “Jadi, polisi gak nemuin sidik jari asing atau barang-barang mencurigakan di tempat kejadian?”
“Katanya sih gitu,” jawab Rian seperti tak yakin. “Mereka bahkan periksa rekaman CCTV, tapi gak ada yang nunjukin adanya orang asing atau kejadian yang tidak biasa.”
Nadya mengetik sesuatu di laptopnya dan kemudian menutupnya dengan rasa frustrasi. “Kalau begitu, kelihatannya polisi udah menutup kasus ini dengan cepat, tapi kita masih merasa ada sesuatu yang tidak beres, kan?”
Arga mengangguk. “Ya, aku ngerasa ada yang kurang. Mbak Ria disuruh pulang dan milih tetap di sekolah. Dari situ aja udah gak masuk akal, ditambah juga kebakaran yang disebabkan kerusakan listrik secara tiba-tiba.”
Dimas mengerutkan dahi. “Apa yang bisa kita lakuin buat ngejar fakta lebih lanjut? Polisi aja udah nutup kasusnya.”
Aisyah berpikir sejenak. “Kita cuman perlu selidiki diam-diam.”
“Iya, aku rasa kita masih perlu selidiki ini. Apa kalian berdua belum ketemu informasi tentang siapa yang dekat sama Mbak Ria?” ujar Arga lalu bertanya.
Nadya menggeleng. “Kita belum dapat, Ga. Hari ini aku mau coba tanya Mbak Jihan,” jawabnya.
“Oke, Nadya sama Aisyah tetap pada posisi kalian untuk cari informasi,” kata Arga kemudian ia beralih pada Dimas dan Rian. “Kalian berdua, periksa semua CCTV sekolah ini, jangan sampai ada satupun yang terlewat. Kayaknya untuk kasus ini, kita gak bisa pakai cara kita yang berantakan, semua harus terstruktur biar bisa terbongkar.”
Semua mengangguk setuju diikuti dengan bel masuk yang berbunyi. Mereka berpisah menuju kelas masing-masing untuk memulai pelajaran dengan janji akan berkumpul kembali di kantin saat istirahat kedua berlangsung.
...—o0o—...
Di waktu istirahat pertama, Arga keluar kelas lebih dulu. Ia berjalan menuju luar gedung MIPA—menyusuri jalan di mana gedung-gedung sekolah terpisah dengan fungsi yang berbeda-beda. Lain halnya dengan perpustakaan yang perlu terus berjalan hingga menemukan gedung yang menyendiri, gedung lainnya memiliki jarak yang tak terlalu jauh. Seperti halnya gymnasium yang berada tepat di sebelah Balai Seni Rupa dan di depannya terdapat gedung teater yang dicampur dengan ruang musik serta ruang tari.
Arga masuk ke dalam gymnasium yang sepi. Biasanya, beberapa murid akan memakai tempat itu untuk berolahraga ataupun acara-acara sekolah yang memerlukan tempat lebih luas daripada auditorium yang berada dekat dengan gedung utama. Arga naik ke lantai dua menuju jendela yang ternyata mengarah ke Balai Seni Rupa. Ia melihat jendela itu dengan mata serius seolah sedang menjadi pelaku kebakaran Balai Seni Rupa.
Setelah puas berdiri di sana, dirinya turun dan pergi ke depan Balai Seni Rupa yang masih dilintasi garis polisi. Wajahnya mendongak menatap hangusnya balai bertingkat itu dilahap oleh api.
“Arga?”
Dirinya melirik pada seseorang yang memanggilnya. Saat mengenali siapa yang memanggilnya tadi, dirinya pun menghampirinya.
“Bu Asri? Ada apa nggih, Bu?” tanya Arga.
“Seharusnya saya yang tanya, kamu sedang apa to di sini?” ujar Bu Asri—guru seni rupa SMA Rimba Sakti—bertanya balik pada Arga.
Laki-laki jangkung itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Anggap saja observasi, Bu, hehehe,” jawabnya cengengesan.
Bu Asri menggelengkan kepalanya. “Kamu bukan anak seni mau observasi soal seni,” ucapnya lalu memandang Balai Seni Rupa dengan perasaan kalut. “Berkat kebakaran itu, kenangan buruk jadi terkubur. Hanya saja, kenangan indah ikut hangus. Karya anak-anak yang terselamatkan tidak sampai separuhnya,” ucapnya.
“Kenangan buruk?” tanya Arga spontan.
“Ada banyak keirian di dalam balai ini. Anak-anak seni yang saling berlomba satu sama lain, entah itu dalam bentuk lukisan, pahatan, ataupun pembuatan patung. Mereka saling memperebutkan gelar ‘Pencipta Karya Rimba’ karena itu diadakan setiap tahun untuk masing-masing angkatan. Pemenangnya akan diberikan beasiswa penuh selama setahun,” jelas Bu Asri.
Di SMA Rimba Sakti, murid-murid dari keluarga kelas menengah ke bawah seolah dituntut untuk aktif dalam setidaknya satu bidang ekstrakurikuler. Setiap tahun, sekolah memberikan beasiswa satu tahun penuh kepada murid terpilih dari setiap angkatan. Sebagai contoh, Rian mendapatkan beasiswa penuh untuk kelas 10 tahun lalu melalui ekstrakurikuler basket.
Alasan utama di balik kebijakan ini adalah biaya pendidikan di SMA Rimba Sakti yang sangat tinggi. Dengan mendorong murid-murid untuk aktif di bidang tertentu, sekolah tidak hanya mempermudah pembiayaan bagi mereka tetapi juga mengembangkan minat dan bakat setiap siswa. Beasiswa ini tidak hanya diberikan melalui ekstrakurikuler. Murid yang sering mengikuti lomba atau olimpiade dan meraih juara, serta mereka yang menduduki peringkat 1 paralel, juga mendapatkan beasiswa. Bahkan, murid yang mampu mempertahankan peringkat 1 paralel setiap tahun akan diberikan surat rekomendasi dari sekolah untuk melanjutkan kuliah di luar negeri.
Aisyah, misalnya, mendapatkan beasiswa tahun lalu. Namun, karena latar belakang keluarganya yang berkecukupan—ayahnya seorang polisi berpangkat tinggi—dia menolak beasiswa tersebut. Beasiswa itu kemudian diberikan kepada peringkat 2 paralel, Gea Nur Ustawiyah.
Setiap ekstrakurikuler memiliki julukan khusus yang diberikan kepada murid-murid penerima beasiswa. Semua murid berlomba untuk mendapatkan gelar tersebut, menjadikannya sesuatu yang sangat prestisius di SMA Rimba Sakti. Namun, berbeda dengan gelar ekstrakurikuler lainnya, gelar ‘Pencipta Karya Rimba’ dari ekstrakurikuler seni rupa sangat sulit didapatkan. Meski setiap angkatan dipilih satu murid, tahun lalu saat Arga kelas 10, gelar itu hanya diberikan kepada satu murid yang kini duduk di kelas 12, Endah Triasti dari kelas 12 MIPA 1.
Julukan ini menjadi salah satu ikon dari SMA Rimba Sakti yang terkenal menghasilkan murid-murid berbakat di bidang seni. Pengumuman penerima beasiswa biasanya dilakukan bulan depan, tepat saat ulang tahun sekolah. Namun, bulan ini kebakaran melanda Balai Seni Rupa, tempat keramat bagi siswa untuk berlomba menjadi yang terbaik di SMA Rimba Sakti, menimbulkan kekhawatiran dan ketidakpastian di kalangan siswa dan guru.
Arga memperhatikan raut wajah Bu Asri yang penuh keprihatinan. “Ibu, kira-kira ada yang mencurigakan gak ya sebelum kebakaran itu terjadi? Maksud saya, waktu masih jam sekolah seperti ini,” tanyanya.
Bu Asri menghela napas panjang. “Sebenarnya, tidak ada. Hanya murid-murid dari ekstrakurikuler seni rupa yang bolak-balik ke balai ini. Ibu ndak terlalu pikirin itu, karena mereka hanya anak-anak seni—”
“Siapa aja murid yang Ibu lihat?” potong Arga bertanya dengan antusias.
“Ah, Ibu ndak terlalu ingat. Mungkin kamu bisa tanyakan ke anak-anak seni yang sering ada di sana. Mereka pasti lebih tahu,” jawab Bu Asri.
Arga mengangguk, “Nggih, Bu. Saya akan coba cari tahu lebih lanjut. Terima kasih informasinya.”
Bu Asri menepuk bahu Arga dengan lembut, “Hati-hati, ya. Jangan terlalu dalam ikut campur kalau itu berbahaya.”
Arga tersenyum. “Iya, Bu. Saya hanya ingin membantu mencari kebenaran.”
Bu Asri menatap bangunan yang hangus dengan pandangan yang dalam dan penuh makna. "Kadang, kenangan yang hilang tak akan pernah bisa kembali, Arga. Tapi kita harus terus maju dan belajar dari apa yang tersisa."
Arga merasa ada yang janggal dari cara Bu Asri berbicara, seolah ada lebih banyak yang ingin dia sampaikan namun ditahan. Suasana hati Bu Asri tampak penuh beban dan misteri.
Bel masuk tiba-tiba berbunyi, menandakan waktu istirahat telah usai. Arga mengangguk hormat kepada Bu Asri. “Saya pamit dulu nggih, Bu. Terima kasih atas informasinya.”
Bu Asri hanya mengangguk sambil terus menatap Balai Seni Rupa yang telah hangus. Arga kemudian berjalan meninggalkan tempat itu, dengan pikiran penuh pertanyaan dan kecurigaan yang belum terjawab.