NovelToon NovelToon
Topeng Dunia Lain

Topeng Dunia Lain

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Kutukan / Hantu / Roh Supernatural
Popularitas:275
Nilai: 5
Nama Author: Subber Ngawur

Rafael tidak pernah mengira hidupnya akan berubah saat dia menemukan sebuah topeng misterius. Topeng itu bukan sembarang artefak—ia membuka gerbang menuju dunia lain, dunia yang dihuni oleh makhluk gaib dan bayangan kegelapan yang tak bisa dijelaskan. Setiap kali Rafael mengenakannya, batas antara dunia nyata dan mimpi buruk semakin kabur.

Di tengah kebingungannya, muncul Harun, tetangga yang dianggap 'gila' oleh penduduk desa. Namun, Harun tahu sesuatu yang tidak diketahui orang lain—rahasia kelam tentang topeng dan kekuatan yang menyertai dunia lain. Tapi, apakah Rafael bisa mempercayai pria yang dianggap tak waras ini, atau dia justru menyerah pada kekuatan gelap yang mulai menguasainya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Subber Ngawur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Malam Mencekam

Rafael terbangun dengan napas terengah-engah, dadanya terasa sesak seperti ada sesuatu yang menindihnya. Begitu matanya terbuka, dia terkejut luar biasa. Di atas tubuhnya, Tristan sudah mengenakan topeng itu lagi, wajahnya lagi-lagi seperti menyatu dengan topeng itu, dan tangannya yang kuat mencengkeram leher Rafael, mencekiknya tanpa ampun.

“T-Tris... Lo...,” Rafael berusaha bicara, tapi suara yang keluar hanya desahan tertahan. Dia berusaha melepaskan tangan Tristan dari lehernya, tetapi cengkeraman itu semakin kuat.

Dalam kepanikan, Rafael mendorong tubuh Tristan dengan sekuat tenaga, membuat mereka berdua jatuh dari kasur dengan keras. Tubuh mereka terhantam lantai, tetapi Tristan tidak berhenti. Dia langsung bangkit, menatap Rafael dengan tatapan kosong dan dingin, seolah dia bukan Tristan yang Rafael kenal.

“Milikku… mainanku….” Tristan mulai bicara, tapi suaranya terdengar aneh, seperti bukan dirinya sendiri. Kata-katanya tidak jelas, seperti kalimat yang diucapkan oleh sesuatu yang jauh lebih gelap dari yang Rafael bisa bayangkan.

Rafael bangkit, mencoba melangkah mundur, tetapi Tristan menyerangnya lagi. Kali ini lebih ganas, seolah didorong oleh kekuatan yang bukan miliknya. Rafael hampir tidak bisa menghindar ketika Tristan meraih lehernya lagi, berusaha mencekiknya hingga nafas Rafael semakin tersengal.

Dengan seluruh kekuatannya, Rafael berusaha menahan tangan Tristan yang semakin kuat mencengkeram. Dia tahu ini bukan Tristan. Ini pasti topeng sialan itu. Pikirannya berputar cepat, mencari cara untuk menyelamatkan diri. ‘Topengnya... Gue harus lepasin topengnya!’

Dalam posisi yang tidak menguntungkan, Rafael meraih topeng yang melekat erat di wajah Tristan. Dengan tangan gemetar, dia menariknya, berusaha melepaskan benda mengerikan itu dari kepala temannya. Tapi cengkeraman Tristan semakin kencang, nyaris membuat Rafael kehilangan kesadaran. “Tristan... tolong!” desis Rafael dengan sisa-sisa tenaganya.

Tristan terus mengucapkan hal-hal yang tidak jelas, seolah-olah dia benar-benar dikuasai oleh sesuatu. “Kau tidak akan bisa kabur… kau milikku, mainanku…”

Rafael tidak punya pilihan lain. Dia menarik topeng itu lebih kuat lagi, sampai akhirnya dengan satu hentakan, topeng itu terlepas dari wajah Tristan. Tiba-tiba, Tristan tersentak mundur, tubuhnya oleng, tetapi cengkeramannya pada leher Rafael pun terlepas.

Namun, sebelum Rafael bisa merayakan kemenangannya karena lemas setelah kehabisan napas, tubuhnya ambruk hingga kepalanya terbentur keras ke ujung meja. Pandangannya langsung kabur, dan tubuhnya terasa lemas. Dia jatuh ke lantai, tidak bisa menahan dirinya lagi, sebelum akhirnya pingsan.

Topeng yang terlepas dari wajah Tristan kini tergeletak di lantai, tidak bergerak, tapi aura menakutkan dari benda itu masih terasa. Tristan sendiri sempoyongan, hampir jatuh, tapi dia berusaha bertahan, mencoba fokus. Saat dia sadar sepenuhnya, dia melihat Rafael tergeletak di lantai dengan darah mengalir tipis dari kepalanya.

“R-Raf...” suara Tristan bergetar, rasa panik mulai melanda. Dia menatap kedua tangannya, yang beberapa saat lalu mencekik sahabatnya sendiri. “Apa yang udah gue lakuin?”

Dia mundur, memandangi Rafael dengan perasaan takut yang luar biasa. Panik, Tristan berlutut di samping Rafael, mencoba membangunkannya. “Rafael! Bangun! Gue... gue gak sengaja! Bangun, bro!”

Tidak ada respon dari Rafael. Tristan semakin panik, dia mengguncang tubuh Rafael, berusaha membuatnya sadar kembali. Tapi Rafael tetap tidak bergerak.

Pintu kamar mendadak terbuka, dan Adrian muncul di ambang pintu. Matanya langsung membelalak melihat Rafael tergeletak di lantai, dengan Tristan berlutut di sampingnya, terlihat kebingungan dan cemas. Panik, Adrian segera berlari menghampiri Rafael, menyingkirkan Tristan tanpa memikirkan penjelasan.

“Rafael! Kamu kenapa?” Adrian meraih tubuh Rafael yang terbaring lemas, mengangkat kepala putranya dengan hati-hati. Matanya menatap tajam ke arah Tristan. “Apa yang kamu lakuin?!” bentak Adrian, suaranya penuh amarah.

Tristan tergagap, wajahnya pucat dan kebingungan. “Bukan... saya gak sengaja, Om. Saya nggak tahu...,” ucapnya terbata-bata, terlihat begitu terkejut dengan apa yang baru saja terjadi.

Adrian hendak melanjutkan kemarahannya, tetapi saat itu Rafael bergerak, mengeluarkan suara pelan. “Pa, Tristan gak salah...” suaranya terdengar serak dan lemah, namun cukup untuk mengalihkan perhatian Adrian.

Adrian dengan cepat membantu Rafael duduk dengan hati-hati, masih memegang kepalanya dengan lembut. “Kamu kenapa? Kenapa bisa kayak gini?”

Rafael menghela napas dalam, matanya masih sedikit kabur. “Tadi aku gak sengaja jatuh, Pa. Tapi bukan gara-gara Tristan, aku jatuh sendiri. Ini bekas kecelakaan waktu itu, kepalaku kebentur. Makanya sekarang pusing banget.” Rafael berusaha terlihat tenang, meski kepalanya masih berdenyut keras. Dia tahu, mengatakan yang sebenarnya hanya akan membuat semuanya semakin rumit.

Adrian menatap Rafael dengan pandangan penuh kekhawatiran. “Papa periksa dulu,” katanya. Dengan cepat, dia memeriksa pupil mata Rafael, melihat apakah ada reaksi terhadap cahaya.

“Fokus ke sini, Raf,” perintah Adrian lembut, menyenterkan cahaya dari senter kecil yang selalu dibawanya. Dia memeriksa apakah ada tanda-tanda gegar otak yang lebih serius. Setelah itu, dia meraba leher Rafael, memeriksa apakah ada tanda-tanda cedera di sekitar leher dan bahu.

“Rasa pusing masih parah?” tanya Adrian sambil menatap Rafael tajam, tangannya meraba bagian belakang kepala Rafael, memeriksa apakah ada pembengkakan.

Rafael mengangguk pelan. “Sekarang udah agak mendingan...”

Adrian mengangguk. “Kamu harus istirahat total. Kalau ada rasa mual, muntah, atau makin parah, papa bawa kamu ke rumah sakit.”

Sambil membantu Rafael berdiri, Adrian masih mengamati gerak-gerik putranya dengan cermat. Tangannya tetap di pundak Rafael, memastikan bahwa anaknya tetap stabil. “Jangan banyak gerak dulu. Papa pastikan kamu nggak kena gegar otak lagi.”

Tristan yang masih duduk di lantai menatap keduanya dengan cemas. “Om, saya... beneran nggak sengaja,” ulangnya, merasa bersalah.

Adrian melirik Tristan dengan lebih tenang. “Nggak apa-apa, Tristan. Yang penting sekarang Rafael baik-baik saja.”

Rafael tersenyum kecil ke arah Tristan, berusaha meyakinkan sahabatnya bahwa dia tidak menyalahkannya. “Santai aja, Tris. Gue kan jatoh bukan gara-gara lo. Gue yang ceroboh.”

Adrian menatap Rafael dan Tristan, ekspresi wajahnya masih serius tapi lebih tenang setelah memastikan Rafael baik-baik saja. “Sudah malam, kalian tidur saja. Istirahat yang cukup,” ucap Adrian sambil melirik keduanya.

Rafael dan Tristan mengangguk pelan. Adrian pun menghela napas, lalu berjalan keluar dari kamar, menutup pintu dengan lembut di belakangnya. Ketika keheningan kembali menyelimuti ruangan, Rafael dan Tristan masih duduk di kasur, saling menatap dengan canggung. Pikiran mereka dipenuhi oleh kejadian aneh sebelumnya.

“Lo... beneran gak apa-apa, kan?” tanya Tristan pelan, masih dengan nada khawatir.

Rafael mengangguk. “Udah, gue gak apa-apa. Lo tidur aja, Tris.”

Namun, sebelum mereka sempat berbaring untuk tidur, tiba-tiba terdengar suara keras dari luar, seperti kaca dilempar batu. Ting!

Keduanya langsung tersentak, tubuh mereka membeku di tempat. Mata Rafael melebar ketakutan, dan Tristan terlihat sama cemasnya. Pikiran mereka langsung terarah pada satu hal: topeng.

“Lo denger itu, kan?” bisik Tristan, suaranya hampir tidak terdengar.

Rafael menelan ludah, mengangguk pelan. “Iya... gue denger.”

Mereka berdua saling berpandangan, ketakutan yang mereka rasakan makin menumpuk. Hati Rafael berdegup kencang. Pikiran tentang topeng yang kembali menghantui mereka membuat suasana di kamar semakin mencekam.

“Jangan-jangan...” Rafael tidak melanjutkan kalimatnya. Tapi Tristan mengerti. Pikiran bahwa topeng itu mungkin kembali terasa seperti mimpi buruk yang belum selesai.

Setelah beberapa saat hening, Rafael memutuskan untuk memeriksa. “Kita lihat keluar, yuk,” bisiknya, meski hatinya masih penuh keraguan.

Tristan mengangguk, meski jelas-jelas dia tidak mau melakukannya. Tapi ketakutannya akan ketidaktahuan lebih besar daripada keengganannya untuk memeriksa.

Mereka berdua berjalan dengan hati-hati menuju balkon kamar. Langkah mereka pelan, hampir tak terdengar, seolah takut membuat suara sekecil apa pun yang bisa mengundang bahaya. Ketika sampai di balkon, Rafael mengintip duluan, kemudian Tristan mengikutinya. Keduanya menahan napas, memandang ke bawah.

Saat itulah mereka melihat sosok yang berdiri di bawah, di halaman rumah. Seseorang dengan rambut keriting panjang yang sangat familiar.

“Pak Harun!” Rafael dan Tristan mengucapkan nama itu hampir bersamaan, suara mereka nyaris tercekat. Mereka terkejut dan bingung melihat tetangga pria itu berdiri di tengah malam, tepat di bawah balkon kamar Rafael.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!