Reyn Salqa Ranendra sudah mengagumi Regara Bumintara sedari duduk di bangku SMA. Lelah menyimpan perasaannya sendiri, dia mulai memberanikan diri untuk mendekati Regara. Bahkan sampai mengejar Regara dengan begitu ugal-ugalan. Namun, Regara tetap bersikap datar dan dingin kepada Reyn.
Sudah berada di fase lelah, akhirnya Reyn menyerah dan pergi tanpa meninggalkan jejak. Pada saat itulah Regara mulai merindukan kehadiran perempuan ceria yang tak bosan mengatakan cinta kepadanya.
Apakah Regara mulai jatuh cinta kepada Reyn? Dan akankah dia yang akan berbalik mengejar cinta Reyn?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fieThaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Botol Obat
Rega menghela napas kasar ketika dia sudah kembali ke kantor. Reyn sudah tidak ada di ruangannya karena jam kerja sudah usai. Ketika melewati meja Reyn, matanya tertuju pada sebuah botol obat tergeletak di kursi yang biasa Reyn duduki.
"Obat apa ini?"
Rega mengantongi obat tersebut. Dia melanjutkan langkahnya dan mulai fokus menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda.
Ucapan Langit tak akan dia pikirkan. Dia tak masalah dipandang rendah. Sudah terbiasa dengan perlakuan seperti itu. Sedari kecil dirinya memang diajarkan untuk tidak membanggakan apa yang dia miliki. Diajarkan mandiri dan kerja keras agar ketika dewasa tidak kaget dengan kejamnya dunia.
Dia juga tahu siapa Langit. Rega sudah mencari tahu tentang lelaki itu sedari semalam. Profesinya memang mulia, tapi mulutnya naudzubiillah.
Laporan demi laporan Rega kerjakan. Tak ada kata sulit bagi Rega. Ketelitiannya patut diacungi jempol. Hanya butuh waktu tiga jam untuk menyelesaikan semua pekerjaannya yang begitu menumpuk.
Rega terdiam sejenak. Dia meraih botol obat yang berada di sakunya. Rasa penasaran mulai menjadi. Alhasil dia mencari tahu tentang obat tersebut melalu mesin pencarian. Sayangnya, dia tak menemukan jawaban yang konkret.
"Apa kamu sakit, Reyn?"
Saking penasarannya dia mulai menghubungi adik dari ayahnya yang tak lain berprofesi sebagai dokter spesialis. Sedikit banyak dia akan mendapatkan informasi tentang obat tersebut.
"Itu obat keras, Ga."
"Untuk penyakit apa ya, Om?"
"Jantung."
Deg.
Tubuh Rega mendadak lemas membaca pesan dari sang paman. Dia tidak menyangka jika Reyn menderita penyakit separah itu di usia yang sangat muda.
"Rega, emangnya itu obat siapa? Bukan punya kamu atau mama kamu kan?"
Balasan pesan sang paman nampak cemas. Dan Rega pun menjawab apa adanya.
" Reyn Salqa?" Suara sang paman terdengar kaget.
"Apa Om kenal?"
.
Reyn datang masih pagi untuk mencari obatnya yang kemungkinan terjatuh di kantor. Jam enam dia sudah berada di sana dan mencari ke setiap sudut ruangannya. Tapi, dia tak menemukan apa-apa.
"Tempat sampah."
Hasilnya sama saja, sampah di ruangan itu sudah dibuang. Reyn pun terduduk lemas di kursi yang biasa dia tempati. Reyn menunduk dalam. Dia berada di fase serba salah. Dia butuh obat, tapi dia tak mau bertemu dengan dokternya, yaitu Langit.
"Aku gak mau ketemu dia."
Reyn kembali mencari. Dia masih berharap obat penting itu bisa bertemu. Dia mencari sampai ke kolong meja juga sofa.
"Kamu cari ini?"
Suara Rega membuat Reyn segera menoleh. Botol obat yang dia cari sudah ada pada Rega.
"Iya."
Reyn menghampiri Rega. Tangannya sudah hendak mengambil botol itu, tapi Rega malah menjauhkannya.
"Kak--" rengeknya tanpa menyadari dia memanggil Rega apa.
"Kamu sakit?"
Reyn tak menjawab. Dia memandang wajah Rega dengan begitu dalam.
"Katakan padaku, Reyn!"
"Tidak semua yang terjadi padaku Kak Rega harus tahu."
Rega menghela napas kasar. Dia ingin marah, tapi dia sadar dia itu siapa. Alhasil, Rega menyerahkan botol obat itu kepada Reyn.
"Jangan sembunyikan sakitmu Reyn. Aku ingin menemani kamu, menggenggam tangan kamu bahkan memeluk kamu ketika rasa sakitmu hadir. Aku ingin ikut merasakan sakit yang kamu rasakan."
Mata Rega berkaca mengatakan itu semua. Begitu juga dengan Reyn di mana air matanya sudah mulai menggenang. Sekuat tenaga dia tahan.
Rega memberikan obat tersebut. Lalu, berjalan menuju mejanya. Sedangkan Reyn masih mematung di sana.
Reyn memilih untuk makan siang di luar. Dia ingin melupakan sejenak perkataan Rega tadi. Semakin ke sini Rega semakin berani mengungkapkan perasaanya. Bahkan gengsi besar yang ada pada dirinya sudah lenyap.
"Aku takut jatuh cinta lagi sama kamu, Kak."
Reyn sudah mengubur cinta yang dia miliki untuk Regara Bumintara. Lelaki yang pernah dia kejar secara ugal-ugalan dan menorehkan luka yang cukup mendalam.
Tengah bergelut dengan lamunannya, suara seseorang terdengar begitu dekat. Ketika dia tersadar, Langit sudah ada di depannya.
"Hai!"
Rasa tidak nyaman sudah mulai hadir. Sedari kejadian di mana mentalnya dihajar habis-habisan oleh keluarga Langit, tubuh Reyn menolak jika Langit dekat dengannya.
"Kenapa kamu lebih memilih pulang dengan manager kamu itu dibandingkan dengan aku? Apa kurangnya aku, Reyn?"
Nada suara Langit sudah meninggi dan si sana banyak karyawan Wiguna Grup yang tengah menikmati makan siang. Alhasil, ada beberapa orang yang menatap ke arah meja yang Reyn duduki karena suara Langit yang cukup mengganggu.
"Udah ya, Kak. Ini tempat umum." Reyn bicara dengan begitu lembut.
"Kenapa? Kamu malu mendengar pengakuan aku ini? Kamu malu melihat lelaki yang begitu mencintai kamu memohon kepada kamu di tempat umum?"
Suara Langit yang bergetar membuat mereka yang sudah menatap ke arah meja Reyn mengiba. Tatapan tajam mereka berikan kepada Reyn..
"Aku harus gimana lagi biar kamu balas cinta aku? Meskipun tiga tahun lalu kamu sudah mempermalukan aku di depan keluargaku, aku masih mencintai kamu. Bahkan aku masih mengejar kamu padahal keluarga aku sendiri sudah melarang dan menentang. Butuh effort seperti apa lagi, Reyn?"
Bisik-bisik tetangga sudah mulai dapat Reyn dengar. Semuanya mulai memojokannya.
"Aku ingin menemani kamu menghadapi penyakit mematikan yang kamu derita. Aku ingin menemani kamu di sisa-sisa u--"
"CUKUP, KAK!"
Dada Reyn sudah turun naik mendengar ucapan Langit. Rahasia yang dia simpan rapat, malah dibongkar oleh mulut lemes lelaki yang mengaku mencintainya di depan para karyawan Wiguna Grup. Matanya sudah memerah menahan marah dan tangis.
"Apa belum cukup tiga tahun lalu aku diserang oleh semua orang? Dan sekarang Kak Langit kembali menggiring orang-orang untuk menghujat aku karena sebuah rasa yang tak terbalaskan. Apa itu yang dinamakan MENCINTAI?"
Dada Reyn mulai sesak. Pandangannya mulai berbayang. Dia memilih untuk pergi dengan terus memegang dadanya. Baru beberapa langkah, tubuh Reyn limbung.
"Reyn!"
Langit berteriak dan hendak berlari. Namun, dia kalah sigap oleh Rega. Dia sudah menangkap tubuh Reyn dan menggendongnya keluar dari restoran. Setelah memasangkan seatbelt pada tubuh Reyn, Rega menatap perempuan yang sangat dia cintai dengan penuh kecemasan.
"Kita ke rumah sakit."
Reyn yang lemah menggeleng. Rega menggenggam tangan Reyn dengan pandangan masih tertuju padanya.
"Aku akan mengupayakan apa saja yang akan membuat kamu sembuh. Aku janji aku akan tetap berada di samping kamu meskipun kamu menolak kehadiranku. Aku sungguh sangat mencintai kamu, Reyn."
Bulir bening pun akhirnya menetes di ujung mata Reyn. Setelah sekian lama dia menahannya, akhirnya luruh juga mendengar kalimat yang begitu menyentuh hatinya. Tanpa Reyn duga, Rega mengecup keningnya dengan begitu dalam. Juga menyeka ujung mata Reyn dengan ibu jarinya.
"Reyn Salqa Ranendra mengidap penyakit Aritmia jantung kronis. Di mana nenek dan ibunya pernah memiliki riwayat penyakit itu Detak Jantung Reyn lebih cepat dari manusia normal dan itu sangat berbahaya dan bisa berakibat fatal, yaitu menyebabkan kematian. Dia juga pernah mengalami koma dan kritis, dan pada saat itu dokter sudah menjatuhkan vonis bahwasannya usia Reyn hanya akan bertahan paling lama tiga tahun setelah tersadar. Sekarang, menurut hitungan dokter sisa umur Reyn kurang dari satu tahun."
...*** BERSAMBUNG ***...
Tembus 50 komen up lagi. Tapi, jangan spam komen.