Nasib memang tidak bisa di tebak. ayah pergi di saat kami masih butuh perlindungannya. Di tengah badai ekonomi yang melanda, Datang Sigit menawarkan pertolongan nya. hingga saat dia mengajakku menikah tidak ada alasan untuk menolaknya.
. pada awalnya aku pikir aku sangat beruntung bersuamikan pria itu.. dia baik, penyayang dan idak pelit.
Tapi satu yang tidak bisa aku mengerti, bayang-bayang keluarganya tidak bisa lepas dari kehidupannya walaupun dia sudah membina keluarga baru dengan ku.
Semua yang menyangkut keluarga harus di diskusikan dengan orang tuanya.
janji untuk membiayai adik-adik ku hanya omong kosong belaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon balqis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Walau sedikit lelah, aku benar-benar menikmati kesibukanku menjadi relawan untuk warga kampungku sendiri.
Bersama beberapa tenaga relawan termasuk Sofia kami bahu membahu melayani masyarakat yang mau berobat.
"Bagaimana? kira-kira sudah semua sasaran kita hadir?" tanya Dokter Agam menyambangi meja tempatku duduk bersama Sofia.
"Sudah tujuh puluh lima persen, Dok." jawab Sofia yang aku iya kan.
"Kalau begitu kita break dulu istirahat." ucap dokter itu sambil melihat jam tangannya.
Kami menikmati nasi bungkus yang di sediakan panitia kampung. Suasana kekeluargaan di penuhi kegembiraan.
Entah kebetulan atau tidak, Aku kebagian kursi di dekat dokter Agam.
Sofia yang dari semula sering menjodohkan ku dengannya tak hentinya melirik ku dengan senyumnya. Aku jadi gelisah.
Tapi dokter itu terlihat biasa saja. Dia santai dan bersahaja.
"May, kau tidak menghabiskan makanan mu, tidak enak, ya?" dengan menatapku dengan mata jernihnya.
"Bukan begitu, enak kok." jawabku gugup.
"Mana bisa dia makan dengan tenang kalau di samping Dokter.." celetuk Sofia. Rasanya aku ingin menjitak kepalanya keras-keras saat itu karena kesalnya. Bisa-bisa nya dia menggodaku di depan orang ya langsung.
Dokter Agam hanya tersenyum.
tapi wajahku memanas karena malu.
"Tuh, lihat.. Wajahnya seperti kepiting rebus." timpal Sofia lagi. Kali ini aku tidak bisa memaafkannya. Aku menumpuknya dengan gelas Aqua di dekatku. Tapi sayangnya tidak kena.
Dia malah berlari meninggalkan ku berdua saja dengan dokter itu. Mau ikut pergi, tidak enak padahal. Mau tetap diam aku jadi salah tingkah di depannya.
"Tidak usah di ambil hati. Biasalah bercanda biar otak tidak terlalu tegang." ucap dokter itu tersenyum sembari bertanya,
"Oh ya, bagaimana kabar anak mu?"
Aku menarik nafas lega karena dia mengalihkan pembicaraan.
"Baik, Dok. Dia sudah benar-benar sehat." jawabku mulai tenang.
"Suami mu?"
Aku tertegun. Tidak menyangka dia akan bertanya tentang mas Sigit.
"Jujur saya tidak tau kabarnya sekarang. Kami tidak ada berkomunikasi lagi."
Dia melihatku dengan tatapan yang sulit di artikan.
"Ok, baiklah.. Aku mau melihat-lihat keadaan yang lain. Kau lanjutkan saja istirahat." dia bangkit dari tempat duduknya.
Aku pikir dia akan membahas hal itu panjang lebar. tapi tidak, dia langsung pergi begitu saja.
"Apa yang kau pikirkan, May? Siapa dia harus perduli pada masalah mu?"" aku menepuk pipiku beberapa kali. Kenapa aku berharap lebih? Ini tidak boleh berlanjut. Dia baik kepada semua orang bukan kepada orang tertentu saja.
Setelah cukup istirahat, kami mulai bekerja kembali. Tapi yang membuat aku kaget, Mas Sigit sambil menuntun Rani. Kenapa dia harus datang juga.
Aku kaget, diapun terlihat kaget.
"Mau, kau disini?"
Aku hannya menatapnya sekilas.
"Aku mau ke belakang sebentar. Sof, tolong g kau yang catat, ya..!" ucapku sembari meninggalkan meja ku.
Mas Sigit mengikuti kepergian ku dengan pandangan matanya.
Kebelet pipis hanyalah alasanku untuk menghindar dari mereka. Bagaimanapun aku merasa tidak suka dengan kebersamaan mereka. Selain itu aku tidak mau ada keributan yang mengundang perhatian orang banyak.
Di bagian belakang balai kampung. Aku duduk sendiri. Aku tidak tau yang terjadi di depan.
Sementara itu di depan...
"Mas, siapa yang berobat?"
Tanya Sofia dengan sopan.
Sigit masih mencari-cari keberadaan May dengan matanya sampai dia tidak menyadari pertanyaan Sofia.
"Tentu saja aku, kau tidak lihat keadaan ku?" Rani yang menjawab.
Setelah mencatat datanya.
Sofia mempersilahkan mereka duduk.
"Tunggu di panggil, ya Mba.."
Rani menarik tangan Sigit untuk duduk.
Pria itu menurut seperti kerbau di cocok hidungnya.
Saat itu dokter Agam lewat
tanpa sungkan Rani langsung memanggilnya.
"Eh, ternyata kau datang juga. Dengan siapa?"
"Dengan mas Sigit." jawab Rani tanpa malu.
Dokter Agam menghela nafas berat.
Sungguh orang-orang yang tidak punya urat malu. Pikirnya.
Mata Sigit terus liar mencari keberadaan istrinya. tapi tidak di temukannya.
Sat menyadari ada Dokter Agam yang sedang menatapnya, dia memandang sinis.
"Kalau tau dia ikut juga dalam kegiatan ini aku tidak akan mau datang..!" dengusnya kepada Rani.
"Ayolah, Mas. Kita sudah disini. Dokter ini orang ramah dan pintar." ucap Rani tersenyum.
"Pintar merayu bini orang..!" ketus Sigit.
"Maaf, disini hanya melayani orang dengan keluhan penyakit fisik. Kalau ada yang punya penyakit hati, tolong minggir dulu." jawab Dokter Agam telak. Dia tidak bisa menahan kesabaran lagi oleh sikap arogan Sigit.
Rani menggerutu kesal
dia mengajak Sigit agak menyingkir dari keramaian.
"Mas, kau Kenapa marah-marah pada pak Dokter? Kau cemburu karena May, dekat dengannya. iya, kan? Kau masih suka padanya?" tanya Rani dengan tegas.
"Tidak..! Aku hanya kesal saja." jawabnya tak kalah tegas.
Tapi matanya memancarkan api cemburu kepada dokter Agam.
"Kau bohong, Mas. Itu namanya kau masih punya perasaan pada May." ucap Rani dengan wajah kecewa.
Sigit langsung mengibaskan tangannya dan meninggalkan tempat itu. Dia tidak perduli dengan pandangan heran orang-orang dan teriakan Rani yang memintanya kembali.
Tak sengaja dia berpapasan dengan May yang baru keluar.
Saat aku keluar. Tak sengaja menabrak mas Sigit yang berjalan cepat meninggalkan tempat itu.
Kami saling bertatapan sejenak.
"Kau berubah, May. Kau semakin jauh dariku." ucapnya sendu.
"Sudahlah, Mas. Aku capek setiap bertemu kita selalu membahas hal yang sama lagi.
Karena kau tetap pada pendirianmu dan aku juga begitu." ucapku dengan wajah tegak.
"Aku tidak mau semua ini, aku mau kita kembali seperti dulu lagi." dia mengusap matanya yang merah.
Kemudian dia menggeleng.
"Semua berubah sejak kehadiran dokter itu. kau mulai berani membantah setiap ucapanku. Semua gara-gara dokter itu."
Saat itu aku sudah membenarkan tuduhannya dengan harapan dia tidak lagi mengungkit hal itu. Tepi kali ini terulang kembali.
"Ya, kau benar as ku dan dokter itu punya hubungan spesial. Hebat, kan aku? hanya seorang wanita kampungan tapi bisa meluluhkan hati seorang dokter. karena itu, lepaskan aku. Kau juga bebas melanjutkan hubungan hidupmu dengan Rani." ucapku berapi-api.
Niat hati hanya ingin membuatnya panas. Eh, malah jadi bumerang buatku.
Apa yang aku ucapkan barusan di dengar oleh Dokter Agam yang sudah berdiri di belakang ku. pria itu ikut terpaku di tempatnya.
Aku di penuhi rasa bersalah yang sangat padanya.
Mas Sigit benar-benar menangis mendengar pengakuanku.
"Kau tega, May. Apa kurangnya cintaku. bahkan kau tau kalau aku hanya mencintai mu saja." dia menggoncang lenganku.
"Sudahlah, Mas. Semua sudah basi. Lagi pula bukankah kau akan menikahi Rani sebagai bentuk tanggung jawabmu sebagai abangnya Didit? Ceraikan aku lalu kau menikah..!" puas rasanya menumpahkan uneg-uneg di kepalaku. Sampai aku lupa kalau ada Dokter Agam di antara kami.
"Itu bukan mauku, May. Itu rencana mereka."
"Rencana mereka, tapi kau tidak bisa menolak. Sama saja boong, Mas." aku hendak meninggalkan tempat itu tapi tangan ku di tahannya.
Aku menatapnya geram.
"Aku tidak akan pernah membiarkan kalian bersama. Lihat saja apa yang akan aku lakukan." ucapnya mengancam ku.
Tiba-tiba dokter Agam melepas cengkraman tangan mas Sigit.
"Kalau anda seorang laki-laki, bersikaplah seperti seorang laki-laki juga. jangan pernah menyakiti wanita." kini mereka berhadap- hadapan.
"Oh, rupanya selingkuhan mu ini sudah mulai jadi jagoan di kampung kami..." ucap mas Sigit sinis. Aku berusaha melerai tapi mereka tidak mengindahkan diriku. Untuk tempat itu agak sepi.
"Maaf, aku memang tidak berhak ikut campur. tapi kau sudah kelewat batas. Aku tidak bisa melihat wanita di sakiti di depan mataku." jawab pria itu dengan jantan nya. Postur tubuhnya memang sama dengan mas Sigit. mereka terlihat sepadan.
Do saat yang sama, Rani datang dan menghadang dokter Agam.
"Apa-apaan ini? Kau berantem gara-gara wanita itu, malu, Mas." Rani berdecih di hadapanku.
"Tolong bawa calon suaminya mu. Aku tidak selera meladeni orang pemarah seperti dia." ucap dokter Agam santai. Mas Sigit berusaha meronta dari dekapan Rani.
"Iya,Dok. Saya akan membawanya pulang." Jawab Rani.
Mereka masih terlihAt berdebat sambil jalan. Aku tidak perduli. Yang aku pikirkan bagaimana mempertanggung jawabkan perkataan ku terhadap dokter Agam.