Ketika cinta harus terpatahkan oleh maut, hati Ryan dipenuhi oleh rasa kalut. Dia baru menyadari perasaannya dan merasa menyesal setelah kehilangan kekasihnya. Ryan pun membuat permohonan, andai semuanya bisa terulang ....
Keajaiban pun berlaku. Sebuah kecelakaan membuat lelaki itu bisa kembali ke masa lalu. Seperti dejavu, lalu Ryan berpikir jika dirinya harus melakukan sesuatu. Mungkin dia bisa mengubah takdir kematian kekasihnya itu.
Akan tetapi, hal itu tak semudah membalikkan telapak tangan, lalu bagaimanakah kisah perjuangan Ryan untuk mengubah keadaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon amih_amy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9. Membuat Bahagia
...----------------...
"Hai, kita ketemu lagi."
Rara yang terkesiap langsung menoleh ke asal suara. Namun, gadis itu harus terkesiap untuk kedua kalinya ketika melihat siapa yang menyapa.
"Lo? Kenapa lo ada di sini?"
Tubuh Rara sampai mundur beberapa langkah hingga terbentur pintu saking tidak percaya dengan siapa dia berbicara. Laki-laki yang sudah mengacaukan acara perlombaannya kini tengah berdiri di depan rumah sambil membawa secangkir teh di tangannya. Ya, lelaki itu adalah Ryan Alexander yang kini menjadi tetangga Rara.
"Aku ...."
Suara Ryan terpotong oleh suara pintu yang terbuka. Salma keluar dari dalam rumahnya sambil membawa plastik sampah. Perempuan paruh baya itu hendak membuang sampah di tempat yang semestinya.
"Eh, Ra. Kamu baru pulang?"
"B—Bu, kenapa dia ada di sini, Bu?" Bukannya menjawab pertanyaan sang ibu, Rara malah balik bertanya dengan gagap. Sepertinya rasa terkejut membuat gadis itu tidak bisa berpikir sehat.
Salma menoleh kepada Ryan yang sedari tadi memasang senyuman. "Oh, iya. Ibu kenalkan sama kamu, ini Nak Ryan. Dia penghuni baru rumah kontrakan kita. Penghuni lama kan udah pindah," ucap Salma memberitahu.
Rara terkejut tentu saja. Kebetulan macam apa ini? Lelaki asing yang tiba-tiba datang lalu memeluk dan menganggapnya sebagai kekasih, kini tinggal di sebelah rumahnya sendiri.
"Ikut aku, Bu. Aku mau ngomong."
Rara menarik lengan ibunya menjauh dari Ryan, lalu berkata pelan, "Ibu jangan asal nerima penghuni kontrakan kita gitu aja, dong. Ibu tahu nggak asal dia dari mana? Gimana orangnya terus pekerjaannya apa? Jangan-jangan dia teroris atau orang jahat. Tuh, lihat mobilnya aja bagus! Masa dia mau tinggal di rumah kontrakan kita yang sederhana. Orang itu pasti punya motif tersembunyi. Ibu harus hati-hati!"
Salma bergeming sejenak sambil menengok ke arah Ryan. Irisnya memindai lelaki itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. Menurutnya tidak ada yang aneh. Lelaki itu tampan dan bersikap sopan.
"Sepertinya dia baik. Katanya mobil itu milik kakak sepupunya yang dipinjamkan. Kakak sepupunya kaya, mobilnya dua," ujar Salma dengan nada pelan juga. Ryan memang sudah menjelaskan sebelumnya.
"Ah, Ibu nggak boleh langsung percaya gitu aja. Kalau memang sepupunya kaya, kenapa dia nggak tinggal di rumah sepupunya itu."
"Mungkin dia mau mandiri. Itu urusan dia, kenapa kamu harus peduli, sih?"
Rara pun menghela napas kasar, sedangkan Ryan hanya bisa menatap heran. Tentu saja dia tidak bisa mendengar.
"Dia juga mengikuti prosedur sebagai penyewa rumah yang baik dengan membawa fotocopy Kartu Keluarga, KTP, dan Kartu Mahasiswa. Dia anak baik-baik, Rara!" seru Salma lagi mengkukuhkan keyakinannya terhadap Ryan.
"Tapi memangnya Ibu nggak ngerasa aneh dia langsung pindah hari ini, padahal penghuni lama baru saja keluar hari ini juga. Dia pasti sudah memata-matai kita."
Kata-kata itu sukses membuat Rara mendapatkan pukulan di keningnya dari sang ibu. Rara pun mendesis kesakitan sambil mengusap keningnya itu.
"Kamu itu terlalu banyak nonton film Detektif Conan. Makanya otak kamu penuh dengan rencana kejahatan. Dia itu anak kuliahan yang berasal dari luar kota. Makanya perlu ngontrak rumah. Kebetulan pas penghuni lama pindah, dia lagi nyari kontrakan di sekitar sini. Jangan mikir macam-macam!"
"Tapi, Bu ... Rara punya firasat buruk tentang dia. Kemarin dia—"
Meong!
Suara kucing yang tertutup kain digendongan Rara memotong perkataan Rara sekaligus menyita perhatian Salma. Perempuan paruh baya yang takut binatang mamalia berbulu halus itu langsung menjerit ketakutan dan refleks melemparkan kantong sampah yang dia pegang ke tubuh anaknya. Alhasil, pakaian gadis itu jadi kotor semua.
"Aaaah! Kenapa kamu bawa kucing ke rumah!" teriak Salma yang kini berlindung di belakang tubuh Ryan. Lelaki itu ikut terkejut dan langsung berlari mendekati Salma dan anaknya.
"Ehm ... itu ...." Rara bingung mau beralasan apa. Gara-gara ada Ryan di sana, gadis itu jadi lupa dengan kucing yang dia bawa.
"Buang, nggak?"
"Janganlah, Bu! Kasian." Rara menyembunyikan anak kucing tersebut di belakang tubuhnya.
"Tapi ibu nggak suka kucing."
"Aku tahu, tapi kasian anak kucingnya, kakinya luka. Izinkan aku obati dia dulu, ya, Bu. Please ...."
Rara memasang wajah memelas pada ibunya. Namun, hal itu malah jadi pemandangan indah bagi Ryan. Sesaat pandangan lelaki itu terkunci tanpa berkedip. Kenapa wajah pujaan hatinya itu terlihat imut sekali. Ryan jadi tambah jatuh hati.
Dipandang sedemikian rupa oleh Ryan membuat Rara jadi salah tingkah. Ia mendengkus lalu memasang wajah ketus. "Apa, sih, lihat-lihat kayak gitu!"
Ryan tersentak dan sedikit malu. Ia merespon hanya dengan melengkungkan bibirnya sedikit saja. Lelaki itu tidak bisa pergi karena tubuhnya masih menjadi tembok perlindungan Salma.
"Buang kucingnya, Rara!"
Fokus Rara kembali pada ibunya yang mengomel lagi. "Jangan, Bu! Aku jamin dia nggak bakalan gangguin Ibu, kok. Dia akan tinggal di kamar aku. Aku akan jaga dia dengan baik. Oke."
"Memangnya dia ngerti! Kalau kamu sekolah, siapa yang jaga dia? Kucing itu pasti akan berkeliaran sembarangan di dalam rumah. Kamar kamu, kan, kecil. Dia nggak mungkin betah."
Rara tersenyum hambar. Dia juga tidak yakin kucing itu tidak akan ke mana-mana. Apalagi Rara sibuk sekolah. Perkataan ibunya juga tidak ada yang salah.
"Tuh, kan. Kamu aja nggak yakin gitu. Pokoknya ibu nggak mau tahu. Kamu harus buang kucing itu! Kalau nggak, kamu juga nggak boleh masuk ke rumah!"
Sepertinya Salma tidak main-main dengan ancamannya. Rara pun meneguk saliva dan tak bisa berkata apa-apa. Faktanya, dia masih butuh tempat tinggal dan tidak mau diusir dari sana.
"Ehm ... gimana kalau kucing itu tinggal di kontrakan aku aja selama Rara sekolah? Aku kan tinggal sendiri. Jadi kucing itu bisa leluasa ke sana ke mari di dalam rumah itu."
Perkataan Ryan membuat perdebatan Rara dan Salma sedikit meredam. Keduanya tampak bergeming seperti berpikir.
"Aku setuju." Rara yang berkata seperti itu tanpa ragu. Untuk sementara, dia mengesampingkan masalahnya dengan Ryan. Yang penting kucing itu bisa terselamatkan.
"Gimana, Bu?" tanya Ryan kepada Salma.
Salma berpikir sejenak lalu menghela napas kasar. Jika dipikir-pikir, kucing itu memang kasihan. Anaknya tidak salah karena mempunyai jiwa sosial. Dia merasa seperti orang jahat jika melarang sang putri untuk berbuat baik kepada hewan.
"Nanti kalau Nak Ryan mau pergi juga gimana sama kucingnya? Dikunci dari luar?" Salma memastikan lagi.
"Iya, Ibu tenang aja! Kucing itu termasuk hewan yang mandiri, kok, walaupun dikurung di dalam rumah. Yang penting semua yang dia butuhkan sudah disediakan. Lagipula dia lagi sakit, kan? Nggak mungkin banyak bergerak ke sana ke mari. Kucing itu nurut, kok, Bu. Kalau kita selalu kasih pencerahan, dia bisa ngerti."
Rara sejenak tertegun mendengar penjelasan Ryan. Sedikit tidak menyangka jika lelaki kurang ajar itu begitu paham bagaimana cara merawat hewan kesayangan. Hatinya jadi penasaran, apakah lelaki itu juga penyayang binatang?
"Baiklah. Untuk sementara ibu percaya. Kucing itu boleh tinggal di sini. Tapi ingat, kamu nggak boleh lupa nyiapin keperluan dia sebelum nitip di rumah sebelah! Kamu nggak boleh merepotkan Nak Ryan. Dia bayar di sini untuk mengontrak rumah, bukan untuk merawat kucing juga."
"Siap, Komandan!" Rara begitu senang mendengar ibunya memberikan izin untuk merawat kucing. Selama ini dia tidak pernah punya kesempatan untuk itu. "Makasih, ya, Bu," imbuhnya sedikit merayu. Ryan yang melihatnya hanya tersenyum lucu.
Sang ibu tidak menanggapinya. Ia bergegas masuk ke rumah. Namun, sebelumnya dia berkata, "Beresin sampahnya!"
Rara berjingkrak kegirangan sambil memeluk anak kucing yang kedinginan. Tak peduli dengan sampah yang berserakan.
"Sssttt ... sssttt ... kamu nggak ada niat buat ngucapin terima kasih sama aku gitu?" Setelah Salma masuk ke rumah, Ryan berkata pelan sambil mendekatkan kepalanya ke wajah Rara. Tentu saja membuat perempuan itu terkejut luar biasa lalu berdecak setelahnya.
"Ck, terima kasih buat apa? Harus lo yang terima kasih sama gue karena nggak bilang sama ibu gue, kalau lo itu orang messum yang suka meluk-meluk orang asing kayak kemarin. Kalau gue bilang, lo pasti langsung diusir!"
Rara langsung meninggalkan Ryan setelah berkata demikian. Gadis itu lupa jika sampahnya belum dibersihkan. Kening Ryan mengernyit dalam lalu tersenyum sambil menggelengkan kepalanya melihat tingkah Rara.
Ryan baru tahu ternyata Rara mempunyai sisi seperti itu. Dahulu, perempuan itu selalu bersikap manis kepadanya. Bahkan Rara selalu ingin terlihat sempurna di mata Ryan. Namun, entah kenapa melihat sikap Rara yang sekarang membuat hati Ryan terasa lebih menyenangkan.
Pandangan Ryan pun beralih pada sampah yang ditinggalkan oleh Rara. Lelaki itu menghela napas sebelum berjongkok dan memasukkan sampah yang berserakan ke dalam kantongnya lagi. Ryan tidak keberatan melakukan apa pun hanya untuk Rara. Baginya, misi di kehidupan kedua ini adalah membuat Rara bahagia.
...----------------...
...To be continued .......
ngimpi ga tuh
disitulah mulai ga sadar senyum sendiri 🤣🤣🤣
ga berasa baca teh 😁
ko tau
ya tau dong
masa engga 😅😅😅
drama indihe meregehese 🤣🤣🤣
ada yang panas
tapi bukan seblak 😅😅😅
ryan pk helikopter emang ?