Kehidupan Agnia pada awalnya dipenuhi rasa bahagia. Kasih sayang dari keluarga angkatnya begitu melimpah. Sampai akhirnya dia tahu, jika selama ini kasih sayang yang ia dapatkan hanya sebuah kepalsuan.
Kejadian tidak terduga yang menorehkan luka berhasil membuatnya bertemu dengan dua hal yang membawa perubahan dalam hidupnya.
Kehadiran Abian yang ternyata berhasil membawa arti tersendiri dalam hati Agnia, hingga sosok Kaivan yang memiliki obsesi terhadapnya.
Ini bukan hanya tentang Agnia, tapi juga dua pria yang sama-sama terlibat dalam kisah hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _Sri.R06, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengakuan Abian
“Kenapa tidak ada yang mengabariku tentang ini?! Siapa yang mengizinkannya?!”
“I—itu … Tuan ….” Wanita muda itu tergagap, bingung bagaimana harus menjelaskan.
“Pergi!”
Abian mengacak rambutnya frustasi, terakhir menjatuhkan tubuhnya yang terasa lelah di sofa dengan keras. Pikirannya berkecamuk begitu rumit di dalam sana.
Dadanya begitu panas, perasaan itu begitu tidak nyaman. Abian memikirkan banyak hal, hingga pada kemungkinan kepergian Agnia dari rumah ini.
Saat Abian pulang dari perusahaannya, pria itu sudah tidak menemukan Agnia di manapun. Dia mencari ke semua tempat. Namun, bahkan setelah mencari di kamar Agnia, semuanya seolah menghilang tanpa jejak. Wanita itu, termasuk semua barang miliknya.
Tiba-tiba saja perasaan kehilangan itu begitu menakutinya. Abian hendak mencari ke luar, namun saat seorang pelayan melewatinya Abian langsung menghentikan pelayan itu. Barulah saat itu dia menemukan kenyataan jika Agnia telah memutuskan untuk pergi dari rumahnya.
Padahal, baru kemarin mereka terlihat baik-baik saja. Abian tidak mengerti alasan kepergian wanita itu.
Abian mengusap wajahnya dengan kasar, helaan napasnya terdengar berat. “Ke mana kamu pergi sebenarnya, Agnia?” Abian bergumam, bersamaan dengan kelopak matanya yang tertutup saat punggung itu bersandar pada bantalan sofa dengan perlahan.
“Mama!” Bersamaan dengan itu Abian membuka matanya seketika. Benar, mungkin … mamanya memiliki jawaban dari semua yang terjadi saat ini. Terlebih, terakhir kali ibunya juga ingin bertemu dengan Agnia. Saat itu mereka pasti membicarakan sesuatu.
Jadi dengan itu, Abian segera bangkit dari duduknya. Terlebih dulu bertanya pada pelayan yang berada di kediaman, setelah mengetahui keberadaan sang Mama, Abian pun langsung menemuinya di tempat yang dimaksud.
***
“Sayang, ada apa? Kamu merindukan Mama?” Felicia menyambut hangat sang Putra saat menyadari kedatangan Abian ke tempatnya.
Abian sementara itu tidak menjawab, dia duduk di sofa tidak jauh dari Felicia.
“Mama tahu apa yang terjadi pada Agnia, hingga dia memutuskan untuk pergi?” Abian langsung berterus terang. Meski begitu, nada suaranya masih terdengar cukup lembut.
Saat itu Abian bisa melihat perubahan di wajah Felicia, wanita yang berstatus sebagai ibunya itu tidak lagi menunjukkan senyuman penuh kelembutannya lagi. Kini, hanya tatapan dingin dan sorot tenang di sana.
“Kenapa kamu bertanya?”
Abian menghela napas, dia memajukan tubuhnya dengan tangan yang tanpa sadar mengusap kening dengan raut wajah lelahnya.
“Kenapa Mama membiarkannya pergi?” tanya Abian dengan lembut.
Abian sudah yakin kepergian Agnia pasti berhubungan dengan mamanya. Bagaimanapun dia tidak bisa bersikap keras jika berhadapan dengan sang mama.
“Mama tidak suka saat melihat dia terus mendekatimu!” Saat mengatakannya, telapak tangan Felicia mengepal.
“Ma!” Abian nyaris tidak bisa menahan diri. “Kami tidak memiliki hubungan apapun. Agnia juga tidak pernah mendekatiku.” Abian mencoba memberi penjelasan.
Namun mendengar itu, Felicia menatap mata putranya begitu nyalang. “Kamu berusaha melindunginya?!” Nada suara wanita itu meninggi, punggung itu menegang dengan telapak tangan yang semakin mengepal kuat.
“Apa maksud Mama? Sedari awal, Agnia tidak pernah memiliki niat apapun terhadapku.”
“Berhenti menyebut namanya, lagi. Mama membenci wanita itu?!” teriak Felicia, seketika itu berdiri dengan telunjuk yang mengarah tepat pada Abian.
Abian tersentak. Ini pertama kalinya Mamanya semarah itu. Karena itu, dia tidak bisa untuk tidak bertanya-tanya alasan dari kemarahan Felicia.
“Sebenarnya ada apa? Kenapa Mama begitu membenci Agnia, dia adalah wanita yang baik, Ma,” kata Abian.
“Wanita yang baik?” Felicia menatap sinis, bibirnya tersenyum meremehkan. “Wanita baik seperti apa yang membiarkan seorang pria dewasa datang ke kamarnya di malam hari?!”
Abian seketika itu tertegun. Keningnya berkerut dalam. “Apa?”
Felicia mengangguk beberapa kali, dia mengambil ponselnya yang ada di atas meja. Wanita itu tampak menggerakkan jarinya di layar itu. Kemudian saat menemukan apa yang dia cari, ponselnya sudah berada tepat di depan wajah Abian dengan gambar yang begitu Abian kenali.
Itu … adalah gambar Abian sendiri. Dan, itu adalah saat Abian keluar dari kamar Agnia, pada malam saat Agnia mengalami sakit akibat datang bulan.
Sial! Ternyata dia yang telah menyebabkan masalah untuk Agnia. Tanpa sadar, rasa sakit di rongga dadanya kian terasa.
“Mama telah salah paham!” Abian jelas membantah.
“Lalu, apa yang bisa kamu jelaskan dari poto ini?!” Dagu Felicia terangkat, matanya sudah memerah dengan kilatan amarah di sana.
Abian seketika itu berdiri. Dia mendekati Felicia, meraih kedua bahu rapuh wanita itu dengan lembut. “Mama bisa percaya Abian? Tidak ada yang terjadi malam itu?” jelas Abian dengan suara pelan, berharap ibunya bisa mengerti.
Bola mata Felicia tampak bergetar, ada genangan air mata di pelupuk matanya. Tubuhnya perlahan melemas, seketika itu menjatuhkan diri di atas sofa dengan perasaan berkecamuk.
Abian menghela napas, melihat mamanya tampak diliputi kebingungan dia mengikuti Felicia lalu kembali duduk di atas sofa.
Felicia tampak menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Perlahan kedua bahunya mulai bergetar, membuat Abian dirundung perasaan bersalah.
“Lalu … lalu kenapa …,” kata Felicia tersendat, bahkan tidak sanggup melanjutkan perkataannya.
Dia hanya takut, begitu takut jika putranya telah melakukan kesalahan. Selama ini dia bisa mentolerir keberadaan Agnia di rumah ini, terlebih saat melihat Agnia tidak segan untuk membantu melakukan banyak pekerjaan.
Ya, selama ini Felicia sering memperhatikan Agnia. Dan, sejauh ini kesan Felicia menjadi cukup baik pada Agnia. Namun saat Shena mengirimkan poto Abian yang keluar dari kamar Agnia di malam hari, membuat Felicia tidak bisa berpikir jernih.
Hanya saja saat itu, dia selalu berkata pada dirinya sendiri jika Agnia yang bersalah. Wanita itu yang memiliki niat jahat hingga bisa merayu putranya hingga bisa melakukan segala hal untuk Agnia. Dan itu sudah cukup hingga pada keputusan terakhirnya membawa Felicia pada keyakinan untuk mengusir Agnia pergi dari Kediaman Bellamy.
Biar saja, selama putranya bisa terlepas dari Agnia. Felicia bisa menjadi lebih tenang.
Abian tanpa sadar mengepalkan jemari tangannya, dia merasa marah pada dirinya sendiri. Kini bukan hanya Agnia yang Abian sakiti, melainkan Felicia—ibunya sendiri telah Abian kecewakan.
“Ma kejadiannya tidak seperti apa yang Mama pikirkan,” kata Abian. “Saat itu ….” Kemudian Abian mulai menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
Semuanya, tanpa terlewat sedikitpun. Mulai dari Agnia yang pernah meminta bantuan untuk dicarikan tempat tinggal, hingga Agnia yang mengalami sakit perut karena datang bulan, yang membuat Abian mendatangi wanita itu di kamarnya. Namun saat itu dia juga bilang jika Abian hanya sebentar di kamar Agnia hanya untuk melihat kondisi wanita itu.
“Abian sungguh tidak melakukan apapun. Abian hanya mengkhawatirkan Agnia,” kata Abian, sorot matanya begitu teduh dengan kesungguhan dalam tatapan matanya.
Abian dapat melihat perubahan di raut wajah sang Mama setiap Abian menceritakan kebenarannya. Begitu rumit, Abian tidak bisa menebak apa yang dipikirkan mamanya itu.
“Memang lebih baik Agnia pergi. Mama harap, kamu tidak pernah mencarinya lagi!” peringat Felicia.
Abian seketika itu tercengang. Dia menatap begitu lama pada mata sang Mama. “Abian … tidak bisa,” ujarnya kemudian, bertepatan dengan putusnya kontak mata antara ibu dan anak itu.
“Abian, kamu!”
“Abian menyukainya, Ma,” katanya dengan nada suara yang terdengar lemah, seolah setiap harapan dan semangatnya nyaris hilang bertepatan dengan perginya Agnia dari rumah ini.
***
Di sebuah ruangan dengan gema musik yang terdengar, pria itu, Kaivan tampak baru saja menyesap minuman beralkohol di tangannya.
Matanya sesekali akan menatap tajam pada beberapa wanita yang datang untuk melayaninya. Berharap bisa dekat dengan pria itu.
“Ayolah Bro, kau sungguh ingin melewatkan kesenangan ini?” Seorang pria lain dengan kemeja putih tampak berdecak, menatap Kaivan tidak percaya.
Sudah berapa wanita yang dia tolak tadi? Sayang sekali! batinnya, menatap para wanita yang sudah pergi dari ruangan VIP tempat mereka tinggal.
“Aku tidak membutuhkan mereka,” tukas Kaivan, sekali lagi menyesap minuman itu dengan pelan.
“Ada apa sebenarnya. Seperti remaja yang sedang patah hati saja!” Pria lain dengan rambut ikal tampak tertawa, dia tampak begitu menikmati atas perlakuan wanita penghibur yang diberikan pemilik Club untuk melayaninya itu.
“Benar juga. Kau tidak mungkin tergoda dengan wanita di sini, sementara kau punya seorang wanita luar biasa di sisimu?” Pria berambut ikal itu kembali berbicara dengan nada menggoda. Pria itu tahu Kaivan memiliki seorang kekasih dan jelas begitu tahu bagaimana mempesonanya wanita temannya itu.
“Kami sudah lama putus,” kata Kaivan, dengan wajah datarnya.
“Putus?! Kau serius! Kau melepaskan wanita cantik dan seksi seperti dia?!” Pria berambut ikal, tampak menyayangkan hal itu. Tidak percaya Kaivan bisa meninggalkan seorang wanita yang jelas saja diidam-idamkan oleh banyak pria.
“Diamlah Tomi!” desis Kaivan.
Tomi—pria berambut ikal itu tampak menipiskan bibir. Tidak lagi berani bersuara.
“Lalu kenapa kalian putus?”
“Kau tidak perlu tahu, Ed!”
Edrin—pria lain dengan kemeja putih itu dibuat terdiam. Namun masih mengeluarkan decakan samar yang lolos dari bibirnya.
“Oke-oke, kami tidak mengganggumu lagi.” Tomi menganggukkan kepala, kini lebih memfokuskan perhatiannya pada wanita cantik yang asik merabanya di segala tempat.
Kaivan baru saja memejamkan matanya, saat merasakan ponselnya yang berada di saku bergetar. Saat mengarahkan ponselnya di telinga dengan gerakan malas, dalam beberapa menit setelah mendengarkan apa yang dikatakan orang dari seberang telpon, kelopak mata itu mulai bergerak terbuka, bersamaan dengan itu sudut bibirnya tertarik ke atas.
Tomi dan Edrin yang juga melihat itu mendadak ngeri dengan sikap Kaivan yang berubah tiba-tiba.
“Tetap awasi dia. Namun, jangan biarkan kucing kecilku mengetahui keberadaanmu yang mengikutinya. Jangan membuatnya ketakutan!” Kaivan mematikan ponselnya. Di menyesap minuman terakhir di gelas miliknya hingga tak tersisa. Matanya seolah menerawang jauh, bibirnya tak berhenti menunjukkan seringaian menyeramkan.
Melihat perubahan Kaivan itu sebenarnya Edrin dapat menebak satu hal. Terlebih setelah mendengar apa yang Kaivan katakan sebelum menutup telepon seolah mengkonfirmasi tebakannya.
“Apa kau sedang mengejar seseorang?” tanyanya, mencoba memastikan.
“Aku tidak mengejarnya, tapi dia yang akan datang kepadaku,” kata Kaivan, penuh percaya diri.
Mendengar itu Tomi tidak bisa untuk tidak ikut berbicara. Dia yang adalah seorang playboy dengan baik hati memberikan trik-trik kecil yang sering sekali dia gunakan untuk menjerat para wanita.
“Kau tidak bisa menjadi pemaksa, Kawan. Terkadang, wanita harus merasa diberikan kasih sayang dengan ketulusan baru dia akan mendekat dengan suka rela.”
Namun, ini adalah Kaivan yang dimaksud. Jelas dia tidak menerima saran dari orang lain, apalagi dari tomi.
“Aku bisa mendapatkannya dengan cara apapun.” Kaivan menyandarkan punggungnya di kepala sofa. Lantas melanjutkan, “Selama aku bersedia, dia akan menjadi milikku,” ujarnya, dengan sudut bibir yang terangkat.