Lahir di sebuah keluarga yang terkenal akan keahlian berpedangnya, Kaivorn tak memiliki bakat untuk bertarung sama sekali.
Suatu malam, saat sedang dalam pelarian dari sekelompok assassin yang mengincar nyawanya, Kaivorn terdesak hingga hampir mati.
Ketika dia akhirnya pasrah dan sudah menerima kematiannya, sebuah suara bersamaan dengan layar biru transparan tiba-tiba muncul di hadapannya.
[Ding..!! Sistem telah di bangkitkan!]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bayu Aji Saputra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pasar Gelap
Mereka bertiga melangkah masuk ke dalam penginapan, pintu kayu tebal yang sedikit berderit saat dibuka memancarkan aroma khas kayu tua yang bercampur dengan bau alkohol dan makanan hangat.
Ruangan itu remang, diterangi oleh beberapa lentera yang tergantung di dinding.
Interiornya sederhana namun nyaman, dengan meja-meja kayu yang tersebar di seluruh ruangan.
Di sudut, sebuah perapian besar memancarkan cahaya merah yang hangat, melawan dinginnya malam yang menggigit dari luar.
Namun, suasana di dalam tiba-tiba terasa berat begitu mereka melangkah masuk.
Beberapa orang, tampak berpakaian seperti tentara bayaran dengan baju kulit usang dan senjata yang tergantung di pinggang, menghentikan obrolan mereka dan mengalihkan pandangan tajam ke arah mereka.
Mata mereka memancarkan kewaspadaan, namun ada sesuatu yang lebih dari sekedar ketertarikan—mereka memperhatikan dengan teliti, seolah-olah sedang menilai ancaman.
Di meja terdekat, seorang pria dengan bekas luka panjang di wajahnya duduk bersandar dengan ekspresi dingin.
Tangannya menggenggam gelas minum, namun matanya terpaku pada sosok Kaivorn dan Raivan yang memasuki ruangan.
Saat matanya menangkap rambut putih dan mata merah Kaivorn yang bersinar lembut di bawah cahaya perapian, ekspresi pria itu berubah.
Sekilas, terlihat rasa takut yang tertahan di balik tatapan dinginnya.
Bisikan mulai menyebar di antara beberapa meja.
Nama keluarga Vraquos tidak asing di dunia ini—sebuah keluarga Marquis yang tidak hanya memiliki kekuatan dan pengaruh, tetapi juga seni bela diri yang melegenda, terutama teknik pedang yang tak tertandingi.
Kaivorn, dengan sikapnya yang tenang melangkah masuk tanpa memedulikan tatapan-tatapan itu.
Dia mengamati sekeliling ruangan dengan hati-hati, mencoba menilai siapa saja yang mungkin berbahaya.
Sementara itu, Raivan terlihat lebih santai, meskipun dia pasti juga merasakan ketegangan yang mulai merambat di udara.
Senyum tipisnya yang khas muncul di wajahnya ketika dia melihat beberapa tentara bayaran yang menatap mereka dengan ekspresi dingin.
Calista berada di belakang mereka, sedikit merasa gugup di tengah suasana tegang ini.
Meski dia berusaha untuk tidak terlalu menarik perhatian, beberapa tatapan juga mengarah padanya, mungkin karena dia satu-satunya perempuan di antara mereka, atau mungkin karena aura misterius yang terpancar dari dirinya.
Dia menggenggam jubahnya lebih erat, berusaha menyembunyikan getaran halus di tangannya, yang masih terasa sejak kejadian di perjalanan tadi.
Mereka bertiga mendekati meja di dekat perapian yang kosong, dan Kaivorn memberi isyarat pada seorang pelayan yang tampak ketakutan namun profesional.
Tanpa banyak bicara, pelayan itu mendekat dengan cepat, menundukkan kepala sedikit, dan bertanya dengan suara pelan.
"Tuan-tuan, nona... Ada yang bisa saya siapkan untuk kalian malam ini?"
"Beberapa makanan dan kamar untuk malam ini," jawab Kaivorn singkat.
Tatapannya tak lepas dari meja tentara bayaran di sudut ruangan yang masih memperhatikan mereka dengan penuh curiga.
Pelayan itu mengangguk dan segera pergi ke dapur untuk mempersiapkan pesanan mereka.
Sementara itu, suasana di dalam penginapan masih terasa tegang.
Beberapa bisikan samar terdengar di antara para tentara bayaran.
Kaivorn dapat menangkap sepotong kalimat di antara mereka, "…dua anak dari keluarga Vraquos…"
Raivan, yang duduk dengan sikap santai, menyeringai sambil melirik tentara-tentara bayaran itu. "Mereka semua seperti tikus kecil yang ketakutan, Tuan Muda Kaivorn. Tidak perlu khawatir."
Raivan lalu menyandarkan punggungnya ke kursi dan menatap langit-langit, seolah-olah dia sudah terbiasa dengan perhatian semacam ini. "Lagipula, siapa yang tidak takut pada keluarga Vraquos."
Kaivorn mengangguk pelan, meski tidak tertawa seperti Raivan.
Kaivorn melirik ke arah Calista yang duduk di meja dengan gaun coklat kusamnya.
Mata merahnya menangkap setiap detail—tepi kain yang compang-camping, warna yang memudar, dan kesan lelah yang terpancar dari gaun pastelnya.
Dia memanggil pelayan yang baru saja kembali dengan pesanan makanan mereka.
"Bawa baju untuk wanita. Yang lebih pantas," perintahnya singkat, tetapi suaranya penuh otoritas.
Pelayan itu tampak sedikit bingung, namun segera mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut.
Tak lama setelah itu, ia kembali dengan sebuah gaun sederhana tapi elegan, terbuat dari kain yang lembut berwarna biru muda, jauh lebih baik dari apa yang dikenakan Calista sekarang.
Kaivorn menyerahkan baju itu padanya tanpa banyak bicara, hanya sebuah isyarat singkat agar dia segera menggantinya.
Calista, sedikit terkejut, menerima baju itu dengan tangan gemetar.
"Terima kasih," ucapnya lirih, meski sorot matanya penuh keraguan.
Dia tidak terbiasa dengan kebaikan seperti ini, apalagi setelah bertahun-tahun menjadi budak.
"Pergilah ganti," ujar Kaivorn, suaranya tenang namun tegas. "Kamu tidak perlu memakai yang jelek itu lagi."
Calista mengangguk dan bergegas menuju salah satu ruangan untuk berganti pakaian.
Saat ia pergi, Kaivorn menoleh ke Raivan, yang sudah selesai makan dan tampak sedikit mengantuk setelah perjalanan panjang mereka.
Raivan yang dari tadi mengamati semuanya dari kursinya, menyeringai lebar. "Tuan Muda, kau selalu tahu cara memperlakukan orang, ya?" canda Raivan.
Meski kata-katanya ringan, ada kekaguman terselubung di dalamnya.
Namun, Kaivorn tidak menanggapi candaan itu, dia hanya menatap Raivan dengan sorot mata yang serius, sesuatu yang membuat Raivan diam dan menegakkan punggungnya.
Sikap santai Raivan selalu ada, tetapi saat Kaivorn bersikap seperti itu, Raivan tahu bahwa ada hal yang lebih penting.
"Raivan, jaga Calista malam ini." ujar Kaivorn, terdengar sedikit pelan. "Ada urusan yang harus aku selesaikan, mungkin aku tidak akan kembali sampai besok."
Mata Raivan berputar sejenak, pupil merahnya memperhatikan sekitar dengan tajam.
"Tak masalah, aku bisa menangani itu." balasnya lirih. "Tapi, urusan apa yang membuatmu harus pergi malam ini? Ada masalah?" tanyanya ringan, meskipun dalam hatinya selalu ada rasa penasaran.
Kaivorn tidak menjawab pertanyaan itu. Dia hanya menatap Raivan sejenak, sebelum berkata, "Berhati-hatilah dengan Calista."
Raivan menatap Kaivorn, lalu tertawa kecil, cenderung menganggap itu sebagai lelucon.
"Dia? Berhati-hati pada gadis selemah itu?" Senyum masih melekat di wajahnya. "Kau bercanda, kan? Dia terlihat seperti bisa tertiup angin kapan saja."
Kaivorn tidak membalas senyum itu. "Aku serius," katanya, sebelum membalikkan badan dan berjalan menuju pintu keluar penginapan.
Raivan hanya mengangkat bahu dan kembali bersandar di kursinya, tetap dengan senyuman di wajahnya.
Namun, di balik sikap santainya, Raivan memiliki rasa hormat yang mendalam pada Kaivorn.
Dia tahu bahwa jika Kaivorn berbicara dengan keseriusan seperti itu, biasanya ada alasan yang kuat di baliknya.
Meskipun Raivan selalu santai, dia tidak pernah meremehkan perintah atau permintaan Kaivorn.
Sebelum Kaivorn keluar, Raivan melirik sekali lagi dan berkata dengan nada lebih serius,
"Jangan khawatir, Tuan Muda Kaivorn. Aku akan menjaganya." Ada rasa hormat dalam suaranya, meskipun disampaikan dengan cara yang santai.
Kaivorn hanya memberikan anggukan singkat sebelum melangkah keluar ke malam yang dingin, meninggalkan Raivan dan Calista di dalam penginapan yang masih terasa tegang, meski lebih tenang dari sebelumnya.
Setelah Kaivorn pergi, tak lama kemudian, Calista kembali dengan gaun barunya.
Pakaian itu meski sederhana, memberi penampilan yang sangat berbeda dari sebelumnya.
Warna biru lembut memancarkan Sisi anggunnya yang tersembunyi, dan meski masih tampak sedikit gugup, ada aura misterius yang semakin menonjol.
Raivan, yang tadinya tak terlalu memperhatikan, kini menatapnya sedikit lebih lama.
"Bagaimana rasanya memakai baju yang layak?" tanyanya dengan nada sedikit menggoda.
Calista hanya tersenyum kecil, tanpa banyak bicara.
Dia duduk kembali di tempatnya, tetap menjaga jarak, seolah tidak ingin terlalu dekat dengan siapapun di ruangan itu.
Raivan memperhatikan wanita itu dengan seksama, namun terlihat tidak memperhatikan.
Wanita itu memang tampak lemah dan rapuh, tapi kata-kata Kaivorn masih terngiang di pikirannya.
Meski Raivan menganggapnya sebagai lelucon, dia tidak sepenuhnya mengabaikannya.
Sambil menyandarkan tubuhnya lagi di kursi dan menatap langit-langit, Raivan berpikir, "Apa yang sebenarnya dilihat Tuan Muda Kaivorn dalam dirinya?"
Saat Kaivorn melangkah keluar dari penginapan, udara dingin malam menampar wajahnya dengan lembut, namun ia tetap tenang.
Langit di atas tampak gelap tanpa bintang, diselimuti awan tebal yang seakan menahan cahaya rembulan.
Ia merapikan jubah hitamnya, lalu berjalan tanpa suara menyusuri jalan sempit berbatu yang sedikit basah oleh embun.
Kaivorn tidak tergesa-gesa, langkahnya tenang tanpa beban.
Tatapannya lurus ke depan, namun matanya menangkap setiap detail dari sudut-sudut gelap, dari para pengintai yang mencoba tidak terlihat hingga bayangan yang bergerak cepat di antara gang-gang kecil.
Ia tidak menunjukkan rasa cemas atau keraguan. Sebaliknya, sikapnya begitu tenang, hampir dingin.
"Pasar gelap kota ini dikenal tersembunyi, hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki hubungan atau reputasi cukup kuat" gumam Kaivorn dalam hati, sebuah senyuman tipis muncul di wajahnya. "Namun..."
Sebelum mencapai titik pasar gelap yang terletak di area kumuh, Kaivorn berhenti di depan sebuah bangunan tua yang tampak sepi.
Matanya menatap pintu kayu yang kusam, dan tanpa suara, ia melangkah mendekat, lalu mengetuk pintu dengan irama tertentu—tiga ketukan cepat, dua ketukan pelan, dan satu ketukan tegas di akhir.
Pintu terbuka sedikit, memperlihatkan sepasang mata hitam mencurigakan yang mengintip dari celah kecil.
"Siapa kau?" tanya suara berat dari balik pintu.
"Orang yang sedang kau tunggu," jawab Kaivorn singkat, suaranya datar, namun penuh otoritas.
Dia tidak membuang waktu untuk basa-basi.
Mata di balik pintu itu terdiam sesaat, lalu suara berat itu berkata dengan nada ragu, "Aku tidak—"
"Jangan buang waktuku," potong Kaivorn sebelum orang itu selesai bicara. "Aku tahu ada yang kau cari dariku. Buka pintunya, atau aku akan membuat keputusan lebih cepat dari yang kau kira."
Ketegasan dalam suara Kaivorn membuat orang di balik pintu itu terdiam lagi.
Detik berikutnya, pintu terbuka sepenuhnya, memperlihatkan seorang pria dengan rambut kusut dan pakaian lusuh.
Meski tubuh pria itu besar dan berotot, Kaivorn bisa melihat getaran kecil di tangannya—rasa takut yang sulit disembunyikan.
Kaivorn melangkah masuk tanpa melihat pria itu lagi, seolah-olah dia hanyalah bayangan yang tak penting.
Di dalam, suasana lebih gelap, hanya diterangi oleh beberapa lentera kecil yang bergantung di dinding.
Udara di dalam terasa lebih berat, dengan bau keringat, asap tembakau, dan entah apa lagi yang mengendap di setiap sudut.
Di ruangan utama, beberapa orang duduk di meja yang penuh dengan catatan dan kertas-kertas usang.
Mereka semua menoleh ketika Kaivorn masuk, namun tak ada yang berbicara.
Tatapan mereka tertuju pada pria dengan rambut putih dan mata merah yang menembus gelap seperti dua bara api kecil.
Salah satu dari mereka, seorang pria tua dengan wajah berkerut, mencoba menilai situasi.
"Kami tidak sering kedatangan tamu tak diundang," katanya pelan, suaranya penuh kehati-hatian.
"Aku di sini untuk menemukan seseorang," Kaivorn menjawab, berjalan lebih dekat ke meja.
Tatapannya tidak pernah lepas dari pria tua itu, sementara dia terus memeriksa reaksi orang-orang di ruangan itu.
"Siapa yang kau cari?" tanya pria tua itu, meskipun Kaivorn bisa mendengar rasa waspada di balik nada suaranya.
Kaivorn berhenti tepat di depan meja, memandang pria itu dengan tatapan tajam dan dingin.
"Kalian tahu tentang Calista," ucapnya singkat.
Ruangan itu seketika terasa lebih sunyi. Beberapa pria di sudut ruangan bertukar pandang dengan ekspresi tegang.
Nama itu jelas tidak asing bagi mereka, dan Kaivorn bisa melihat betapa informasi ini membuat mereka tak nyaman.
"Calista… wanita yang kabur dari salah satu pelelangan kami," gumam pria tua itu dengan suara pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Kaivorn hanya mengangguk pelan, memberikan jeda pada pembicaraan, seolah membiarkan lawannya merenungkan situasi.
Waktu ini memberinya kesempatan untuk menganalisis lebih dalam, membaca emosi dan pikiran tersembunyi di balik raut wajah setiap orang di ruangan itu.
"Kami tidak tahu di mana dia sekarang," lanjut pria tua itu, mencoba untuk bersikap defensif.
Kaivorn tersenyum tipis. "Aku tidak di sini untuk bertanya tentang keberadaannya." ujarnya. "Aku hanya ingin memberi tahu kalian satu hal, kalo dia bukan lagi bagian dari masa lalu kalian."
Pria tua itu menelan ludah, tatapannya berubah menjadi lebih waspada.
Kaivorn melihat ketakutan yang mulai terbentuk di wajah pria itu, namun ia tetap tenang.
"Apa yang kau inginkan dari kami?" akhirnya pria tua itu bertanya dengan suara serak.
Kaivorn mendekat, mencondongkan tubuh sedikit, lalu berkata dengan suara rendah yang terdengar menakutkan dalam keheningan ruangan. "Aku ingin tahu siapa yang masih berani mencarinya."
Pria tua itu terdiam sejenak, lalu menunduk, seolah mencoba menghindari tatapan Kaivorn.
"Tidak ada yang akan mengganggu gadis itu lagi." ucapnya panik. "Tidak ada."
Kaivorn tersenyum dingin, dia mengancam. "Pastikan itu tetap begitu. Atau mungkin kalian akan berurusan langsung denganku, dan kalian tahu betul apa yang terjadi pada mereka yang berani menentang keluarga Vraquos."
Setelah memberikan peringatan terakhir, Kaivorn berdiri tegak, dan tanpa berkata apa-apa lagi, dia berbalik dan keluar dari ruangan itu, meninggalkan ketegangan yang belum mereda di belakangnya.
Saat Kaivorn melangkah keluar, suasana di dalam ruangan menjadi semakin tegang.
Langkahnya perlahan, namun penuh ketenangan, seolah tak ada yang mengganggunya.
Namun, dia bisa merasakan perubahan di balik punggungnya.
Gerakan-gerakan halus, napas yang tertahan, dan tatapan yang tiba-tiba lebih tajam.
Kaivorn tertawa kecil, tak bersuara. "Berani sekali kalian," gumamnya. "Berbohong kepada keluarga Vraquos yang agung."