Ayu menggugat cerai suaminya karena tak ingin dimadu. Memiliki tiga orang anak membuat hidupnya kacau, apalagi mereka masih sangat kecil dan butuh kasih sayang yang lengkap, namun keadaan membuatnya harus tetap kuat.
Sampai pada suatu hari ia membanting setir menjadi penulis novel online, berawal dari hobi dan akhirnya menjadi miliarder berkat keterampilan yang dimiliki. Sebab, hanya itu yang Ayu bisa, selain bisa mengawasi anak-anaknya secara langsung, ia juga mencari wawasan.
Meskipun penuh rintangan tak membuat Ayu patah semangat. Demi anak-anaknya ia rela menghadapi kejam ya dunia sebagai single Mom
Bergulirnya waktu, nama Ayu dikenal di berbagai kalangan, disaat itu pula Ikram menyadari bahwa istrinya adalah wanita yang tangguh. Berbagai konflik pun kembali terjadi di antara mereka hingga masa lalu yang kelam kembali mencuat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadziroh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehidupan baru
"Ini beneran rumah kita yang sekarang, Ma?" ucap Hanan tak percaya. Wajahnya redup seketika saat melihat rumah sederhana yang ada di depannya. Ia pikir akan pindah di rumah yang jauh lebih mewah. Nyata nya, rumah itu lebih buruk.
"Iya, Nak. Memangnya kenapa?" Ayu menarik kopernya dan membawanya masuk. Mendudukkan Adiba lalu menghampiri Hanan yang masih mematung di luar.
Berlutut di depan bocah itu. Mengusap rambut nya yang menutupi kening.
"Untuk sementara kita akan tinggal di rumah ini, Sayang."
Hanan menggeleng cepat, ia masih tak terima.
"Kalau seperti ini mendingan kita tinggal dirumah yang lama," tolak nya sedikit berteriak.
Ayu tetap tersenyum. Hanan masih terlalu kecil dan belum saatnya untuk memikul beban yang menimpanya. Ia mencari cara untuk meluluhkan hati bocah itu.
"Sekarang Hanan pilih, tinggal dirumah lama bersama dengan papa atau di rumah ini dengan mama dan adik-adik?"
Hanan menundukkan kepalanya. Pilihan itu sangat sulit baginya. Ia belum bisa meninggalkan kemewahan, tapi juga tidak mau berpisah dari Ayu.
Hening
"Tapi sampai kapan kita akan tinggal di sini, Ma?" ucap Hanan lirih.
Lagi-lagi pertanyaan Hanan sangat sulit dijawab.
"Hanan berdoa saja, semoga kita cepat mendapatkan rumah yang lebih bagus dari ini." Memeluk sang buah hati. Meyakinkan kalau rumah itu memang hanya untuk sementara. Bukan selamanya.
Hanan mengayunkan kakinya yang terasa berat. Ia duduk di kursi lapuk bersama dengan Alifa dan Adiba. Matanya menyusuri setiap sudut ruangan yang jauh dari kata mewah.
Ayu meletakkan koper di kamar. Menyusun baju mereka di lemari. Membersihkan ranjang yang lumayan berdebu. Mengesampingkan rasa lelah yang mulai melanda. Semua ia lakukan hanya demi kenyamanan sang buah hati.
"Ini kamar untuk, Kakak." Menunjukkan pada Hanan kamar yang sudah rapi. Berpura-pura untuk terlihat bahagia di depan mereka.
Tidak ada jawaban, bocah itu masih cemberut seperti saat pertama kali datang.
Rumah itu hanya ada dua kamar dan satu kamar mandi, satu ruang tamu dan ruang makan yang ada di depan dapur. Cukup sempit bagi Hanan yang biasa tinggal di rumah mewah.
Tidak ada pilihan lain, Hanan harus menerima keadaannya yang sekarang. Ia masuk ke kamar dan menutup pintunya dengan keras. Menandakan jika bocah itu belum sepenuhnya ikhlas.
Ayu menghela napas panjang. Kemudian membawa kedua anaknya itu ke kamar lain.
Jam menunjukkan pukul satu siang. Usai menjalankan kewajibannya, Ayu membuka ponselnya. Tidak ada yang ia pikirkan saat ini selain mendapat pekerjaan untuk menghidupi ketiga anaknya.
"Kira-kira kerja apa yang cocok untuk aku?" Ayu masih bingung. Pasalnya, tidak mungkin meninggalkan Adiba di rumah. Ia tak tega harus meninggalkan anak-anaknya seharian penuh.
"Ma…" Suara teriakan Hanan dari arah luar membuyarkan lamunan Ayu. Ia mengusap air matanya sebelum keluar. Menghampiri Hanan yang ada berdiri disamping pintu kamarnya.
"Ada Apa, Nak?"
Hanan mengelus perutnya yang membuat Ayu seketika paham.
"Tunggu sebentar, mama akan membelikan makanan untuk kamu dan adik-adik." Menggiring Hanan ke kamar Alifa. "Jaga mereka, jangan ke mana-mana, tunggu mama sampai pulang," pesan Ayu memperingatkan.
Ayu membuka laci. Mengambil perhiasannya lalu memasukkan ke dalam tas nya.
Maafkan aku, Bu. Terpaksa aku harus menjual perhiasan peninggalan ibu demi anak-anak. Tapi aku janji, nanti kalau sudah punya uang, pasti aku tebus.
Ayu keluar dari rumah nya. Ia menghampiri Ninik, yaitu tetangga sekaligus pemilik rumah yang ia sewa.
"Ada apa, Bu?" tanya Ninik.
Ayu tersenyum malu. Baru beberapa jam sudah merepotkan, begitulah kira-kira.
"Aku mau nitip anak-anak sebentar, Bu. Mau belanja kebutuhan dapur," ucap Ayu jujur.
Ninik membalas dengan senyuman pula, "Baiklah, pergi saja, aku akan menjaga anak-anakmu."
Ayu mengucapkan terima kasih pada Ninik yang sudah mau membantunya.
Tempat yang pertama Ayu kunjungi adalah toko perhiasan. Ia menjual seluruh perhiasan miliknya untuk memenuhi kebutuhan ketiga anaknya. Sebab, sepeser pun tak membawa uang dari Ikram.
Ayu menghitung uang hasil penjualan perhiasannya. Lumayan besar, meskipun itu hanya cukup kurang lebih satu bulan, setidaknya bisa menyambung nyawa sebelum mendapatkan pekerjaan.
Tak seperti dulu yang berbelanja makanan serba mahal, kali ini Ayu hanya membeli telur dan bahan makanan sederhana, yang terpenting tetap bergizi.
Maafkan mama, Nak.
Hanya kata itu yang selalu terucap dalam hati. Ayu merasa gagal menjadi seorang ibu karena tidak bisa memberikan apa yang mereka inginkan.
Ayu duduk di bangku yang ada di tepi jalan. Ia menunggu ojek datang, menghemat uangnya untuk kedepannya.
Tanpa sengaja, matanya menangkap brosur yang beterbangan. Ia memungut kertas putih yang bertuliskan lowongan itu lalu membacanya.
Benar, itu adalah sebuah lowongan pekerjaan. Seperti sebuah kebetulan, Ayu menemukannya.
"Sebagai pelayan, gak papa yang penting aku bisa mendapatkan pekerjaan."
Ayu tak peduli. Bekerja sebagai apapun ia sudah siap. Yang terpenting halal dan bisa membawa Adiba.
Namun, untuk saat ini ia belum bisa datang karena sudah hampir sore, sedangkan Hanan dan adik-adiknya belum makan. Ia bergegas naik ojek yang baru saja berhenti di depannya.
Ayu terburu-buru masuk rumah saat mendengar suara tangisan dari dalam. Ia menghampiri Adiba yang ada di gendongan Ninik.
"Diba kenapa, Bu?" tanya Ayu cemas. Mengambil alih putrinya yang masih meraung-raung. Mendekap dan menenangkannya.
"Mungkin saja baru bangun. Tadi aku masuk dia sudah menangis," jelas Ninik.
"Beneran, Kak?" tanya Ayu mengusap pucuk kepala Hanan. Biasanya bocah itu sudah bisa menjelaskan apa yang terjadi pada adiknya. Bukan tidak percaya pada Ninik. Ayu hanya takut Adiba jatuh dan terluka.
"Dia mencari, Mama," jawab Hanan cemberut.
"Ya sudah, Bu. Aku permisi dulu."
Sekali lagi Ayu mengucapkan terima kasih pada Ninik, lalu menggiring kedua anaknya menuju meja makan.
Tak seperti biasanya yang penuh dengan lauk, saat ini Ayu hanya bisa memberikan nasi bungkus pada mereka.
"Gak ada lauk lainnya, Ma?" protes Hanan saat melihat ayam goreng.
"Gak ada, Nak. Semuanya sudah habis, tinggal ini saja." Menjelaskan dengan kata-kata lembut.
Mengambil hati anak-anak sangat tidak mudah, apalagi mereka sudah terbiasa hidup mewah, namun karena keadaan Ayu terpaksa harus membujuk mereka untuk terus menerima kenyataan itu.
Ia mendekati Hanan yang mulai menikmati makanannya. Sambil menyuapi Alifa dan Adiba, ia membersihkan bibir sang putra.
"Hanan, besok mama akan mulai kerja, kamu dan Alifa di rumah," ucap Ayu lembut.
Hanan mengangguk tanpa suara. Meskipun dalam hatinya berat, tapi ia tahu bahwa bekerja itu akan menghasilkan uang banyak dan berharap mamanya bisa membeli rumah yang mewah seperti yang dilakukan papanya.
nambah kesni nambah ngawur🥱