Di pertengahan tahun 1980, Dewi merasakan pedihnya dijadikan tulang punggung layaknya sapi perah, tapi tetap dianggap sebagai benalu. Bahkan, KDRT kerap Dewi maupun anaknya dapatkan dari suami dan juga keluarga suami, yang selama 5 tahun terakhir Dewi nafkahi. Karenanya, Dewi nekat menjadikan perceraian sebagai akhir dari rumah tangganya.
Dewi bertekad bahagia bahkan sukses bersama kedua anaknya. Segala cara Dewi lakukan, termasuk menjadi ART, sebelum akhirnya menjadi warung keliling. Namun pada kenyataannya, menjadi sukses bukanlah hal mudah. Terlebih, Dewi masih saja diganggu orang-orang dari masa lalunya. Dewi sampai berurusan dengan hukum akibat fitnah keji, sebelum akhirnya mengikuti program transmigrasi di era Orde Baru yang tengah berlangsung.
Akan tetapi karena sederet cobaan itu juga, Dewi menemukan cinta sejati sekaligus kesuksesan yang selama ini Dewi perjuangkan. Kesuksesan yang membuat Prasetyo sekeluarga sangat menyesal!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20 : Mendadak Nelangsa
“Oh iya ... ya sudah, Mbak, ... buat Mbak,” ucap mas Abdul dengan entengnya. Mas Abdul yakin, itu pasti uang ibu Retno. Karena yang terakhir memakai mobil itu memang Prasetyo. Meski kemarin saat mengantar Prasetyo dan ibu Retno, mas Abdul pernah memakai mobil tersebut juga. Namun sejauh ini yang memiliki banyak uang memang ibu Retno, meski kenyataan tersebut masih efek warisan.
“Ih, ... kok buat saya?” heran Dewi. Uang sebanyak itu dan harusnya bisa untuk membeli motor, masa dengan begitu mudahnya diberikan kepadanya?
“Kan Mbak yang nemuin,” balas mas Abdul masih sangat enteng. Karena pria itu merasa apa yang Dewi temukan sudah hak Dewi.
“Enggak ah, ... ini bukan uang saya. Takut!” ucap Dewi sambil menaruh kantong berisi uangnya ke lantai.
Alif yang kepo pun melongok-longok sambil menghabiskan sisa pisangnya.
“Insya Allah bukan uang tumbal kok Mbak. Aman. Memang itu uang yang sepertinya nyempil kelupaan. Buat beli yang Mbak dan anak-anak butuhin saja. Beli emas buat Mbak pake. Buat Utari, biar makin enak dipandang. Yang lihat pun pasti jadi kagum!” ucap mas Abdul kembali mengeringkan mobilnya.
Namun, Dewi yang memang tidak terbiasa menerima uang sebanyak itu, bahkan meski caranya memang menemukannya, tetap tidak bisa menerima.
“Bener buat beli yang Mbak suka saja. Coba ingat-ingat, terakhir Mbak dibeliin emas atau setidaknya hadiah sama si Pras, sebelum Mbak menggugat cerai dia, apa? Tuh uang itung-itung buat menyenangkan diri Mbak lah,” ucap mas Abdul.
“Hadiah ...? Emas ...? Boro-boro. Lima tahun nikah saja, punyaku serba dijual. Itu saja, aku masih kerja ke beberapa rumah jadi ART. Buat biayain satu RT keluarganya,” lemas Dewi.
Padahal, seharusnya mas Abdul iba kepada Dewi. Karena dari ucapannya saja, balasan Dewi terdengar sangat ngenes. Namun, mas Abdul tertawa. Karena baginya, cara Prasetyo memperlakukan Dewi sangat lucu.
Sambil memera.s lap yang ia pakai untuk mengeringkan mobil, mas Abdul yang menatap Dewi berkata, “Sekarang aku tahu, kenapa mbak Retno dan si Pras berjodoh. Ya karena mereka memang sama-sama cocok! Mereka sama-sama benalu, tapi neriakin orang lain yang sudah mereka tumpangi, benalu!”
Dewi membenarkan anggapan mas Abdul. Hanya saja, satu gepok uang di kantong hitam yang ia temukan, membuatnya lemas. “Ini yah, Mas. Saya pasrahin uangnya ke Mas!” ucap Dewi.
“Ya ampun Mbak Dewi ini!” ucap mas Abdul langsung geleng-geleng. Ia tak berniat mendebatkan uang tadi dengan Dewi. Namun besok juga, mas Abdul berniat membelanjakan uang tersebut untuk Dewi dan anak-anaknya.
Alif yang masih di sana dan sesekali akan ke teras untuk memastikan sang adik di ranjang bayi, tak sengaja melihat sang papa. Prasetyo memanjat pagar samping dan itu membuatnya takut. Alif takut, sang papa kembali memuk.ulinya maupun memuku.li sang mama.
Alif langsung lari kemudian meraih sebelah tangan mas Abdul. Ia mengguncangnya pelan, tanpa bersuara. Sebab ketakutannya kepada sang papa membuat suaranya tak keluar.
“Kenapa?” tanya mas Abdul heran. Namun, ia sudah langsung marah ketika melihat apa yang Alif takutkan.
“Turun, enggak! Pergi! Saya teriaki mal.ing biar diamankan warga, baru tahu rasa kamu ya!” marah mas Abdul. Ia segera membawa selang ke Prasetyo. Ia mengguyur Prasetyo yang belum sampai memantat bagian dalam.
Dewi yang menyaksikan itu, buru-buru mendekap Alif. Dewi tak mengizinkan Alif menyaksikan maupun mendengar kenyat yang terjadi. “Kelakuan mas Pras beneran bikin malu!” batin Dewi.
“Kok Dewi ada di sini? Si Alif sama adiknya juga di sini! Apa maksudnya?” batin Prasetyo jadi bertanya-tanya sendiri.
“Ditunggu saja hasilnya Mas! Tidak aku laporkan ke polisi karena menikah diam-diam, bahkan sudah terbiasa berzin.a saja untung kamu! Benar-benar bikin malu!” tegas Dewi yang kemudian memunggungi Prasetyo.
“Eh, stop! Cukup!” teriak Prasetyo lantaran mas Abdul terus mengguyur wajahnya menggunakan air keran melalui selang. Air keran yang tadinya baru saja mas Abdul pakai untuk mencuci mobil.
“Masuk selokan, masuk selokan deh kamu. Biar, biar kepalamu masuk selokan dan kamu pun bisa berpikir waras!” tegas mas Abdul yang makin bar-bar dalam menyiram wajah Prasetyo.
“Heh, Abdul! Rakus kamu ya! Bisa-bisanya kamu merebut semua hartaku dengan cara yang begitu licik!” teriak ibu Retno dari luar sana.
Mendengar itu, dengan entengnya mas Abdul berkata, “Heh dasar kamu nenek-nenek yang hobinya puber! Harta, harta siapa, siapa juga yang diteriaki merebut? Makanya jangan hobi puber, biar kamu bisa menikmati warisanmu dengan leluasa! Jadi pela.cur saja jelas dibayar. Nah ini, kamu malah mbayar!” Mas Abdul mengakhiri ucapannya dengan tertawa jahat. Apalagi, Prasetyo yang akhirnya terjatuh, ia yakini sampai menimpa ibu Retno. Ibu Retno mema.ki-mak.i Prasetyo.
“Gara-gara kamu kepalaku masuk selokan! Bisa apa sih kamu, manjat saja enggak bisa!” keluh ibu Retno yang sesekali menen.dang sekaligus membogem Prasetyo.
“Eh Prasetyo. Kamu masih di situ, kan? Atau sudah pindah alam?” seru mas Abdul belum bisa menyudahi tawanya.
Meski mas Abdul tidak bisa menyaksikan secara langsung kejadian ibu Retno dan Prasetyo karena pagar rumah terbilang tinggi. Mas Abdul sudah kesulitan menghentikan tawanya. Mas Abdul yakin, adegan di sebelah pasti sangat lucu. Dua benalu masuk ke selokan secara berjamaah dan itu kompak bagian kepalanya.
“Karena sudah telanjur terjadi, sekarang aku kasih tahu ke kamu yah, Pras!” seru mas Abdul.
Detik itu juga, baik Prasetyo maupun ibu Retno yang sama-sama masuk selokan dan itu bagian kepalanya, kompak diam. Baik Prasetyo maupun ibu Retno penasaran dengan apa yang akan mas Abdul katakan. Bedanya alasan ibu Retno penasaran, tak lain karena pendengaran ibu Retno jadi bermasalah setelah kepala termasuk telinganya, masuk ke selokan berair keruh hitam.
“Syarat si NENEK RETNO dapat warisan bapakku itu, dia wajib menjaga kehormatannya hanya untuk bapak. Nenek Retno dilarang memiliki hubungan dengan laki-laki lain, apalagi berzin.a seperti yang kalian lakukan. Jadi, semenjak kalian digerebek!” ucap mas Abdul, tapi di sebelah, ibu Retno jadi berisik.
“Abdul, tutup mulut kamu! Ngomong apa sih kamu!” marah ibu Retno sampai teriak-teriak.
“Nenek Retno sudah tidak memiliki hak apa pun. Dia langsung jatuh misk.in setelah perzin.ahan kalian terbongkar! Jadi, jika kalian nekat menerobos masuk seperti tadi dengan cara apa pun, saya tidak segan melaporkan kalian ke polisi!” tegas mas Abdul.
Ucapan panjang lebar mas Abdul yang menjelaskan status ibu Retno membuat dunia seorang Prasetyo hening. Setelah sebelumnya Dewi mengabarkan gugatan perceraian, kini ia malah dihadapkan pada kenyataan, bahwa ibu Retno sudah tidak memiliki hak apa pun di rumah alm. bapaknya mas Abdul.
“Apa karena ini juga, ibu Retno sampai menyuruh aku memanjat pagar rumah hanya untuk bisa mengambil uang di kamarnya? Karena memang, setelah malam itu dan ibu Retno dipaksa keluar rumah, dia bukan bagian dari rumah ini lagi?” pikir Prasetyo yang belum apa-apa sudah merasa sangat nelangsa. Karena andai apa yang mas Abdul katakan benar, untuk apa ia memelihara ibu Retno yang hanya bisa memuk.uli sekaligus menghaja.rnya dengan keji?
saat itu jamannya.....
semuanya pada sakit......