Menyaksikan genosida jutaan manusia tak berdosa langsung di depan mata, membuat Arya terluka dan mendendam parah kepada orang-orang Negeri Lembah Merah.
Entah bagaimana, Arya selamat dari pengepungan maut senja itu. Sosok misterius muncul dan membawanya pergi dalam sekejap mata. Ia adalah Agen Pelindung Negeri Laut Pasir dan seorang dokter, bernama Kama, yang memiliki kemampuan berteleportasi.
Arya bertemu Presiden Negeri Laut Pasir, Dirah Mahalini, yang memintanya untuk menjadi salah satu Agen Pelindung negerinya, dengan misi melindungi gadis berusia tujuh belas tahun yang bernama Puri Agung. Dirah yang bisa melihat masa depan, mengatakan bahwa Puri adalah pasangan sejati Arya, dan ia memiliki kekuatan melihat masa lalu. Puri mampu menggenggam kebenaran. Ia akan menjadi target utama Negeri Lembah Merah yang ingin menguasai dunia.
Diramalkan sebagai Ksatria Penyelamat Bima dan memiliki kemampuan membaca pikiran, mampukah Arya memenuhi takdirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mirabella Randy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KAMAR RAHASIA
"Petunjuk apa?"
Aku memandang Dirah tajam dan waspada.
"Sederhana," kata Dirah. "Kamu membantu Randu meredam benih api pemberontakan dan mencegah penyerangan terjadi di tempat umum, tepat pada waktunya."
Jawabannya sungguh tak terduga, dan tak masuk akal untuk situasiku sekarang.
"Ya, sangat sederhana," aku mengangkat sudut bibirku sinis. "Aku tinggal melompat keluar tembok Istana dan besoknya Randu akan langsung menjebloskanku ke dalam penjara."
"Siapa bilang kamu harus keluar Istana?" kata Dirah kalem.
Aku menatap Dirah tidak mengerti.
"Kalau Randu melarangmu keluar Istana, maka jangan membantahnya," lanjut Dirah. "Tapi Randu juga tidak melarangmu membantu menangkap para pemberontak atau penyusup. Kamu fokus ke hal itu saja."
"Apa sebenarnya maksudmu...?" aku mulai jengkel. Bicara Dirah benar-benar tidak jelas.
"Gunakan kekuatanmu, Arya. Apa yang kamu miliki, ketahui. Semua itu. Kamu bisa menggunakan itu untuk menyerang dan menangkap musuh tanpa terdeteksi, tanpa kamu harus meninggalkan tempat ini. Kurasa manfaatnya akan jauh lebih besar daripada sekadar berburu harta karun orang mati, iya kan?"
Aku memandang Dirah lekat, yang kini mengamati setiap luka di tanganku sudah menyusut dan mengering, menyisakan kerak berbentuk guratan-guratan hitam. Ia pun mematikan senter penyembuh dan mengembalikannya ke dalam kotak.
Entah bagaimana, dia tahu rencanaku. Dia sedikit berteka-teki karena ingin menghindari kemungkinan Randu mengawasi kami saat ini--ia tidak mau Randu tahu niatku membobol kantor Bayu untuk mencuri bukti kasus yang sedang ditanganinya. Sepertinya Dirah melindungiku dan berpihak padaku kali ini.
Aku teringat rekaman percakapannya dengan Randu yang mudah kuakses siang tadi. Apa itu juga perbuatannya?
Tapi kenapa ia melakukan ini semua?
"Aku ingin kita menang melawan Negeri Lembah Merah," ujar Dirah seakan bisa membaca pikiranku. "Jujur aku tidak bisa terima arogansi mereka--berani betul mereka menyusup kemari dan mencoba menghancurkan kita dari dalam, menggunakan orang-orang sipil kita yang tak bersalah. Aku tidak mengampuni mereka. Akan kulakukan apa saja untuk mematahkan serangan ini dan menghancurkan kepala musuh. Kamu juga setuju, kan?"
Aku mengangguk tanpa ragu, tanpa kata.
"Kalau begitu, mari bekerja sama," kata Dirah sungguh-sungguh. "Aku akan menyediakan semua yang kamu butuhkan. Wujudkanlah idemu. Buktikan pada semua orang, bahwa kamu pelindung sejati negeri ini. Dengan begitu, kamu akan bisa berlari bebas di bawah matahari seperti dulu lagi."
***
Sejak malam itu, Dirah mengizinkanku menggunakan kamar rahasia di lantai dua Kantor Presiden. Ia menyingkirkan banyak perabotan dan hanya menyisakan tempat tidur besar, meja kecil, dan lemari pakaian di sudut. Sisa ruangan ini kemudian dijejali banyak peralatan canggih seperti laboratorium khusus yang biasa digunakan para ilmuwan untuk melakukan penelitian dan penciptaan alat-alat berteknologi tinggi.
Di sinilah aku menghabiskan masa tahananku, bekerja keras menciptakan alat untuk memenangkan pertempuran dan mencapai jalan pembebasanku.
Salah satunya adalah menciptakan ulang robot nyamuk Randu.
Meski paham betul cara membuatnya, harus kuakui prosesnya sangat tidak mudah. Ukuran robot yang sangat kecil membuatku harus sangat teliti dan hati-hati ketika merangkai setiap komponennya, yang harus kuringkas dalam ukuran mikroskopis. Selain itu aku berinisiatif memberi fitur tambahan, seperti kecerdasan buatan dan jarum suntik sangat kecil yang bisa melumpuhkan dalam sekejap. Jadi robot ini nanti tak hanya bisa menyusup dan memata-matai. Robot ini akan bisa berinisiatif dalam situasi darurat, yaitu menembak dan menusukkan jarum bius dosis tinggi ke sasaran yang berperilaku menggila dan mengancam keselamatan orang di sekitarnya, membuat mereka lumpuh dan tidak berkutik seketika.
Merakit satu robot sangat menyita waktu, dan aku berencana membuat minimal seratus robot seperti ini. Aku tak punya pilihan selain merakit semuanya secara manual.
Sebenarnya bisa saja aku memproduksinya secara otomatis dan massal, tapi untuk itu, aku harus membuat chip terlebih dulu yang bisa mengaktifkan mesin khusus untuk membuat robot-robot sesuai keinginanku.
Masalahnya, membuat chip seperti itu tidak mudah. Perlu waktu paling cepat sebulan untuk bisa menciptakan satu chip. Aku tak bisa menunggu selama itu. Karena itu aku lebih memilih merakit sendiri semua robotku secara manual, meski untuk itu aku harus menenggak satu kulkas penuh kopi kaleng hitam murni yang bisa membuatku tidak tidur berhari-hari. Dalam waktu tiga hari, aku sudah berhasil membuat empat puluh buah robot.
Tentu saja progressku lebih cepat dari Randu, karena ia harus memikirkan konsep dan rancang bangun robot ini dari nol, sementara aku tinggal merakit dan mengembangkannya. Walau begitu, Randu mampu membuat semuanya sempurna hanya dalam waktu dua minggu, tanpa bantuan siapapun. Otak jeniusku pun mengakui kejeniusannya. Dia laki-laki paling hebat dan mengagumkan yang pernah kukenal seumur hidupku.
Sangat kontras dengan anak perempuannya yang absurd dan pikirannya sekacau robot konslet.
Sedang apa Puri sekarang?
Kekuatanku terlepas seperti robot nyamukku yang menyerbu udara kota dini hari. Aku menemukan energi dan gelombang pikiran Puri di rumahnya, sedang tertidur tanpa mimpi. Ia tak pernah bermimpi. Benaknya selalu gelap dan hening setiap kali ia terlelap. Barangkali itu cara tubuhnya menyeimbangkan diri setelah sepanjang hari harus menerima jutaan kilasan masa lalu dunia, yang tak pernah berhenti memekakkan hatinya yang lembut.
Terdengar bunyi "bip" dan aku terkejut. Alarm berbunyi memperingatkan, karena aku hampir keliru memasang prosesor mikroskopis ke tepi rangka robotku. Aku menarik napas dalam-dalam dan dengan hati-hati membenahi posisi komponen terpenting dalam robotku.
Ini adalah robot nyamuk keempat puluh empat yang sudah kukerjakan sampai detik ini. Perakitannya dikerjakan dalam kotak kaca khusus dengan capit-capit elektrik tipis yang bisa kukendalikan melalui komputer dan sejumlah tombol kunci, terkoneksi dengan perangkat lunak istimewa yang sangat mumpuni.
Sepertinya efek tidak tidur tiga hari mulai membuat pikiranku melantur, meski aku tak mengantuk karena tingginya dosis kafein yang merasuki pembuluh darah dan jantungku.
"Jangan terlalu terobsesi, Arya."
Dirah memasuki ruangan dan meletakkan nampan berisi sepiring roti lapis daging cincang saus madu, jeruk yang sudah dikupas, kentang goreng, sosis bakar, dan termos berisi jus apel dingin di atas meja kerjaku, persis di sebelah papan ketik hologram khusus angka dan simbol rumus.
"Hm."
Usai melirik sekilas, aku kembali menatap monitor yang menayangkan pembesaran hasil rekaman kamera khusus yang terpasang dalam kotak kaca perakitan. Aku menekan beberapa tombol kunci untuk mengatur capit-capit elektrik super tipis yang kini bergerak hati-hati dan presisi ketika merakit beberapa serat optik mikroskopis dari prosesor ke beberapa titik sensor di sekujur rangka robot.
"Kamu sudah tidak tidur tiga hari," Dirah melirik kaleng-kaleng kopi kosong yang menumpuk di tempat sampah. "Hampir tidak makan. Kamu mau jatuh sakit lalu mati sebelum bertemu Puri?"
"Aku tidak akan mati dalam waktu dekat ini," kataku sambil memasang jarum super kecil di ujung rangka robot. "Kau sendiri melihatku punya anak dan menua di sini. Atau semua penglihatanmu itu ternyata cuma halusinasi?"
Dirah tertawa pelan.
"Kamu bukan ilusi, Arya," Dirah mendesah. "Kamu hal terbaik yang pernah ada dalam hidupku."
Aku tidak menanggapinya.
"Ya sudah...," Dirah mundur perlahan. "Kalau butuh sesuatu, segera katakan padaku. Akan kuberikan apapun itu."
"Termasuk tiket keluar dari penjara bernama Istana?"
"Sayangnya yang satu itu tidak bisa," gumam Dirah. "Kamu tetap harus bisa menaklukkan hati Randu kalau mau keluar dari tempat ini, seperti yang sudah kukatakan padamu tempo hari..."
Aku nyaris memutar bola mata. Tentu saja aku ingat semua kata-kata Dirah malam itu, yang lagi-lagi, terdengar sangat masuk akal.
Setelah menyelesaikan perakitan satu robot, aku memutuskan beristirahat sebentar. Aku memakan semua yang ada di nampan dan menghabiskan jus dingin yang ada di termos.
Usai makan, aku merasa kenyang dan mengantuk. Aku sempat melirik tempat tidur di sudut kamar, tapi aku buru-buru menggelengkan kepala dan mengutuk diriku sendiri. Pekerjaanku belum selesai. Aku tidak boleh tidur sebelum menuntaskannya.
Aku beringsut membuka kulkas di sebelah pintu. Isinya kosong. Aku sudah menghabiskan semua stok kopi kaleng di dalamnya selama tiga hari ini. Padahal aku sudah meminta Mada mengirim persediaan kopi baru sejak tadi pagi. Tapi tidak ada kiriman darinya sama sekali, sampai detik ini.
Kenapa sampai sekarang tak dikirim juga? Apa laki-laki mesum itu lupa?
Ini sudah lewat tengah malam. Tak ada aktivitas apapun di Istana selain para Agen Pelindung yang sedang piket berpatroli dengan senjata lengkap untuk menjaga keamanan Istana. Bahkan Dirah sudah kembali ke kamarnya di salah satu lorong rahasia Istana di sisi utara. Aku menjangkau gelombang hantu pikirannya, dan ia sudah terlelap, memimpikan masa lalunya berlatih dan tertawa bersama teman-temannya di Akademi Militer dan Intelijen Negara.
Aku mendesah. Kantukku makin menjadi. Tak ada kopi yang bisa kukonsumsi. Harusnya aku tidak makan banyak tadi. Kupikir dengan mengisi perut aku akan kembali bertenaga dan pikiranku tak akan melantur. Ternyata aku keliru. Tanpa tambahan kafein, kesadaranku malah makin menurun.
Tak punya pilihan, aku pun menjatuhkan diri di atas tempat tidur dan langsung terlelap begitu kepalaku menyentuh bantal yang sangat lembut dan empuk.
Aku kembali bermimpi. Yang anehnya sangat jelas, seperti nyata, dan tak mudah dilupa.
Dalam mimpi itu, aku bertarung mati-matian melawan puluhan prajurit bersenjata lengkap yang tak henti menembak dan melempariku dengan granat. Aku bisa menghindar dan melindungi diri dari maut dengan mengaktifkan perisai elektrikku. Aku menggunakan jurus meringankan tubuh untuk bergerak secepat kilat dan menusuk jantung prajurit-prajurit itu setelah aku kehabisan peluru.
"Tidak, Arya! Jangan! Jangan membunuh!"
Aku terkejut. Entah bagaimana Puri tahu-tahu ada di belakangku dan menahan bahuku. Matanya berkaca-kaca dan raut wajahnya penuh permohonan.
"Jangan ikut campur!" bentakku. Aku melepaskan diri dengan mudah dan maju dengan cepat untuk menghabisi sisa musuh.
"Tidak!" jerit Puri.
"Berhenti, Arya Balawa! Atau kubunuh dia!"
Aku menoleh dan terguncang. Bayu Tarum menyandera Puri. Ia memeluk Puri dari belakang sambil menodongkan pistol ke kepala Puri, yang gemetar dan menangis ketakutan.
"Lepaskan Puri!" geramku.
Bayu tertawa.
"Kenapa aku harus melepaskannya? Dia milikku sekarang."
Bayu merengkuh dan menyentuh Puri, bibir mereka nyaris bersentuhan sekarang.
"Kamu mau menjadi milikku...?"
Puri menggeleng. Ia meronta marah dan ketakutan.
"Jangan sentuh aku...!"
Kemarahanku membuncah dan aku melompat maju. Aku berhasil melayangkan tinju keras ke wajah Bayu, membuatnya limbung. Kutarik Puri secepat kilat ke belakang punggungku, kemudian aku menerjang dan menghajar Bayu. Kusarangkan pukulan dan tendangan keras, secepat kilat dan bertubi, ke hidung, tenggorokan, ulu hati, hingga kemaluannya. Bayu tak bisa mengimbangi kecepatan dan kekuatanku. Ia limbung kesakitan hingga tersungkur berdarah di lantai.
DOR!
"Arya..."
Aku menoleh. Salah satu prajurit yang masih hidup berhasil menembak Puri. Dadanya berlubang ditembus peluru, darah segar menguyupi gaun putihnya dalam sekejap.
Puri memandangku. Air matanya berlinang, ekspresi wajahnya kesakitan. Beberapa detik kemudian, ia menutup mata dan jatuh tergeletak, tak lagi bernapas dan tak lagi bergerak.
"TIDAK!"
Aku melompat bangun. Sekujur tubuhku gemetar dan keringat dingin menetes di wajah dan leherku.
Aku mencengkeram kepalaku sendiri. Itu cuma mimpi. Mimpi buruk. Namun hatiku rasanya benar-benar remuk.
Setetes air mata jatuh membasahi pipiku.
Meski hanya dalam mimpi, aku tak sanggup menyaksikan Puri kehilangan nyawa.
Itu cuma mimpi... itu cuma mimpi... Puri masih hidup dan baik-baik saja... dia akan terus hidup dan baik-baik saja...
Aku berusaha keras meyakinkan diri, namun entah bagaimana, suara Bayu kembali menggema dalam kerajaan benakku.
"...jika kamu diserang di tempat terbuka, dan saat itu Nona Puri bersamamu, apa kamu yakin tetap bisa menjaganya? Bagaimana jika dia terluka, apalagi sampai terbunuh karenamu? Bagaimana kamu bisa menjamin Nona Puri tetap hidup di situasi seperti itu?"
Aku menarik napas dalam-dalam. Mimpi buruk barusan menunjukkan kalau ketakutan itu telah mengendap dalam alam bawah sadarku, dan aku belum bisa berdamai dan tuntas dengan pergulatan batin itu.
Jelas aku tak bisa begini terus. Sebagai prajurit, aku harus bisa menaklukkan segala jenis emosi agar tidak memengaruhi diriku, termasuk ketakutanku sendiri.
Aku harus melakukan sesuatu. Kupejamkan mata. Kutenangkan batin. Kufokuskan pikiran, mencari gagasan.
Seperti ada yang menyulut lentera dalam gelap kepala, mendadak sebuah ide muncul dalam benakku. Aku membuka mata, terpesona dengan buah pikiranku sendiri. Apa yang baru saja terlintas di balik mataku itu cukup brilian. Aku tergoda untuk segera mengeksekusinya. Tapi, pertama, aku harus segera menyelesaikan kreasi ulang robot-robot nyamuk itu terlebih dulu.
Jam dinding menunjukkan waktu sudah memasuki pukul tiga. Aku tak ingat aku tidur berapa lama tadi. Itu tidak penting. Mimpi buruk itu sudah mengenyahkan kantukku. Aku kembali ke meja kerjaku, bekerja lebih keras dan berkonsentrasi penuh menyelesaikan robot-robot nyamukku.
***
Pada hari kelima, nyaris tanpa makan dan tak lagi tidur sejak mimpi buruk itu, akhirnya aku berhasil menyelesaikan pembuatan robot nyamuk keseratus.
Senyumku mengembang puas. Kutatap dua puluh robot nyamuk yang masih bertengger di atas piringan logam di dekat komputerku. Itu semua adalah robot-robot yang berhasil kubuat selama dua puluh empat jam terakhir, saat ini sedang dalam proses pengisian daya penuh secara cepat.
Delapan puluh robot lainnya sudah kulepas secara bertahap sejak selesai dibuat. Robot-robot itu kusebar ke titik-titik yang sudah dipetakan Bara di seluruh penjuru negeri, yang semakin hari, jumlahnya semakin banyak, meski pun setiap hari Gayatri dan pasukannya meringkus mereka. Bahkan Dokter Kama dan Bara juga ikut terjun meringkus karena penyebarannya semakin banyak namun sangat acak.
Tanpa seorang pun menyadari, robot-robotku diam-diam sudah membantu mengintai dan meringkus beberapa pelaku gila itu sebelum menyerang.
Robot-robotku berhasil memantau pergerakan orang-orang yang sudah ditandai Bara. Dari pergerakan itu, aku bisa menandai lagi orang-orang yang belum ada di daftar Bara dan menunjukkan tanda-tanda terjangkit penyakit gila. Gejalanya hampir selalu sama: sakit kepala, gelisah, mimpi buruk, dan perlahan kehilangan kendali diri.
Beberapa di antaranya, yang hendak menyerang atau melakukan tindakan kriminal dan belum sempat dijangkau Gayatri dan pasukannya, berhasil diringkus robot-robot nyamukku. Program kecerdasan buatan yang kutanam terbukti berfungsi baik. Robot-robot itu berhasil mendeteksi gejala kegilaan yang memuncak dan langsung mengeksekusi pelaku dengan satu suntikan racun bius. Racun itu langsung melumpuhkan dan menghilangkan kesadaran pelaku selama dua puluh empat jam. Aku pun segera menelepon polisi dan melaporkan posisi mereka yang tak sadarkan diri dengan bukti alat atau senjata untuk menyerang melekat di badan mereka.
Hasil pengamatan dan pelumpuhanku itu kurangkum dalam laporan khusus yang kuserahkan ke Dirah secara lengkap. Dirah memberitahukannya ke Randu, yang segera saja mengetahui itu semua adalah hasil kerja kerasku.
"Jangan beritahu siapapun bahwa Arya diam-diam mengerjakan semua ini," Dirah memperingatkan Randu yang dipanggil ke kantornya untuk memberikan semua hasil kerjaku. "Para penyusup itu sudah bekerja keras menjatuhkan dan memojokkan Arya. Aku tak ingin mereka kembali menyerang Arya lagi dalam waktu dekat ini, apalagi jika sampai mereka tahu Arya telah berjasa mematahkan beberapa upaya penyerangan bahkan tanpa keluar dari Istana sama sekali."
Aku mendengar kalimat Dirah dengan jelas melalui fitur penajam pendengaran di earpods transparanku, dan juga melalui kekuatan benakku, saat aku bersandar di balik pintu kamar rahasiaku sambil menghabiskan sekaleng kopi hitam dingin lagi.
Aku tak tahan lagi.
"Sebetulnya kalau kalian mau, kalian bisa lebih efektif memancing dan meringkus para penyerang itu sekaligus, dengan menggunakan aku."
Dirah dan Randu mendongak saat aku sengaja keluar dari rak buku yang bergeser di lantai dua, dekat puncak tangga. Rak buku itulah yang menjadi akses menuju kamar rahasia tempatku bekerja selama ditahan di Istana.
"Apa maksudmu, Arya?" Dirah menatapku tajam.
"Jadikan aku umpan," kataku sambil menuruni tangga dengan tenang. "Mereka akan terpancing dan berkumpul di tempat aku berada. Selama ini kita kepayahan karena penyebaran lokasi orang-orang itu terlalu acak, dan jumlahnya semakin masif. Cara yang kukatakan ini paling efektif untuk meringkus mereka sekaligus."
"Itu terlalu berbahaya," sergah Dirah.
"Kamu tidak percaya pada kemampuanku?" aku melirik Dirah sinis. "Aku punya perisai elektrik untuk melindungi diri dari serangan jenis apapun. Kemampuan menembak dan beladiriku bisa mengalahkan para amatir itu dengan mudah. Tapi kalau kalian bisa mengorganisir Pasukan Pelindung dengan baik, para penyerang itu pasti kalah sebelum sempat menyentuhku."
Aku berhenti tepat di depan Randu. Tatapan tajam kami saling bertemu, bagai dua pedang beradu tanpa ragu.
"Bagaimana menurutmu?" tanyaku, setengah menantang.
Ekspresi Randu kaku dan dingin.
"Kurasa," jawabnya datar. "Aku punya ide yang lebih baik dari itu."
...***...
udah pernah sblmnya 😍
🤣🤣🤣🤣
aku nomor 8/Smug/
aku juga mau cilok/Grievance/
sukorr genteng /Slight//Joyful/
antar sesama korban permainan bara🤣🤣🤣
🤣🤣🤣🤣
siang ini jgn buat aku haredang air mata /Sob/