Mencari nafkah di kota Kabupaten dengan mengandalkan selembar ijazah SMA ternyata tidak semudah dibayangkan. Mumu, seorang pemuda yang datang dari kampung memberanikan diri merantau ke kota. Bukan pekerjaan yang ia dapatkan, tapi hinaan dan caci maki yang ia peroleh. Suka duka Mumu jalani demi sesuap nasi. Hingga sebuah 'kebetulan' yang akhirnya memutarbalikkan nasibnya yang penuh dengan cobaan. Apakah akhirnya Mumu akan membalas atas semua hinaan yang ia terima selama ini atau ia tetap menjadi pemuda yang rendah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8.
"Kamu kenapa menangis, Na?" Mirna dikejutkan oleh suara mamanya. Entah kapan mamanya datang, Mirna tidak menyadarinya.
"Tidak apa-apa, Ma. Na hanya ingin nangis saja." Mirna mengusap air matanya. Dia tak ingin terlihat cengeng di mata mamanya. Dia tak ingin mamanya tambah sedih.
Cukuplah mamanya dengan masalah rumah tangganya. Mirna tak mau menyeret mamanya ke dalam masalahnya.
"Serius kamu tak apa-apa?"
Buk Fatimah sangsi. Cuma dia pikir anaknya menangis karena mengenang kesilapan yang telah dilakukannya.
Sebenarnya tebakan buk Fatimah hampir benar.
"Iya, Ma. Na tak apa-apa." Mirna mencoba tersenyum.
Ayo kita ke dalam. Siap-siap sebentar lagi kamu mau ke klinik kandungan bersama Mumu." Buk Fatimah menggandeng tangan Mirna memasuki rumah.
Hampir satu jam mereka menunggu teras depan. Ketika hampir jam sembilan lewat barulah nampak Mumu yang hanya berjalan kaki memasuki rumah.
"Maaf, Buk, Kak, saya terlambat sampai." Ucap Mumu sambil tersenyum. Wajah agak keringatan dan memerah terkena matahari pagi.
"Kenapa kamu tak mengendarai motor, Nak?" Tanya buk Fatimah.
"Sengaja, Buk, kata orang jalan kaki itu menyehatkan."
"Lalu kenapa kamu tak menjawab telponmu? Berkali-kali Ibuk nelpon tadi."
Mumu jadi serba salah. Bisa saja ia terus terus berbohong tapi ia tak tega.
"Sebenarnya saya mengundurkan diri, Buk. Ternyata bosan juga melihat dan mengatur buku setiap hari. Saya ingin coba mencari kerja lain. Jadi motor sama handphone sudah saya serahkan kepada Bapak. Saya fikir saya tak memerlukan lagi untuk saat ini."
Mumu sengaja mengubah kata diambil oleh Bapak dengan kata menyerahkan biar seolah-olah bukan pak Kadis yang menyuruh ia mengembalikan motor dan handphone tersebut.
"Oo ya sudahlah kalau begitu. Jadi kamu mau kerja apa nanti? Dan bagaimana kalau ibuk mau menghubungi kamu?"
"Nomor Bapak dan Ibuk sudah saya simpan, Buk. Nanti kalau saya sudah membeli handphone baru, saya akan menghubungi ibuk."
Sepanjang percakapan antara mamanya dan Mumu, Mirna tidak menanggapi sama sekali. Walau pun dia hanya diam tapi otaknya bekerja dengan cepat.
Ada keganjilan di sana. Dia pikir, Mumu pasti telah berbohong. Mumu sangat memerlukan pekerjaan tapi kenapa dia tiba-tiba berhenti?
Bahkan Mirna berasumsi bahwa papanya lah yang ada disebalik tindakan Mumu.
Kadang Mirna heran dengan sikap Mumu. Kalau dibanding umur, jelas Mumu lebih muda dari padanya. Tapi sikap Mumu jauh lebih dewasa dibanding umurnya.
Tampang Mumu biasa-biasa saja. Tidak tampan juga tidak juga bisa dikatakan jelek.
Baru hari ini Mirna menyadari ternyata ada hal lain ketika memandang wajah Mumu. Dia tak tahu apa tapi yang jelas ada semacam karisma atau apa lah gitu yang membuat orang betah memandang wajahnya.
Setelah pamitan sama buk Fatimah, Mumu dan Mirna pun berangkat ke klinik dokter Fitrian Afriani. Di kota Selatpanjang dan sekitarnya nama dr. Fitrian Afriani, SpOG memang lumayan terkenal. Selain pelayanannya bagus, hasil pemeriksaan yang akurat dia juga terkenal dengan kecantikannya. Masih sangat muda. Baru 22 tahun tapi sudah berhasil menyandang gelar dokter spesialis kandungan. Tak sembarang orang yang mampu menggapainya.
Praktek dr. Fitrian Afriani berada di jalan Diponegoro.
Perlu waktu sekitar lima belas menit dari rumah pak Wahab untuk bisa sampai di sini.
Bangunan tempat praktek ini tidak terlalu megah. Hanya terdiri dari ruko 2 lantai.
Tempat prakteknya berada di bagian tengah ruangan sedangkan bagian depan adalah apotik dan tempat pendaftaran. Sedangkan ruangan tunggu pas berhadapan langsung dengan kamar praktek dokter.
"Selamat pagi, Dik! Ada yang bisa saya bantu?" Melihat tampang Mirna dan Mumu masih sangat muda sehingga wanita bagian pendaftaran itu menyapa mereka dengan kata 'dik'.
Mirna diam saja seolah-olah sengaja menyuruh Mumu untuk menjawabnya.
"Kami mau daftar untuk pemeriksaan kandungan, Kak."
"Ooo sudah berapa bulan istrinya hamil? Apakah sebelumnya sudah pernah cek di fasilitas kesehatan?" Wanita itu menatap Mumu dan Mirna dengan tatapan penuh selidik.
"Usia kehamilannya sekitar empat bulan, kak. HPHTnya sekitar tanggal 10 bulan Februari. Cuma kami belum pernah periksa kehamilan selama ini sehingga belum mendapatkan buku pink."
Mirna dan wanita bagian pendaftaran itu menatap Mumu dengan pandangan takjub.
Mumu sepertinya sangat paham tentang ilmu kebidanan. Yang membuat Mirna sendiri tak habis pikir adalah dari mana Mumu tahu haid terakhirnya? Sedangkan Mirna tak pernah bilang ke siapa-siapa apa lagi ngomong kepada Mumu.
Mirna tak tahu bahwa semua buku yang ada di perpustakaan umum sudah Mumu baca termasuk buku tentang kesehatan.
Mengenai umur kehamilan dan HPHTnya Mumu ketahui ketika Mumu mengobati Mirna.
Lewat urat nadi Mirna, Mumu bisa menduganya dan ternyata benar.
"Boleh saya meminta kopyan KK, KTP atau buku nikahnya, Dik?"
"Apa memang seperti itu prosedurnya, Kak? Pakai minta foto kopy identitas segala. Seperti di rumah sakit saja?"
Wanita itu tersenyum canggung. Karena memang tak ada syarat seperti itu untuk pengunjung normal. Tapi pasangan yang di depannya beda. Bagaimana jika mereka bukan pasangan suami istri?
Nanti kliniknya akan mendapatkan kesan buruk dalam pandangan masyarakat. Seolah-olah mendukung kehamilan di luar nikah.
"Ha ha kalau tak ada persyaratan yang diminta jangan belagu. Pulang saja sana!
Dasar pasangan yang tak jelas. Masih remaja kok sudah hamil."
Sepasang suami istri muncul di belakang Mirna. Si lelaki ganteng, tinggi besar. Sedangkan si wanita lumayan cantik. Dilihat dari penampilan lumayan kaya. Rupanya mereka juga ingin periksa kandungan. Itu terlihat dari perut si wanita. Mumu menebak usia kandungan wanita tersebut berkisar tujuh bulanan.
Suara yang penuh penghinaan tadi berasal dari si lelaki tersebut.
Mirna marah karena apa yang dikatakan oleh lelaki tadi mengena benar di hatinya. Siapa pun tak bisa menerima jika aibnya diperlihatkan di publik.
Tapi sebelum dia melontarkan amarahnya, Mumu tiba-tiba mengenggam tangannya dan tersenyum, "Jangan dipedulikan." Katanya.
"Kenapa? Takut?" Benarkan kalau kalian pasangan yang tak sah? Minggir sana! Menganggu orang yang mau mendaftar saja."
Mendengar kata-kata laki-laki itu membuat pengunjung lain menatap Mumu dan Mirna dengan pandangan jijik dan penuh penghinaan.
"Mereka masih sangat muda. Tak mungkin kan kalau mereka sudah menikah?" Bisik mereka.
"Berani pula mereka datang ke sini. Memang sengaja mencari masalah."
"Atau mereka dibayar oleh saingan klinik ini agar klinik ini rusak citranya.
Berbagai tanggapan walau pun diucapkan dengan suara perlahan tapi masih bisa sampai di telinga Mumu. Ini berkat metode pernafasan yang telah ia praktekkan setiap hari.
Mumu menatap laki-laki yang mulutnya penuh ucapan kasar tersebut, "Apa maksud abang mengucapkan kata-kata seperti itu? Perasaan saya jumpa saja baru pertama kali ini jadi saya kira kita tidak punya dendam apa-apa." Mumu perlahan perlahan mendekat. Laki-laki sok tadi tanpa sadar mundur selangkah. Agak kecut hatinya melihat tatapan Mumu.
Raminten