Ini bukan kisah istri yang terus-terusan disakiti, tetapi kisah tentang cinta terlambat seorang suami kepada istrinya.
Ini bukan kisah suami yang kejam dan pelakor penuh intrik di luar nalar kemanusiaan, tetapi kisah dilema tiga anak manusia.
Hangga telah memiliki Nata, kekasih pujaan hati yang sangat dicintainya. Namun, keadaan membuat Hangga harus menerima Harum sebagai istri pilihan ibundanya.
Hati, cinta dan dunia Hangga hanyalah untuk Nata, meskipun telah ada Harum di sisinya. Hingga kemudian, di usia 3 minggu pernikahannya, atas izin Harum, Hangga juga menikahi Nata.
Perlakuan tidak adil Hangga pada Harum membuat Harum berpikir untuk mundur sebagai istri pertama yang tidak dicintai. Saat itulah, Hangga baru menyadari bahwa ada benih-benih cinta yang mulai tumbuh kepada Harum.
Bagaimana jadinya jika Hangga justru mencintai Harum saat ia telah memutuskan untuk mendua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeni Eka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Harum.
Nata masih mengingat nama perempuan berwajah ayu tersebut.
“Nat-Nata.” Nata bisa melihat raut keterkejutan Hangga dari suaranya.
Sejenak Nata tertegun menatap genggaman tangan Hangga pada Harum.
Hangga yang baru menyadari hal tersebut langsung melepas genggaman tangannya pada Harum.
Perempuan cantik berusia 24 tahun itu menatap Harum sejenak lalu beralih menatap kekasihnya. “Dia siapa kamu, Hangga?” tanyanya sembari menahan sesak. Rasanya sangat sulit untuk berpikir positif pada situasi yang dihadapi kali ini.
“Siapa dia, Hangga?!” ulang Nata dengan sedikit berteriak.
“Kita bicara di dalam, Nat.” Hangga menarik tangan Nata, mengajaknya masuk ke rumah, lalu menuntunnya untuk duduk di sofa.
Sementara Harum bergeming dalam kebingungan, memperhatikan Hangga yang sudah membawa masuk Nata.
“Dia siapa kamu, Hangga? Ayo jawab!” Untuk kali ketiga pertanyaan itu terlontar dari bibir Nata. Mata gadis cantik itu sudah berembun, menahan sesuatu yang mungkin saja bakal terjatuh.
“Dia istriku,” ungkap Hangga. Ia berbicara dengan kedua tangan menggenggam erat tangan kekasihnya.
“Kamu jahat, Hangga! Kamu jahat!” teriak Nata. Emosinya meluap seiring pengakuan menyakitkan dari pria yang teramat dicintainya itu.
Nata memberontak ingin melepaskan tangannya dari genggaman Hangga. Rasanya ingin sekali meninju pria yang tengah berlutut di hadapannya itu.
“Tega kamu, Hangga! TEGA!” Nata meraung penuh kemarahan.
“Maafkan aku, Nat. Aku terpaksa. Ini bukan keinginan aku. Ibu masuk rumah sakit, lalu meminta aku untuk menikahi dia. Aku enggak ada pilihan lain. Aku enggak bisa menolak permintaan Ibu.” Hangga melepas genggaman tangannya lalu meraih tubuh Nata untuk memeluknya.
“Aku enggak cinta sama dia. Aku cintanya sama kamu, Nat. Aku hanya mencintai kamu," tuturnya sembari mendekap tubuh kekasih yang sangat dicintainya.
“Kamu jahat, Hangga! Kamu mengkhianati aku. Kamu bohongi aku. Huuu ... huuu ....” Nata tidak dapat lagi menahan air kesedihan yang terus mendesak. Ia menangis meraung di pelukan Hangga.
“Maafkan aku, Nat,” ucap Hangga semakin memeluk erat Nata.
Setelah menangis beberapa saat, Nata memberontak melepaskan diri dari pelukan Hangga. Perempuan cantik itu memukuli dada Hangga, menangis meraung sembari berkali-kali mengucapkan kata ‘jahat’ kepada kekasihnya.
Nata merasakan sakit teramat sakit karena pengkhianatan Hangga. Meskipun kisah cinta mereka sulit untuk disatukan dalam sebuah ikatan hubungan masa depan, tetapi tidak bisakah Hangga tetap setia padanya? Seperti ia yang juga setia pada Hangga.
“Jangan pergi, aku masih ingin bersama kamu.” Itu adalah kalimat yang sering Hangga ikrarkan setiap semangat mereka dalam menjalani hubungan cinta mulai surut.
Apakah Hangga tidak mengingatnya? Bukankah mereka berjanji untuk selalu saling mencintai tanpa mengkhianati?
“Sejak kapan kamu mengkhianati aku?” tanya Nata dengan berteriak.
“Aku tidak pernah mengkhianati kamu, Nata. Aku sangat mencintai kamu,” kilah Hangga.
“Kalau kamu cinta harusnya kamu tidak seperti ini, Hangga!” kata Nata emosi.
“Aku terpaksa Nata. Aku menikahi dia demi ibuku.”
“Sejak kapan kalian menikah, hah?! Kamu sudah bohongi aku, Hangga.” Nata kembali memukuli Hangga. “Kamu bohong! Kamu jahat!”
Hangga diam saja membiarkan Nata memukulinya. Ia sadar keputusan untuk menyembunyikan pernikahannya pada sang kekasih membuat sakit hati Nata menjadi lebih sakit berkali lipat.
“Nat, dengarkan cerita aku dulu.” Setelah beberapa jenak terdiam, membiarkan Nata meluapkan emosi kemarahannya, Hangga menangkap tangan Nata yang tengah memukulinya, kemudian memeluk tubuh kekasihnya selama beberapa saat.
Nata menangis histeris di pelukan Hangga. Kemarahan dan kesedihan yang teramat menyesak di dada membuat air matanya seakan tidak dapat berhenti.
Cukup lama Nata menangis sembari sesekali tangannya memukul dada Hangga. Setelah dilihatnya emosi Nata mereda, meskipun belum hilang sepenuhnya, Hangga kembali mendudukkan Nata di sofa. Sementara Hangga mengambil posisi berlutut sembari menggenggam tangan Nata.
“Tiga minggu yang lalu aku menikah. Namanya Harum. Dia salah satu karyawan Ibu. Aku enggak bisa menolak keinginan Ibu untuk menikahi Harum.” Hangga menjeda ucapannya untuk mengusap bulir luka yang menjejaki pipi mulus perempuan cantik di hadapannya.
“Aku tidak pernah mencintainya. Cintaku hanya untuk kamu, Nata. Bahkan, sampai detik ini, aku belum pernah menyentuhnya sekali pun. Selama ini kami tidur terpisah. Harum tidur di kamar tamu," tutur Hangga lagi di tengah isakan kekasihnya.
Nata mencebik mendengar penuturan Hangga "Mana mungkin menikah, tapi tidak bersentuhan," sahutnya dengan terisak-isak.
“Kalau kamu enggak percaya, kamu bisa lihat kopernya di kamar aku. Baru tadi kami membereskan barang-barangnya untuk dipindahkan ke kamarku. Aku enggak mau menyakiti Ibu. Aku enggak mau Ibu marah karena melihat Harum tidur di kamar tamu. Kami sepakat untuk bersandiwara di depan Ibu, berpura-pura seperti pasangan suami istri yang mesra untuk menyenangkan Ibu. Percaya sama aku, Nat. Aku enggak mencintai dia. Aku cintanya sama kamu.” Hangga memberikan penjelasan panjang lebar. Ia menyempatkan untuk mengecup kedua tangan Nata bergantian, sebelum melanjutkan penuturannya.
“Tadi kami mengira Ibu dan Ayah yang datang. Makanya aku sama Harum berpura-pura mesra dengan bergenggam tangan. Ternyata yang datang kamu. Sumpah itu hanya akting. Hubungan aku dan Harum tidak seperti pasangan suami istri kebanyakan. Aku menunggu Harum merasa lelah sendiri dengan pernikahan ini. Sehingga dia merasa enggak tahan lalu menggugat ce ....”
“Keterlaluan kamu, Hangga!” Di depan pintu utama, Bu Mirna berseru murka.
sungguh nikmat kn mas Hangga poligami itu 😈
yg bener nggak sadar diri
perempuan yang merendahkan diri sendiri demi cinta yg akhirnya di telan waktu