Lima tahun lalu, malam hujan hampir merenggut nyawa Kapten Shaka Wirantara.
Seorang wanita misterius berhelm hitam menyelamatkannya, lalu menghilang tanpa jejak. Sejak malam itu, Shaka tak pernah berhenti mencari sosok tanpa nama yang ia sebut penjaga takdirnya.
Sebulan kemudian, Shaka dijodohkan dengan Amara, wanita yang ternyata adalah penyelamatnya malam itu. Namun Amara menyembunyikan identitasnya, tak ingin Shaka menikah karena rasa balas budi.
Lima tahun pernikahan mereka berjalan dingin dan penuh jarak.
Ketika cinta mulai tumbuh perlahan, kehadiran Karina, gadis adopsi keluarga wirantara, yang mirip dengan sosok penyelamat di masa lalu, kembali mengguncang perasaan Shaka.
Dan Amara pun sadar, cinta yang dipertahankannya mungkin tak pernah benar-benar ada.
“Mas Kapten,” ucap Amara pelan.
“Ayo kita bercerai.”
Akankah, Shaka dan Amara bercerai? atau Shaka memilih Amara untuk mempertahankan pernikahannya, di mana cinta mungkin mulai tumbuh.
Yuk, simak kisah ini di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Jangan pergi ... Amara
Amara segera berjongkok menyambut anaknya, memeluk Azril erat seolah tak ingin melepaskannya,
“kamu nggak apa-apa, sayang?”
Azril menggeleng pelan, wajahnya masih sedikit pucat, tapi matanya berbinar melihat ibunya.
“Nggak, Mama. Azril cuma jatuh dikit.”
"Maaf, saya meminta maaf atas nama anak saya," kata Amara, di sisi lain Shaka masih nampak terkejut dan menatap Amara begitu lama. Namun sebelum sempat mendekat, wanita yang tadi memarahi anaknya justru menghadang Amara.
“Oh, ini ibunya? Sudah pantas, anaknya kurang ajar, ibunya pun sama!”
Amara menatap tajam, berusaha menahan diri.
“Saya sudah minta maaf. Sekarang tolong beri jalan, saya ingin membawa anak saya pergi.”
Pria itu melangkah mendekat, wajahnya menantang penuh keangkuhan.
“Kamu … sepertinya belum mengenal saya, ya?” katanya, dengan nada congkak. “Saya Arif, manajer di perusahaan terbesar, perusahaan milik keluarga Marvionne.”
Langkah Amara terhenti, nama itu membuat kedua alisnya berkerut samar. Namun sebelum ia sempat berkata apa pun, Shaka yang berdiri di dekatnya menatapnya tanpa berkedip. Seolah waktu berhenti antara yakin dan tidak, antara rindu dan keterkejutan yang menyakitkan.
Amara mengalihkan pandangan, menarik napas pelan sebelum menjawab dengan nada datar, “Baiklah, kalau begitu … katakan saja berapa kerugianmu. Aku akan ganti.”
Pria itu terkekeh sinis, dia mendekat, jarak mereka kini hanya sejengkal. Tatapannya menelusuri wajah Amara dengan cara yang membuat orang di sekitar merasa tidak nyaman.
“Kalau uang tidak cukup … bagaimana kalau kamu saja yang ganti? Temani anak buahku minum malam ini,” katanya seraya menoleh ke arah beberapa bawahannya yang tertawa rendah di belakangnya.
Azril langsung memeluk kaki ibunya ketakutan. Sebelum Amara sempat bereaksi, sebuah tangan besar mencengkeram kuat lengan pria itu.
“Cukup!” Suara Shaka terdengar rendah, tapi tajam seperti pisau. Dalam hitungan detik, tubuh pria itu terhempas ke lantai setelah menerima satu tendangan keras di dada.
Kerumunan sontak teriak kaget.
“Menjauh darinya,” Shaka menatap tajam ke arah pria itu yang kini meringis menahan sakit. “Atau tanganmu akan ku patahkan di depan semua orang.”
Amara menatap Shaka, antara lega, kaget, dan entah perasaan apa lagi yang mengaduk di dadanya. Enam tahun tidak bertemu, dan pria itu masih punya tatapan yang sama tapi rasanya berbeda. Ini lebih dingin dan menyakitkan. Amara menggenggam tangan Azril, menunduk.
“Ayo, sayang, kita pergi dari sini!"
Namun langkah Shaka tertahan ketika dua pengawal Azril tiba-tiba berdiri di depan Shaka, menghadang agar ia tak mengikuti Amara. Shaka berhenti, menatap mereka dengan rahang menegang. Dari belakang, pria yang tadi ditendang berdiri dengan wajah penuh amarah, menepuk-nepuk debu di jasnya.
“Berani sekali kau, hah?! Aku akan pastikan Wirantara Air benar-benar hancur! Aku akan hubungi dewan, keluargamu tak akan punya tempat di dunia bisnis lagi!” katanya seraya mengeluarkan ponsel.
Langkah kaki Amara berhenti, dia menoleh perlahan, menatap pria itu dengan dingin.
“Coba saja,” katanya tenang, tapi suaranya cukup kuat untuk menggema di tengah kerumunan.
Kerumunan hening, wanita yang menjadi sumber masalah itu justru melangkah maju, memaki lantang, “Kau ini siapa berani-beraninya menantang suamiku?! Jangan sok berkuasa di depan umum, perempuan tak tahu diri!”
Amara hanya tertawa lirih getir tapi berwibawa. Lalu, ia mengeluarkan ponselnya. Jemarinya menekan satu nama di layar.
“Zico,” katanya datar ketika panggilan tersambung, “pecat manajer Arif dari perusahaan cabang Bandung. Cabut semua hak istimewa yang dia dapat dari keluarga Marvionne, sekarang!”
Wanita itu menatap Amara seperti orang gila.
“Omong kosong apa lagi ini? Kau pikir siapa dirimu?!”
Namun detik berikutnya, ponsel di tangan sang suami berdering. Wajahnya memucat seketika saat mendengar suara dari seberang.
[Pak Arif, mulai hari ini, Anda resmi diberhentikan. Semua akses dan fasilitas Anda kami cabut.]
Telepon terputus suasana beku, pria itu menatap Amara tak percaya.
“Siapa ... siapa kamu sebenarnya?”
Belum sempat Amara menjawab, wanita di sampingnya mengangkat vas bunga yang baru dibelinya dan mengayunkannya ke arah kepala Amara. Tapi sebelum benda itu mengenai wajahnya, Shaka melangkah cepat dan menahan serangan itu dengan tubuhnya.
Suara pecahan kaca terdengar keras. Vas bunga hancur, darah menetes dari pelipis Shaka.
“Shaka!” jerit Amara spontan, memeluk Azril erat sambil menatap pria itu dengan mata membulat penuh terkejut. Shaka masih berdiri tegak di depannya, tubuhnya menjadi perisai di antara Amara dan wanita itu.
Suaranya serak tapi tegas, “Tak ada satu pun yang boleh menyentuh dia.”
Kerumunan mall kembali bergemuruh campuran teriakan, bisikan, dan suara langkah orang yang memundurkan diri menjauh. Beberapa anak kecil menangis ketakutan, sementara orang dewasa sibuk merekam kejadian itu dengan ponsel.
Shaka berdiri tegak meski darah mengalir dari pelipisnya. Tubuhnya menjadi benteng kokoh antara Amara dan wanita yang tadi menyerangnya.
Wanita itu mundur beberapa langkah, pucat, tangannya gemetar karena baru sadar siapa yang sebenarnya ia hadapi. Suaminya pun sama, tak lagi sombong, kini hanya berdiri terpaku memandangi pecahan vas dan darah yang menetes ke lantai.
Amara melangkah cepat mendekat.
Wajahnya biasanya selalu tenang, kini berubah penuh kecemasan.
“Kapten Shaka … kamu ... kamu terluka, kamu berdarah…”
Shaka mengusap pelipisnya dengan punggung tangan, darah merah tersapu tapi terus mengalir. Namun ia tetap menatap Amara, bukan lukanya. Tatapan pria yang baru saja menemukan sesuatu yang tak pernah ingin ia lepaskan lagi.
“Selama kamu dan Azril baik-baik saja … itu tidak masalah,” gumam Shaka pelan.
Nama itu, Azril, membuat Amara terkejut.
Bocah kecil itu menggenggam ujung baju ibunya, menatap Shaka yang berdarah dengan mata bulat cemas.
“Om ... Mama Om itu terluka karena nolong mama?”
Shaka tersenyum samar, meski wajahnya tegang.
“Tidak apa-apa, Nak.”
Kerumunan mulai bergeser ketika petugas keamanan mall datang, sebagian mengamankan pasangan suami-istri yang tadi bertindak kasar. Pria itu masih mencoba bersuara, tapi kata-katanya kini terdengar gemetar,
“Ini … ini salah paham … saya … saya...”
Namun Amara hanya menatapnya dingin tanpa sepatah kata pun. Pandangan yang membuat pria itu menelan ludah keras-keras.
Pengawal Azril maju menghampiri Amara.
“Nona, mobil sudah siap. Kita harus pergi sekarang.”
Amara mengangguk, dia meraih tangan Azril, hendak melangkah pergi dari tempat itu namun,
“Amara...” Bisik Shaka pelan, suara yang dulu pernah memenuhi hidupnya, lalu menghancurkannya. Shaka melangkah mendekat, tertatih sedikit, tetapi suaranya jelas.
“Tolong … jangan pergi.”
Amara memejamkan mata sejenak, lalu ia berbisik pada Azril,
“Ayo, sayang, kita pulang!”
Saat mereka mulai berjalan, pengawal otomatis membentuk barikade. Shaka ingin mengikuti tapi pengawal menahan tubuhnya.
“Maaf, Kapten Shaka. Nona Amara tidak ingin bertemu Anda.”
Shaka menggenggam lengan pengawal itu, napasnya tersengal.
“Jangan halangi … aku hanya ingin bicara…”
Pengawal menatapnya dengan sikap profesional.
“Kapten, Nona Amara sudah memutuskan enam tahun lalu, jangan paksa lagi!"
Shaka mundur selangkah, dada bergetar, darah mengalir di wajahnya. Dan ketika Amara akhirnya menghilang di balik pintu mall menuju parkiran, suara Shaka pecah dengan serak yang terdengar seperti pria yang kehilangan segalanya.
“Amara … tolong…”
Namun wanita itu tidak berhenti, dia hanya menggenggam tangan anaknya lebih kuat.
Bruk!
Tubuh Shaka terjatuh di lantai, beberapa orang mendekat, begitu juga orang yang tadi datang bersama dengan Shaka.
"Mas Shaka," bisik Amara saat berbalik menatap pria itu yang pingsan.
bagaimana rasanya Shaka, bertemu dengan anak sendiri dan Amara ?
silahkan bangkit, bangun kejayaan lagi. jadi pria peka & bertanggung jawab. pantaskan dirimu dlu, baru kejar Amara.
ingat, buang si licik dr hidupmu !!
jangan sampai si ulet bulu itu masih berkeliaran dan menganggu Shaka