Lima tahun lalu, malam hujan hampir merenggut nyawa Kapten Shaka Wirantara.
Seorang wanita misterius berhelm hitam menyelamatkannya, lalu menghilang tanpa jejak. Sejak malam itu, Shaka tak pernah berhenti mencari sosok tanpa nama yang ia sebut penjaga takdirnya.
Sebulan kemudian, Shaka dijodohkan dengan Amara, wanita yang ternyata adalah penyelamatnya malam itu. Namun Amara menyembunyikan identitasnya, tak ingin Shaka menikah karena rasa balas budi.
Lima tahun pernikahan mereka berjalan dingin dan penuh jarak.
Ketika cinta mulai tumbuh perlahan, kehadiran Karina, gadis adopsi keluarga wirantara, yang mirip dengan sosok penyelamat di masa lalu, kembali mengguncang perasaan Shaka.
Dan Amara pun sadar, cinta yang dipertahankannya mungkin tak pernah benar-benar ada.
“Mas Kapten,” ucap Amara pelan.
“Ayo kita bercerai.”
Akankah, Shaka dan Amara bercerai? atau Shaka memilih Amara untuk mempertahankan pernikahannya, di mana cinta mungkin mulai tumbuh.
Yuk, simak kisah ini di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Semakin dikejar semakin jauh
Shaka berdiri beberapa langkah dari mereka, tubuh tegapnya tampak goyah karena luka yang belum pulih sepenuhnya. Perban di kepalanya masih terlihat jelas, namun matanya hanya terpaku pada Amara dan pria yang berdiri di sampingnya.
Arya menatap Shaka dengan tenang, sedikit mengangkat alis. Sementara Amara menarik napas dalam, wajahnya tegar meski hatinya sedikit gemetar.
“Untuk apa datang ke sini?” suara Amara pelan tapi penuh benteng.
Shaka membuka mulut, seakan ingin tersenyum namun gagal.
“Aku cuma ingin bicara.”
Tatapan Shaka jatuh ke buket mawar di tangan Amara pemberian Arya. Lalu ke buket yang ia bawa sendiri. Dadanya seperti ditarik ke dua arah. Arya tersenyum tipis yang sudah berada di mobil, lalu turun kembali, dia tersenyum sopan namun jelas membuat Shaka tidak nyaman.
“Amara memang menungguku.” Ujar Arya, rahang Shaka menegang.
“Jadi … sekarang kamu sudah punya penggantiku?”
Amara hampir mendesah frustrasi.
“Arya itu pamanku.”
Mata Shaka membesar sedikit, wajahnya berubah, bukan lega tapi malu karena telah salah menduga. Arya tersenyum ramah, mengangguk singkat.
“Senang akhirnya bisa bertemu Kapten Shaka.”
Shaka hanya mengangguk kaku, tidak siap untuk formalitas apa pun. Amara melirik jam.
“Paman Arya, kita harus ke sekolah Azril. Dia mungkin sudah menunggu.”
Arya mengangguk, bersiap berjalan. Shaka melangkah cepat, menghentikan Amara.
“Jadi … kamu benar-benar akan terus menghindar seperti ini?”
Amara berhenti, menatap Shaka tanpa gemetar.
“Kapten Shaka. Aku bukan menghindar.”
Ia menelan napas.
“Aku sudah memilih untuk hidup tanpa adanya nama kita.”
Shaka menegang seolah ditembak.
“Kamu memilih bercerai saat aku jatuh di medan tugas. Kau pergi saat aku bahkan tidak bisa mengejar.”
Amara mengepalkan tangan, kalimat itu menusuknya tapi tetap benar.
“Aku pergi karena aku tidak sanggup lagi menunggu sesuatu yang bahkan tidak menjamin aku dan anakku mendapat tempat di hatimu.”
Shaka maju selangkah.
“Aku selalu menjaga kalian.”
“Dari jauh, Shaka.” Sela Amara menatapnya dengan perih yang tidak ia tunjukkan.
“Tapi tidak pernah dari sisi kami.”
Arya akhirnya maju, berdiri sedikit di depan Amara.
“Kapten Shaka, Amara bukan menghindar. Dia hanya mengikuti keputusannya sendiri.”
Shaka menatap Arya lama, entah kenapa, walaupun tahu pria ini pamannya, tetap saja ada rasa tidak nyaman.
“Aku tidak ingin kehilangan dia lagi.” suara Shaka parau.
“Atau Azril.”
Amara menunduk sedikit, kalimat itu menggoyahkan bentengnya, meski ia tidak mau mengakuinya.
“Kamu sudah kehilangannya saat aku menandatangani surat cerai, Kapten Shaka.” Dia masuk ke dalam mobil bersama Arya. Lalu, mobil Arya berhenti tepat di depan mereka.
“Dan aku tidak menyesalinya.” Kalimat itu menghantam Shaka keras. Tangannya melemah, memegang buket yang tidak jadi ia berikan.
Mobil itu pergi, meninggalkan Shaka berdiri sendirian di bawah terik matahari.
Zico yang melihat dari jauh akhirnya menghampiri.
“Kapten Shaka … Anda baik-baik saja?”
Shaka tidak menjawab, hanya memandang jalan tempat mobil itu menghilang. Lalu, perlahan-lahan, muncul tekad di matanya.
Bukan marah, bukan kecewa, tapi keinginan keras untuk memperbaiki.
“Aku akan membuat Amara mau melihatku lagi.”
Suara Shaka rendah, penuh tekad.
“Meskipun dia yang memilih pergi … aku yang akan membuatnya pulang.”
Sore itu, kantor Marvionne mulai sepi. Beberapa karyawan telah pulang, namun lobi masih terang dengan lampu kristal yang memantul di lantai marmer.
Di meja resepsionis, deretan buket bunga tersusun rapi.
Bunga-bunga itu indah, mawar merah, lily putih, hydrangea biru, semuanya dikirim oleh satu nama, Kapten Shaka Wirantara. Dan satu pun tidak diterima Amara.
Amara berjalan melintasi lobi dengan langkah elegan, map kerja di tangan. Ia berusaha tampak biasa saja, tenang dan profesional. Namun saat melewati meja resepsionis, matanya tanpa bisa ia cegah melirik ke tumpukan bunga itu, sekilas saja. Tapi cukup untuk membuat dadanya menegang.
“Nona Amara … ini … dari Kapten Shaka lagi.” bisik resepsionis, sedikit takut salah bicara.
Amara hanya tersenyum tipis, bukan marah dan bukan juga jengkel. Tapi senyum yang menyimpan terlalu banyak luka dan kenangan.
“Buang saja, atau berikan ke yang lain ... biar jadi rezeki mereka.”
Resepsionis mengangguk, namun dalam hati merasa sayang karena bunga itu sangat mahal. Amara kembali berjalan ke arah lift.
Zico yang sejak tadi menunggunya di dekat pintu keluar memperhatikan semuanya. Saat Amara mendekat, Zico bisa melihat jelas ada senyum kecil di sudut bibir Amara. Senyum yang cepat ia sembunyikan.
Senyum yang hanya muncul saat hati seseorang tidak sekuat yang ia pertontonkan, Zico menahan tawa dan dia berjalan mengikuti Amara.
“Nona Amara…”
Amara menoleh, rautnya kembali dingin seperti biasa.
“Kenapa?”
Zico mengangkat alis, memiringkan kepala.
“Jangan buang senyum itu cepat-cepat. Saya sempat melihatnya tadi.”
Amara memutar bola mata.
“Senyum apa?”
Zico tidak menyerah.
“Yang muncul tiap kali lihat bunga dari Kapten Shaka.”
Amara terdiam setengah detik, kemudian ia menyibukkan diri merapikan tas.
“Saya tersenyum karena kasihan resepsionis harus menata bunga sebanyak itu. Tidak lebih.”
Zico terkekeh pelan.
“Kalau begitu, kenapa pipi Nona jadi merah?”
Amara langsung menyentuh pipinya refleks, lalu sadar dan menatap Zico tajam.
“Zico.”
“Ya?”
“Diam.”
Zico diam sambil menaruh tangan di dada seolah hormat.
“Baik, Nona. Tapi saya tetap tahu Nona masih mencintai Kapten Shaka.”
Amara berhenti melangkah, hanya sebentar. Lalu ia melanjutkan berjalan menuju mobil. Namun kali ini, Zico menyadari sesuatu Amara tidak menyangkalnya.
Dan itu cukup membuat Zico yakin, jarak Amara dan Shaka sebenarnya tidak sejauh yang mereka kira.
Hati2 kapten Shaka, hari ini Amara berhasil dan sasaran selanjutnya kamu kapten Shaka