Dituduh pembunuh suaminya. Diusir dari rumah dalam keadaan hamil besar. Mengalami ketuban pecah di tengah jalan saat hujan deras. Seakan nasib buruk tidak ingin lepas dari kehidupan Shanum. Bayi yang di nanti selama ini meninggal dan mayatnya harus ditebus dari rumah sakit.
Sementara itu, Sagara kelimpungan karena kedua anak kembarnya alergi susu formula. Dia bertemu dengan Shanum yang memiliki limpahan ASI.
Terjadi kontrak kerja sama antara Shanum dan Sagara dengan tebusan biaya rumah sakit dan gaji bulanan sebesar 20 juta.
Namun, suatu malam terjadi sesuatu yang tidak mereka harapkan. Sagara mengira Shanum adalah Sonia, istrinya yang kabur setelah melahirkan. Sagara melampiaskan hasratnya yang ditahan selama setelah tahun.
"Aku akan menikahi mu walau secara siri," ucap Sagara.
Akankah Shanum bertahan dalam pernikahan yang disembunyikan itu? Apa yang akan terjadi ketika Sonia datang kembali dan membawa rahasia besar yang mengguncang semua orang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Dokter Marchel memijat pelipisnya. Sudah berhari-hari ia tidak tidur nyenyak. Wajahnya tampak lelah, matanya menatap kosong ke layar berkas medis yang menumpuk di meja. Di antara catatan itu, ada satu kasus yang menekan jiwanya. Yaitu masalah bayi yang tertukar. Kasus yang bisa menghancurkan nama baik rumah sakit dan kariernya sendiri.
“Saat ini Dokter Anton sedang ke luar kota, menghadiri seminar,” ucap Marchel akhirnya, suaranya berat.
“Lalu, perawat yang bertugas hari itu di mana sekarang, Dok?” tanya Sagara, nadanya tegas, tapi di balik ketegasan itu ada nada getir yang sulit disembunyikan.
Marchel menatap pria muda di depannya itu.
“Ada sembilan perawat yang bekerja hari itu. Aku akan menyelidikinya diam-diam. Kita tidak boleh gegabah. Satu langkah salah bisa membuat kebenaran terkubur lebih dalam.”
Papi Leon berdiri, wajahnya tegang. “Saya ingin kabar secepatnya, Dokter. Kalau tidak, saya akan buat masalah ini ke publik.”
Nada suara Papi Leon seperti vonis. Dokter Marchel hanya bisa menunduk, menerima beban moral yang makin berat di pundaknya.
Sagara ikut berdiri. Begitu pula Mami Kartika dan Shanum yang masih menggendong Abyasa. Wajah mereka pucat, seolah darah telah mengering di tubuh. Dua hati yang terguncang, dua jiwa yang kini kehilangan arah. Bahkan tidur dan makan tak lagi terasa berarti.
Sepanjang perjalanan pulang, mobil berjalan dalam diam. Tak ada satu pun suara selain napas yang tertahan. Sagara menatap cermin spion, melihat Shanum di kursi belakang bersama Mami Kartika. Di pangkuan keduanya, Abyasa dan Arsyla tampak tenang, bermain dengan jari kecil mereka. Ironis, di tengah badai yang mengancam, justru tawa polos anak-anak itu menjadi satu-satunya cahaya.
Begitu sampai di rumah, suara celoteh dua bayi itu memenuhi ruangan, seperti membawa kehidupan kembali ke dinding yang bisu.
“Mas, aku ingin istirahat,” ucap Sonia lirih dari kursi rodanya.
“Ya,” jawab Sagara pelan. Ia mendorong kursi istrinya ke kamar, membantunya berbaring dengan lembut di atas ranjang. Wajah Sonia tampak pucat, tapi matanya menyimpan kegelisahan yang dalam.
“Mas,” panggilnya pelan.
“Ya?”
“Apa yang akan kita lakukan sekarang? Abyasa ternyata anak Mbak Shanum,” ucap Sonia pelan nyaris tenggelam di antara napas.
Sagara terdiam. Pandangannya jatuh ke lantai, seolah sedang menimbang sesuatu yang berat.
“Tidak apa-apa,” ujar Sagara akhirnya, suara lirihnya terdengar nyaris putus. “Abyasa tetap anakku juga. Bukankah dia tumbuh di pelukanku, memanggilku ‘Papa’? Justru ini membuat segalanya terasa adil. Arsyla anakmu, dan Abyasa anak Shanum.”
“Tapi, Mas ....” Sonia memalingkan wajah. “Mbak Shanum tidak ingin hidup berpoligami. Dia bilang, dia akan pergi dari sini.”
Sagara langsung menoleh, seolah disengat sesuatu. “Apa?”
“Kemarin dia bilang begitu. Katanya tidak ingin menyakiti aku, dan tidak ingin terus menipu dirinya sendiri. Kalau bertahan, yang ada kita semua saling menyakiti.”
Sagara terdiam lama. Di wajahnya tergambar kecewa, marah, dan takut bercampur menjadi satu.
“Dia janji akan tetap di sini,” bisik Sagara pelan, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Dia bahagia bisa bersama aku dan anak-anak, Sonia.”
Sonia hanya menatapnya sedih. “Cinta kadang tidak cukup untuk membuat seseorang bertahan, Mas.”
Sagara tidak menjawab. Ia berdiri, wajahnya keras, rahangnya menegang. Lalu tanpa sepatah kata lagi, ia meninggalkan kamar itu. Langkahnya cepat, berderap ke arah lantai atas, menuju kamar Shanum.
Shanum baru saja hendak menuju kamar mandi ketika pintu kamarnya terbuka tiba-tiba. Sosok Sagara berdiri di ambang pintu dengan napasnya berat, sorot matanya tajam.
“Mas?” Shanum menatap heran, tangannya refleks menahan dada. “Ada apa?”
Sagara tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya lama dan dalam, seperti mencari jawaban yang tak ditemukan di mana pun.
“Aku dengar kamu ingin pergi,” ucap Sagara akhirnya, suaranya rendah tapi menekan.
Shanum menunduk. “Mas ....”
“Benarkah?”
“Aku hanya tidak ingin jadi alasan seseorang terluka,” jawab Shanum pelan.
Sagara mendekat selangkah. “Kamu pikir aku tidak terluka kalau kamu pergi?”
Shanum tidak bisa menatapnya.
“Mas, aku sudah mencoba menerima semuanya. Tapi setiap malam aku merasa bersalah. Aku merasa merebut sesuatu yang bukan milikku—”
“Kamu tidak merebut apa pun,” potong Sagara cepat. “Aku yang memilih. Aku yang ingin kamu di sini.”
“Dan aku yang harus menanggung beban dari pilihan itu,” jawab Shanum lirih. “Aku mencintaimu, Mas. Tapi cinta ini terlalu menyakitkan kalau harus berbagi.”
Kata-kata Shanum barusan menampar batin Sagara. Ia menatap wanita itu lama. Wanita yang telah menemaninya melewati masa paling gelap, wanita yang menenangkan anak-anaknya saat ia hancur, dan kini justru ingin meninggalkannya.
“Bagaimana aku bisa melepaskan seseorang yang sudah jadi bagian dari hidupku, Shanum?”
tanya Sagara dengan suara parau, seperti menahan sesuatu yang nyaris pecah.
Shanum tersenyum getir. “Kamu tidak perlu melepaskanku, Mas. Aku yang akan pergi dengan tenang. Aku ingin hidup tanpa melukai orang lain atau diri sendiri.”
“Tidak!” seru Sagara, suaranya bergetar.
Air mata mulai menggenang di mata Shanum. “Mas, jangan buat semuanya lebih sulit.”
Sagara memejamkan mata, berusaha menenangkan dirinya. Ketika ia membuka mata lagi, pandangannya penuh luka.
“Selama ini aku berusaha adil,” kata Sagara lirih. “Aku mencintai kalian dengan caraku sendiri. Tapi kenapa rasanya justru aku kehilangan semuanya?”
Shanum menahan tangis. Ia tahu, di balik ketegasan Sagara, ada hati rapuh yang sebenarnya hanya ingin mempertahankan kebersamaan mereka. Namun, dunia tidak sesederhana itu.
Sagara mendekat, berdiri tepat di hadapannya. “Aku tidak akan membiarkan kamu pergi,” kata Sagara tegas.
“Mas, tolong jangan mempersulit—”
Sagara menghentikan ucapan Shanum dengan mencium bibirnya.
“Aku tidak mau mendengar!”
Suasana menjadi hening kembali. Mereka hanya saling menatap. Di mata Sagara ada luka bercampur cinta, di mata Shanum ada keikhlasan yang disertai duka dalam.
“Mas,” ucap Shanum pelan, “aku tahu kamu ingin melindungi semua orang. Tapi kadang, melindungi itu berarti melepaskan. Aku tidak pergi karena tidak cinta, tapi karena aku terlalu mencintaimu untuk terus membuat luka baru.”
Kata-katanya membuat dada Sagara sesak. Ia menatap lantai, rahangnya mengeras.
“Kalau begitu, setidaknya jangan pergi sebelum aku tahu hasil penyelidikan ini selesai,” kata Sagara akhirnya. “Setelah semuanya jelas, baru kamu bisa memutuskan.”
Shanum menatapnya lama, lalu mengangguk pelan. “Baik. Aku janji.”
Sagara menatapnya untuk terakhir kali malam itu. Tatapan panjang tanpa kata, namun penuh seribu makna yang hanya bisa dimengerti dua hati yang sama-sama tersiksa.
Ketika ia akhirnya berbalik meninggalkan kamar itu, Shanum menahan napas panjang. Tangannya menggenggam ujung selimut, mencoba menenangkan gemetar yang tak bisa dikendalikannya.
Dalam keheningan, ia berbisik sendiri, “Kalau benar cinta bisa menguatkan, kenapa rasanya justru membuatku hancur perlahan?”
Shanum tersenyum samar. Air matanya menetes, jatuh ke lantai. Dalam hati, ia tahu tidak peduli hasil apa pun yang akan keluar nanti, hubungan mereka tidak akan pernah sama lagi.
Mudah²an Rosalina gak bikin ulah sm klrg Kecil Gara yah...