Kiana Elvaretta tidak butuh pangeran. Di usia tiga puluh, dia sudah memiliki kerajaan bisnis logistiknya sendiri. Baginya, laki-laki hanyalah gangguan—terutama setelah mantan suaminya mencoba menghancurkan hidupnya.
Namun, demi mengamankan warisan sang kakek, Kiana harus menikah lagi dalam 30 hari. Pilihannya jatuh pada Gavin Ardiman, duda beranak satu yang juga rival bisnis paling dingin di ibu kota.
"Aku tidak butuh uangmu, Gavin. Aku hanya butuh statusmu selama satu tahun," cetus Kiana sambil menyodorkan kontrak pra-nikah setebal sepuluh halaman.
Gavin setuju, berpikir bahwa memiliki istri yang tidak menuntut cinta akan mempermudah hidupnya. Namun, dia salah besar. Kiana tidak datang untuk menjadi ibu rumah tangga yang penurut. Dia datang untuk menguasai rumah, memenangkan hati putrinya yang pemberontak dengan cara yang tak terduga, dan perlahan... meruntuhkan tembok es di hati Gavin.
Saat g4irah mulai merusak klausul kontrak, siapakah yang akan menyerah lebih dulu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Liora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10: Tembok Es vs Wanita Logistik
"BRAK!"
Pintu kamar Kiana terbuka dengan hantaman keras hingga gagang pintunya membentur dinding. Suara itu menggema di lorong lantai dua yang sunyi, memecah ketenangan malam di kediaman Ardiman.
Kiana, yang sedang duduk di depan meja rias sambil membersihkan sisa riasan wajah dengan kapas, tidak melompat kaget. Dia hanya menghentikan gerakan tangannya sejenak, menatap pantulan Gavin di cermin besar di depannya.Pria itu berdiri di ambang pintu dengan napas memburu. Dadanya naik turun, kemeja kerjanya sudah berantakan, dan dasinya longgar miring ke kiri. Wajah tampan yang biasanya dingin dan terkontrol itu kini merah padam, dipenuhi amarah yang meluap-luap.
"Di mana?" geram Gavin, suaranya rendah dan bergetar.
Kiana memutar kursi riasnya perlahan, menghadap Gavin. Dia menyilangkan kaki dengan tenang, masih memegang kapas kotor di tangan kanannya.
"Di mana apanya?" tanya Kiana datar. "Sopan santunmu? Sepertinya tertinggal di garasi."
"Jangan main-main dengan saya. Bi Inah bilang, kamu membersihkan ruang tengah. Kamu membuang semuanya, kan? Foto-foto Sarah. Lukisan dia. Di mana kamu buang senua itu? Di tong sampah depan? Atau kamu bakar di halaman belakang?!"
Gavin mencengkeram lengan kursi Kiana, membungkuk hingga wajah mereka sejajar. Matanya nyalang, penuh dengan rasa sakit dan kebencian.
"Itu kenangan istri saya! Kamu tidak punya hak menyentuh satu milimeter pun barang milik Sarah! Kontrak kita cuma soal bisnis dan Alea, bukan menghapus masa lalu saya!"
Kiana menatap mata Gavin tanpa berkedip. Dia bisa melihat betapa hancurnya pria ini. Di balik amarah itu, ada ketakutan luar biasa akan kehilangan memori tentang wanita yang dicintainya.
Kiana menepis tangan Gavin dari kursi riasnya dengan gerakan tegas.
"Mundur," perintah Kiana dingin. "Napasmu bau amarah dan irasionalitas. Aku nggak bisa bicara sama orang yang otaknya lagi korslet."
"Jawab saya! Di mana foto-foto itu?!" teriak Gavin lagi, tidak peduli.
Kiana menghela napas panjang. Dia berdiri, lalu berjalan santai keluar kamar. Gavin mengikutinya dengan waspada, siap meledak lagi jika Kiana menunjukkan tempat sampah.
Namun, Kiana tidak menuju tempat sampah. Dia berlutut di depan sebuah lemari kaca yang paling aman dan bersih. Di sana, tersusun rapi tiga buah kotak besar berwarna hitam matte dengan pita beludru. Kotak penyimpanan arsip kualitas museum.
Kiana menarik salah satu kotak itu, membawanya ke tengah ruangan, dan meletakkannya di atas ottoman (bangku empuk).
"Buka," kata Kiana singkat.
Gavin menatap kotak itu ragu. Tangannya gemetar saat menyentuh tutup kotak. Perlahan, dia mengangkatnya.
Di dalamnya, tidak ada sampah.
Foto-foto Sarah yang tadinya terpajang di dinding dan meja berdebu, kini tersusun rapi di dalam album foto kulit berkualitas tinggi. Setiap lembar foto dilapisi plastik pelindung bebas asam agar tidak menguning. Bingkai-bingkai foto yang tadinya retak atau kusam sudah dibersihkan. Lukisan wajah Sarah digulung rapi dalam tabung pelindung lukisan di sebelah album.
Semuanya ada di sana. Bersih. Terawat. Dan jauh lebih aman daripada sebelumnya.
Gavin terdiam. Amarahnya yang tadi meledak-ledak tiba-tiba kempes seperti balon yang ditusuk jarum. Dia mengambil satu album, membukanya. Itu foto pernikahan mereka. Kiana bahkan sudah menyusunnya berdasarkan kronologi waktu.
"Aku nggak buang," suara Kiana terdengar lebih lembut, tapi tetap tegas. Dia berdiri di samping Gavin, melipat tangan di dada. "Aku CEO logistik, Gavin. Tugasku adalah menyimpan, merawat, dan mendistribusikan barang dengan cara yang paling efisien dan aman. Membuang aset berharga bukan gayaku."
Gavin menelan ludah, tenggorokannya terasa kering. "Tapi... kenapa? Kenapa kamu turunkan semua dari dinding?"
"Karena rumah ini butuh masa depan, Gavin. Bukan museum kesedihan," jawab Kiana lugas.
Gavin menoleh, menatap Kiana dengan tatapan tak mengerti.
Kiana menunjuk album foto di tangan Gavin. "Kamu sadar nggak, setiap kali Alea jalan dari kamarnya ke ruang makan, dia harus melewati lorong yang isinya wajah ibunya yang sudah meninggal? Lima belas foto besar, Gavin. Lima belas kali dia diingatkan kalau dia nggak punya ibu."
Kiana melangkah mendekat, suaranya menekan. "Anak itu baru tujuh tahun. Dia belum bisa memproses duka dengan benar. Setiap dia lihat foto Sarah tersenyum di dinding, dia merasa bersalah karena dia masih hidup sementara ibunya enggak. Dia merasa dia harus sedih terus untuk menghormati ibunya. Itu beban mental, Gavin. Dan kamu..."
Kiana menunjuk dada Gavin.
"...kamu membiarkan foto-foto itu berdebu di sana karena kamu takut melupakan Sarah. Tapi efeknya, kamu bikin rumah ini jadi kuburan. Dingin. Sepi. Nggak ada yang berani ketawa lepas di ruang tengah karena takut menyinggung 'arwah' yang ada di foto."
Gavin terpaku. Kata-kata Kiana menamparnya telak. Dia tidak pernah berpikir sejauh itu. Baginya, memajang foto Sarah adalah bukti cinta. Dia tidak sadar kalau itu justru menjadi teror psikologis bagi putrinya sendiri.
"Aku..." Gavin tergagap, kehilangan kata-kata. "Alea nggak pernah bilang dia terganggu."
"Alea itu anak kecil yang cerdas tapi gengsian, persis bapaknya," cibir Kiana. "Dia nggak akan bilang. Dia cuma bakal bereaksi dengan cara bakar sampah atau lempar makanan. Dia marah sama situasi, tapi dia nggak tahu kenapa."
Kiana mengambil kotak itu dari tangan Gavin, menutupnya kembali dengan hati-hati.
"Simpan ini di ruang kerjamu. Atau di perpustakaan. Tempat yang privat. Kalau kamu atau Alea rindu, kalian bisa duduk berdua, buka album ini, dan cerita kenangan indah soal Sarah. Itu lebih sehat daripada membiarkan foto-foto ini jadi wallpaper horor yang menghantui setiap sudut rumah."
Kiana mengangkat kotak itu dan menyodorkannya ke dada Gavin.
"Bawa. Ini milikmu. Aku cuma bantu merapikan biar awet."
Gavin menerima kotak itu. Beratnya lumayan, tapi beban di hatinya terasa lebih berat. Dia merasa bodoh. Dia merasa kecil. Dia baru saja memaki-maki wanita yang ternyata justru menyelamatkan mental anaknya.
"Kiana, aku..." Gavin memulai, tapi kalimat maaf tersangkut di lidahnya. Egonya terlalu tinggi.
"Nggak usah minta maaf," potong Kiana, seolah bisa membaca pikiran Gavin. Dia kembali duduk di kursi riasnya, memunggungi Gavin. "Aku melakukan ini bukan buat kamu. Aku melakukannya karena aku nggak mau tinggal di rumah hantu. Dan aku mau Alea berhenti bikin ulah biar aku bisa kerja dengan tenang. Murni bisnis."
Gavin menatap punggung Kiana. Punggung yang tegak, angkuh, tapi entah kenapa terlihat sangat bisa diandalkan. Kiana benar-benar tembok beton yang kokoh.
"Terima kasih," ucap Gavin akhirnya. Suaranya pelan, nyaris berbisik. "Karena sudah... merawat ini."
"Keluar, Gavin. Aku mau tidur. Besok aku ada meeting pagi," usir Kiana tanpa menoleh.
Gavin berdiri diam sejenak, lalu berbalik dan berjalan keluar kamar dengan langkah gontai. Dia menutup pintu kamar Kiana dengan sangat pelan, berbeda 180 derajat dari saat dia mendobraknya tadi.
Di dalam kamarnya sendiri yang gelap dan dingin, Gavin meletakkan kotak hitam itu di atas meja kerjanya. Dia menyalakan lampu belajar, menatap kotak itu lama.
"Museum kesedihan..." gumam Gavin.
Dia melihat sekeliling kamarnya. Benar kata Kiana. Kamar ini dingin. Rumah ini dingin. Selama ini dia mengira dia mempertahankan cinta, padahal dia hanya memelihara luka.
Gavin mengusap wajahnya kasar. Dia merasa lelah sekali. Lelah marah, lelah sedih, lelah berpura-pura kuat. Kedatangan Kiana, dengan segala kekacauan dan barang-barang branded-nya, seperti badai yang memporak-porandakan tatanan dukanya, tapi sekaligus memaksanya untuk bangun dari tidur panjang.
Gavin membuka kancing kemejanya satu per satu, melemparnya ke keranjang cucian. Dia butuh tidur. Otaknya terlalu penuh.
Jam dinding menunjukkan pukul 02.00 dini hari.
Kiana terbangun karena tenggorokannya kering kerontang. Efek makan salmon dengan truffle oil tadi malam sepertinya membuatnya haus. Dia menggeliat pelan di balik selimut sutranya yang nyaman.
Rumah itu sunyi senyap. Hanya suara dengungan AC sentral yang terdengar samar.
Kiana turun dari ranjang, mengenakan sandalnya, dan berjalan keluar kamar menuju dapur di lantai bawah untuk mengambil air minum. Lorong lantai dua gelap, hanya diterangi lampu tidur remang-remang di sudut-sudut.
Saat melewati pintu kamar Gavin—yang letaknya tepat di sebelah kamarnya—langkah Kiana terhenti.
Ada suara.
Bukan dengkuran.
"Errghh..."
Suara itu tertahan. Seperti rintihan orang yang sedang menahan sakit luar biasa.
Kiana menajamkan telinga. Dia mendekat ke pintu kamar Gavin.
"Sakit... argh..."
Suara Gavin. Terdengar lemah, serak, dan putus asa.
Kiana mengerutkan kening. Apa Gavin sedang mimpi buruk? Atau dia sakit?
Kiana ingat pasal empat kontrak mereka: Pihak Istri tidak memiliki kewajiban mengurus kebutuhan pribadi Pihak Suami.
Secara teknis, kalau Gavin sakit, itu bukan urusan Kiana. Gavin orang dewasa. Dia bisa menelepon dokter atau ambulans sendiri. Kalau Kiana masuk, itu melanggar privasi dan melanggar kontrak.
Kiana berbalik, hendak melanjutkan langkahnya ke dapur. "Bukan urusanku," bisiknya pada diri sendiri. "Dia cuma mimpi dikejar hantu masa lalu."
Tapi baru dua langkah, suara itu terdengar lagi. Kali ini lebih keras dan disertai bunyi benda jatuh.
Gedebuk!
"Hah... tolong..."
Langkah Kiana mati total. Tangannya mengepal di sisi tubuh. Logika dan hati nuraninya sedang bertarung sengit.
Logika: Biarkan saja. Besok pagi juga sembuh. Jangan cari masalah.
Nurani: Dia suamimu (di atas kertas). Kalau dia mati konyol karena serangan jantung atau stroke, kamu jadi janda dua kali. Itu buruk buat reputasi bisnis.
"Sialan," umpat Kiana pelan.
Alasan reputasi bisnis selalu ampuh untuk membenarkan tindakan irasionalnya.
Kiana berbalik badan, menyambar gagang pintu kamar Gavin.
"Gavin?" panggil Kiana sambil mengetuk pintu dua kali. "Kamu oke?"
Tidak ada jawaban. Hanya suara napas yang berat dan tersengal-sengal.
Tanpa menunggu izin, Kiana menekan gagang pintu. Tidak dikunci. Pintu terbuka lebar, menampilkan kamar Gavin yang gelap gulita.
Cahaya dari lorong menerobos masuk, menyinari lantai parket.
Mata Kiana membelalak.
Gavin tidak ada di tempat tidur. Selimutnya berantakan di lantai.
Pria itu tergeletak di karpet dekat kaki ranjang. Tubuhnya meringkuk seperti udang, tangannya mencengkeram perut bagian atas dengan kuat. Keringat dingin membanjiri wajah dan lehernya, membuat kaos tidurnya basah kuyup. Wajahnya pucat pasi, nyaris kehijauan dalam remang cahaya.
"Gavin!"
Kiana melupakan kontrak. Dia melupakan gengsi. Dia berlari masuk, berlutut di samping tubuh besar Gavin.
"Gavin! Kamu kenapa?! Jantung?" tanya Kiana panik, tangannya langsung meraba dahi Gavin yang terasa dingin dan lembap, kontras dengan tubuhnya yang menggigil.
Gavin membuka matanya sedikit, tatapannya tidak fokus. Bibirnya gemetar hebat.
"Pe... perut..." desis Gavin susah payah. "Sakit banget... kayak ditusuk..."
Kiana melihat posisi tangan Gavin yang menekan ulu hati. Maag akut? Atau keracunan makanan? Atau usus buntu?
"Kamu makan apa tadi malam selain roti tawar menyedihkan itu?" cecar Kiana sambil mencoba membantu Gavin duduk, tapi tubuh pria itu terlalu berat dan lemas.
"Ko... kopi..." rintih Gavin. "Belum... makan malam..."
Kiana memejamkan mata, menahan hasrat untuk memukul kepala suami barunya ini.
"Bodoh," desis Kiana. "Kamu minum kopi hitam pekat di perut kosong, lalu seharian stres marah-marah, lalu malamnya cuma makan angin? Lambung kamu itu bukan terbuat dari besi, Gavin!"
Gavin meremas lengan Kiana kuat-kuat, kukunya menancap di kulit Kiana saking sakitnya. "Jangan... ceramah... sakit..."
"Aku harus panggil dokter. Atau kita ke UGD," kata Kiana tegas. Dia merogoh saku piyamanya, sial, dia tidak bawa ponsel. Ponselnya ada di kamar.
"Nggak mau... rumah sakit..." tolak Gavin keras kepala, matanya terpejam menahan nyeri. "Obat... di laci..."
"Laci mana?!"
"Meja... kerja..."
Kiana langsung berdiri, berlari ke meja kerja Gavin di sudut ruangan. Dia menarik laci-lacinya dengan kasar. Berkas-berkas berantakan. Di laci kedua, dia menemukan botol obat cair antasida dosis tinggi dan beberapa strip obat pereda nyeri lambung resep dokter.
Berarti ini penyakit lama.
Kiana menyambar obat itu, lalu lari keluar kamar sebentar untuk mengambil segelas air hangat dari dispenser di lorong. Dia kembali dalam hitungan detik.
Kiana kembali berlutut, mengangkat kepala Gavin dan meletakkannya di pangkuannya. Dia tidak peduli piyama sutranya kotor atau basah oleh keringat Gavin.
"Buka mulut," perintah Kiana.
Gavin menurut lemah. Kiana menuangkan obat cair itu perlahan ke mulut Gavin, lalu membantunya minum air hangat sedikit demi sedikit agar tidak tersedak.
"Telan. Pelan-pelan," Kiana mengusap leher Gavin, refleks yang dia sendiri tidak tahu dari mana asalnya. Mungkin naluri bertahan hidup agar 'investasi'-nya tidak mati muda.
Setelah obat masuk, Gavin menyandarkan kepalanya berat di paha Kiana. Napasnya masih memburu, tapi rintihannya mulai berkurang. Matanya terpejam rapat, alisnya bertaut menahan sisa rasa sakit.
Kiana duduk diam di lantai yang dingin, membiarkan Gavin menjadikan pahanya sebagai bantal. Tangan Kiana tanpa sadar mengusap rambut Gavin yang basah oleh keringat, menyingkirkannya dari dahi.
Suasana hening. Hanya ada suara napas mereka berdua.
Kiana menatap wajah Gavin dari dekat. Dalam kondisi lemah dan tidak berdaya seperti ini, tembok es pria ini runtuh total. Dia bukan CEO arogan yang tadi memarahinya. Dia cuma laki-laki biasa yang punya kebiasaan makan buruk dan terlalu banyak memendam beban.
"Jangan mati dulu," bisik Kiana pelan, jarinya menyentuh pipi Gavin yang kasar karena belum cukuran. "Kontrak kita baru jalan dua hari. Rugi bandar aku kalau kamu lewat."
Gavin bergerak sedikit, mencari posisi nyaman di pangkuan Kiana. Tangan besarnya yang tadi mencengkeram perut, kini beralih menggenggam tangan Kiana yang bebas. Genggamannya lemah, tapi hangat.
"Jangan... pergi..." igau Gavin pelan, entah sadar atau tidak. "Dingin..."
Kiana tertegun. Jantungnya berdesir aneh.
Pasal sepuluh melintas di kepalanya seperti lampu peringatan merah: DILARANG JATUH CINTA.
Tapi saat ini, melihat Gavin yang rapuh bergantung padanya, Kiana tahu dia sedang dalam bahaya besar. Bahaya yang jauh lebih menakutkan daripada ancaman Rio atau jebakan Alea.
Kiana menghela napas pasrah. Dia tidak melepaskan genggaman tangan Gavin.
"Aku di sini," jawab Kiana lirih. "Tidur lah."
Malam itu, di lantai kamar yang dingin, dinding pertahanan pertama mereka mulai retak. Bukan karena rayuan gombal atau makan malam romantis, tapi karena sakit maag dan obat sirup rasa mint.
vote untuk mu