Dibesarkan oleh keluarga petani sederhana, Su Yue hidup tenang tanpa mengetahui bahwa darah bangsawan kultivator mengalir di tubuhnya. Setelah mengetahui kebenaran tentang kehancuran klannya, jiwanya runtuh oleh kesedihan yang tak tertahankan. Namun kematian bukanlah akhir. Ketika desa yang menjadi rumah keduanya dimusnahkan oleh musuh lama, kekuatan tersegel dalam Batu Hati Es Qingyun terbangkitkan. Dari seorang gadis pendiam, Su Yue berubah menjadi manifestasi kesedihan yang membeku, menghancurkan para pembantai tanpa amarah berlebihan, hanya kehampaan yang dingin. Setelah semuanya berakhir, ia melangkah pergi, mencari makna hidup di dunia yang telah dua kali merenggut segalanya darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puvi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Upah, Kantong Emas, dan Siluet Kota
Dua jam itu terasa seperti sekejap mata, namun cukup untuk mengembalikan sedikit tenaga ke tubuh-tubuh mereka yang kelelahan. Su Yue terbangun bukan karena suara, tetapi karena naluri waspada yang sudah meresap ke dalam darahnya. Dia membuka mata, menemukan dirinya masih terbaring di tanah dingin dekat sisa-sisa api unggun, dikelilingi oleh bau darah kering dan tanah basah. Di langit, matahari pagi sudah naik cukup tinggi, menyinari pemandangan mengerikan di lembah: banyak mayat serigala yang mulai membusuk, dan tanah yang masih basah oleh genangan merah kecokelatan.
Sebelum dia bisa bangun, aroma menggoda menusuk hidungnya. Aroma sup panas dengan daging asap dan rempah-rempah liar. Dia menoleh dan melihat Pedagang Chen sedang mengaduk sebuah kuali kecil di atas api unggun baru yang dia nyalakan. Wajah pria paruh baya itu terlihat lelah, dengan lingkaran hitam di bawah mata, tetapi ada kepuasan dan rasa syukur yang dalam di sana.
“Sudah bangun, Nona Su?” sapa Pedagang Chen dengan suara serak namun ramah. “Aku sudah buatkan sarapan. Yang hangat-hangat untuk mengembalikan tenaga.”
Su Yue duduk perlahan, otot-ototnya mengingatkan pada pertempuran tadi malam dengan rasa sakit yang tumpul. Dia melihat Xuqin dan Lanxi masih tertidur nyenyak di sebelahnya, wajah mereka kotor namun ekspresinya sudah lebih tenang.
“Terima kasih, Tuan Chen. Kau seharusnya juga tidur.”
“Ah, orang tua seperti aku tidak butuh banyak tidur,” sahut Pedagang Chen sambil tersenyum, meski jelas dia juga sangat kelelahan. “Dan setelah apa yang kalian lakukan tadi malam… masak sup adalah hal paling tidak yang bisa kulakukan.”
Su Yue tidak membantah. Dia bangkit, membersihkan debu dan darah kering dari bajunya yang compang-camping, lalu berjalan ke sungai kecil di dekatnya untuk membasuh muka. Air yang dingin menyegarkan. Saat dia kembali, Xuqin dan Lanxi sudah terbangun, terbuai oleh aroma makanan.
“Wah, ini bau enak sekali!” seru Lanxi, langsung duduk dengan semangat meski masih mengerang kesakitan.
“Kalian semua sudah bangun. Bagus,” kata Pedagang Chen, menuangkan sup kental ke dalam mangkuk-mangkuk kayu sederhana. “Mari makan. Isi perut dulu.”
Mereka duduk melingkar lagi, kali ini di bawah terang matahari, jauh dari kenangan malam yang kelam. Sup itu sederhana, daging asap, umbi-umbian, dan beberapa tumbuhan liar yang dikenali Xuqin, tapi rasanya seperti makanan terlezat yang pernah mereka makan. Kehangatannya menyebar ke seluruh tubuh, mengusir sisa-sisa dingin dan kelelahan.
Setelah beberapa suapan dalam keheningan yang nyaman, Pedagang Chen membersihkan tenggorokannya. “Nona-nona, ada yang ingin kubicarakan.”
Mereka menatapnya.
“Misi yang kalian ambil,” lanjutnya, suaranya serius. “Upahnya enam puluh Api per orang. Tapi… apa yang terjadi tadi malam, itu di luar perjanjian. Itu bukan sekadar ‘kemungkinan kecil binatang buas’. Itu adalah serangan kawanan serigala skala penuh yang bisa membunuh kafilah kecil.” Dia menghela napas. “Kalian tidak hanya menyelamatkan daganganku, kalian menyelamatkan nyawaku. Enam puluh Api menjadi tidak adil.”
Xuqin membuka mulut untuk protes, tapi Pedagang Chen mengangkat tangannya.
“Tunggu. Aku tahu peraturan sekte, upah sudah tetap. Tapi sebagai pedagang, aku punya caraku sendiri.” Matanya berbinar licik namun baik hati.
“Aku akan menambahkan… lima puluh koin emas untuk masing-masing dari kalian, dari kantongku sendiri. Dan,” dia berhenti sejenak untuk efek dramatis, melihat mereka penasaran, “saat kita sampai di Kota Mata Angin, aku akan mengenalkan kalian pada temanku, Pedagang Liu. Dia memiliki toko suplai kultivasi kecil. Biasanya, dia hanya melayani pelanggan tetap atau yang punya rekomendasi. Aku akan rekomendasikan kalian. Dengan itu, kalian bisa membeli sumber daya dengan harga yang lebih wajar, dan mungkin dia punya misi kecil atau pekerjaan yang bisa kalian lakukan untuk tambahan pendapatan saat kalian berada di kota. Jadi, perjalanan pulang kalian tidak akan kosong.”
Su Yue, Xuqin, dan Lanxi saling pandang. Penawaran itu lebih dari mereka harapkan. Koin emas sangat berharga di dunia luar sekte, dan koneksi dengan pedagang suplai kultivasi adalah hal yang sangat berguna.
“Tuan Chen, itu… sangat baik hati,” kata Xuqin, tersentuh. “Tapi kami tidak bisa menerima begitu saja. Kami hanya melakukan tugas kami.”
“Tidak perlu dibahas lagi,” bantah Pedagang Chen. “Sudah diputuskan. Sekarang, habiskan supnya sebelum dingin.”
Mereka tidak bisa menolak lagi. Rasa syukur yang hangat mengisi hati mereka, melengkapi kehangatan sup di perut. Setelah makan dan membereskan perkemahan, mereka menaikkan lagi barang-barang di gerobak yang sedikit rusak karena panik malam itu, lalu kembali ke jalan.
Perjalanan siang hari terasa lebih ringan, meski kelelahan masih tertinggal di tulang mereka. Mereka lebih waspada, mata mereka terus memindai sekeliling. Pelajaran malam itu telah mengajarkan mereka bahwa bahaya bisa datang kapan saja.
Dan memang, bahaya itu datang lagi, meski dalam skala yang lebih kecil.
Saat mereka melewati sebuah bagian jalan yang diapit oleh tebing batu rendah, lima orang pria bertampang kasar melompat keluar dari balik batu-batu besar, menghalangi jalan. Mereka bersenjatakan pedang dan golok sederhana, pakaian mereka lusuh, dan tatapan mereka penuh ketamakan.
“Berhenti!” teriak yang paling besar, memperlihatkan gigi kuningnya. “Tinggalkan gerobak dan semua barang berharga kalian, maka kami akan membiarkan kalian pergi dengan selamat!”
Pedagang Chen langsung tegang, mencengkeram tongkat besinya. Tapi sebelum dia bisa berkata apa-apa, Su Yue sudah bergerak.
Dia tidak berbicara. Dia tidak memberi peringatan. Pengalaman malam tadi, kemarahan terhadap perampas, dan tekad untuk melindungi apa yang menjadi tanggung jawabnya bergabung menjadi sebuah tindakan yang cepat dan pasti. Dia melesat dari samping gerobak seperti anak panah yang dilepaskan.
Para bandit itu bahkan belum sempat bereaksi. Su Yue sudah ada di antara mereka. Pedang Ratapan Dingin berkelebat, membentuk lingkaran cahaya biru pucat yang mematikan.
Klang! Schlick!
Suara besi bertemu besi, diikuti oleh teriakan kesakitan yang singkat.
Dua bandit langsung roboh, pedang mereka terpental, luka dalam di bahu dan dada menganga. Yang ketiga berusaha menebas, tapi Su Yue dengan mudah menangkisnya dengan pedangnya sebelum mendaratkan tendangan keras yang diperkuat Qi ke lututnya, membuatnya terjatuh sambil menjerit.
Xuqin dan Lanxi, yang kini lebih siap, tidak tinggal diam. Xuqin, dengan tongkat pengganti di tangannya, menyerang bandit keempat, menyerang titik-titik kelemahan yang diajarkan Pedagang Chen dengan presisi yang meningkat. Lanxi, dengan tinjunya yang bergelegar, menghadapi bandit kelima. Pertarungan itu singkat dan sepihak. Dalam kurang dari satu menit, kelima bandit itu sudah terbaring di tanah, ada yang pingsan, ada yang merintih kesakitan, tidak lagi menjadi ancaman.
Su Yue berdiri di antara mereka, pedangnya masih terhunus, napasnya bahkan tidak terlalu terganggu. Matanya yang dingin memandangi para bandit yang tersisa dengan pandangan yang membuat mereka membeku ketakutan.
“Periksa mereka,” perintah Su Yue pada Xuqin dan Lanxi.
Dengan hati-hati, mereka menggeledah para bandit yang pingsan dan terluka. Mereka menemukan lima kantong kulit sederhana yang diikat di pinggang masing-masing bandit. Saat dibuka, isinya membuat mata mereka berbinar: tumpukan koin emas yang berkilauan, bersama dengan beberapa perak dan perunggu. Jumlahnya cukup banyak, hasil rampasan yang mungkin telah mereka kumpulkan dari korban-korban sebelumnya.
“Ini… banyak sekali,” gumam Lanxi, memandangi koin-koin itu.
Pedagang Chen, yang turun dari gerobak, mendekat. Wajahnya lega dan penuh kekaguman.
“Kalian benar-benar tidak main-main.” Dia melihat kantong-kantong emas itu. “Ambil saja. Itu rampasan mereka, sekarang menjadi milik kalian. Hasil dari pertahanan diri.”
“Bagaimana dengan mereka?” tanya Xuqin, menunjuk para bandit yang merintih.
“Biarkan saja,” kata Pedagang Chen. “Mereka sudah tidak berbahaya. Dan di jalan ini, hukum alam yang berlaku. Mereka akan belajar pelajaran berharga, atau binasa oleh binatang buas. Bukan urusan kita.”
Su Yue mengangguk setuju. Dia tidak punya belas kasihan bagi perampok. Mereka mengumpulkan kantong-kantong emas itu, membaginya menjadi tiga bagian. Rasa lelah mereka seolah terbayar lunas oleh beratnya emas di tangan.
“Dengan ini dan tambahan dariku,” kata Pedagang Chen sambil mereka kembali berjalan, “kalian bisa membeli beberapa pil pemurnian Qi yang bagus, atau mungkin senjata yang lebih sesuai. Koin emas ini bisa ditukar dengan Api di sekte, atau digunakan di kota-kota. Tapi saran aku, gunakan untuk sumber daya yang benar-benar memperkuat kultivasi kalian. Kekuatan adalah mata uang terbaik di dunia kita.”
“Kami akan ingat itu, Tuan Chen,” janji Xuqin, memandangi kantong emas di tangannya dengan perasaan campur aduk dan sedikit bersalah, tapi juga lega dan bersemangat.
Perjalanan sisanya berlangsung tanpa insiden. Mereka melewati hutan kecil, melintasi jembatan kayu di atas sungai yang deras, dan mendaki beberapa bukit rendah. Kelelahan mulai kembali menyerang, tapi semangat mereka terjaga oleh janji kota di depan dan kekayaan yang mereka bawa.
Dan kemudian, saat matahari mulai condong ke barat di hari kedua, mereka mencapai puncak sebuah bukit terakhir. Di bawah mereka, terhampar sebuah pemandangan yang membuat mereka berhenti sejenak.
Kota Mata Angin.
Kota ini berbeda dengan Kota Mata Air. Lebih besar, lebih terbuka. Tidak banyak kanal, tapi tampak lebih padat. Tembok batu putihnya lebih tinggi, menara pengawas berdiri di sudut-sudutnya. Yang paling mencolok adalah banyaknya kincir angin besar yang berputar dengan malas di atas atap-atap rumah, memanfaatkan angin kencang yang bertiup dari dataran luas di sekitarnya. Asap dari perapian dan tungku pandai besi membumbung ke langit sore yang mulai berwarna jingga. Suara kehidupan kota, teriakan pedagang, deru mesin sederhana, gemuruh aktivitas terdengar samar-samar bahkan dari jarak ini.
“Itu dia,” kata Pedagang Chen, tersenyum lebar. “Tujuan kita. Di sanalah gudang temanku berada.”
Su Yue, Xuqin, dan Lanxi berdiri memandang. Setelah dua hari penuh ketegangan, pertempuran, dan pelajaran, akhirnya mereka sampai. Kota lain. Dunia lain yang akan mereka masuki, kali ini bukan sebagai pengungsi atau calon murid, tetapi sebagai kultivator pemula yang telah membuktikan diri, dengan kantong berisi emas dan pengalaman berharga yang tidak terhitung harganya. Mereka saling pandang, dan di mata masing-masing, mereka melihat kelegaan, kebanggaan, dan antisipasi untuk apa yang akan datang selanjutnya. Perjalanan misi pertama mereka hampir berakhir, tetapi perjalanan mereka yang sesungguhnya baru saja dimulai.