Karenina, gadis cantik yang periang dan supel. Dia hidup sebatang kara setelah kehilangan seluruh keluarganya saat musibah tsunami Aceh. Setelah berpindah dari satu rumah singgah ke rumah singgah lainnya. Karenina diboyong ke Bandung dan kemudian tinggal di panti asuhan.
Setelah dewasa, dia memutuskan keluar dan hidup mandiri, bekerja sebagai perawat khusus home care. Dia membantu pasien yang mengalami kelumpuhan atau penderita stroke dengan kemampuan terapinya.
Abimanyu, pria berusia 28 tahun yang memiliki temperamen keras. Dia memiliki masa lalu kelam, dikhianati oleh orang yang begitu dicintainya.
Demi membangkitkan semangat Abimanyu yang terpuruk akibat kecelakaan dan kelumpuhan yang dialaminya. Keluarganya menyewa tenaga Karenina sebagai perawat sekaligus therapist Abimanyu.
Sanggupkah Karenina menjalankan tugasnya di tengah perangai Abimanyu yang menyebalkan? Apakah akan ada kisah cinta perawat dengan pasien?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teh Celup
Suasana kediaman keluarga Hikmat tampak ramai. Hari ini Teddy Hikmat beserta istrinya pulang. Seperti biasa sepulang dari perjalanan mereka selalu memberikan oleh-oleh pada semua penghuni rumah, tak terkecuali pada semua pegawainya.
Setelah makan malam mereka berkumpul di ruang tengah. Nina yang baru melihat mereka tidak banyak bicara. Dia hanya diam menyimak. Dalam hatinya merasa salut pada pasangan suami istri ini yang tak membedakan status sosial. Tak heran anak-anak mereka senantiasa bersikap santun pada siapa pun.
Rahma mendekati Nina yang sedari tadi hanya diam. Dia membawa sebuah paper bag, lalu memberikannya pada Nina.
“Ini oleh-oleh untukmu Nina. Saya sudah banyak mendengar cerita tentang kamu dari Juna dan Sekar. Terima kasih kamu sudah merawat Abi dengan baik.”
“Sama-sama nyonya. Maaf kalau sampai sekarang mas Abi belum bisa berjalan seperti biasa. Tapi saya akan berusaha sampai mas Abi pulih seperti sedia kala.”
Rahma melirik kesal pada anak keduanya. Dia sudah mengetahui dari Juna kalau Abi masih berpura-pura pada Nina.
“Mungkin kamu harus menggunakan cara yang lebih keras lagi Nin. Kalau refleksi jangan menggunakan kayu tumpul tapi coba pakai samurai biar dia bisa cepat berjalan.”
Ucapan Rahma langsung disambut gelak tawa suami dan anak-anaknya, termasuk Nina. Sedang Abi hanya melihat kesal pada sang mama.
“Oh ya suplemen yang papa kirim tempo hari apa dihabiskan oleh Abi?”
“Sudah habis pa, karena Nina punya jurus jitu untuk membuat Abi meminumnya hahaha..”
Juna tak bisa menahan tawanya mengingat cara Nina memaksa Abi meminum obat. Wajah Nina langsung merona.
Aduh kalau emak bapaknya tau gimana gue maksa anaknya minum obat, mampus gue.
“Gimana Bi? Lebih enak minum obat sendiri atau dari mulut orang lain?” goda mama.
Uhuk.. uhuk..
Nina tersedak padahal tidak sedang makan atau minum. Dia semakin menundukkan kepalanya. Abi yang kesal terus menjadi bahan bully-an segera pergi menuju ruang kerjanya.
“Good job Nina. Saya suka cara kamu,” ucap Rahma.
“Terima kasih nyonya.”
“No.. no.. no.. jangan panggil saya nyonya. Kamu memanggil Juna dan Abi dengan sebutan kakak dan mas, maka kamu harus memanggil saya dengan sebutan tante atau mama, saya tidak keberatan.”
Nina melongo, tidak percaya dengan yang dikatakan wanita paruh baya ini.
“Panggil mama aja kak. Itung-itung belajar manggil calon mertua hihihi,” goda Sekar.
Wajah Nina semakin merona. Geer? Tentu saja. Tapi Nina tidak mau terlalu percaya diri. Percuma mendapatkan dukungan dari seluruh keluarga tapi kalau orang yang bersangkutan tidak menyukainya.
“Ok, mama sama papa mau istirahat dulu ya.”
Teddy dan Rahma meninggalkan ruang keluarga menuju kamarnya. Begitu pula Juna, dia masuk ke ruang kerjanya. Tinggal dirinya dan Sekar yang tersisa. Namun tak lama Sekar juga meninggalkannya saat ponselnya berdering. Kini Nina hanya seorang diri. Sebenarnya sedari siang dia tak enak pikiran. Hanya tinggal tersisa waktu dua minggu lagi dari waktu yang dia janjikan pada Abi. Tapi sampai sekarang Abi masih belum bisa berjalan dengan normal.
Gawat, waktu tinggal dua minggu lagi, tapi belum ada tanda-tanda mas Abi akan sepenuhnya pulih. Aku harus batalin perjanjian itu.
Nina berjalan menuju ruang kerja Abi. Dia berjalan mondar-mandir. Ingin masuk tapi ragu. Dia menggigit kuku jarinya saking gugupnya. Akhirnya setelah mengumpulkan semua keberaniannya, dia mengetuk pintu.
“Masuk!”
Nina membuka pintu. Dengan langkah pelan dia menuju meja Abi. Pria itu tampak serius di depan laptopnya.
“Mas Abi,” panggil Nina.
“Hmmm..”
“Mas, bisa bicara sebentar?”
“Soal apa?”
Abi mengalihkan pandangannya menatap Nina. Seketika Nina membeku melihat wajah datar Abi.
Biar mukanya ngga ada ekpresi tapi tetep kelihatan ganteng. Ya ampun Nina, fokus.. fokus..
“Hmm.. mas, aku mau revisi perjanjian kita. Boleh?”
“Perjanjian apa?”
“Soal tenggat waktu 3 bulan itu.”
Abi menyeringai licik mendengar Nina mengungkit soal pertaruhan mereka.
“Apa yang mau direvisi?”
“Soal pengembalian gaji saya sebanyak sepuluh kali lipat.”
“Ngga mau!”
“Tolong denger dulu penawaranku. Kalau dalam waktu 3 bulan mas Abi belum bisa berjalan seperti semula. Maka aku akan tetap merawat mas Abi sampai mas bisa berjalan kembali tanpa digaji, gimana?”
Abi terdiam, dia berpura-pura berpikir keras. Padahal hatinya tertawa senang. Nina masuk dalam perangkapnya.
“Ya mas ya.. tolongin aku. Walaupun semua uang tabunganku dikuras, aku ngga bisa bayar dendanya mas,” Nina memohon dengan wajah yang memelas.
“Ok, aku terima tapi..”
“Apa mas?”
“Selain kamu merawat aku sampai sembuh, kamu juga harus mau melakukan apapun yang aku suruh. Dan perjanjian itu berlaku mulai besok. Gimana?”
“Harusnya dua minggu lagi mas. Kan masih ada waktu.”
“Mau tidak? Kalau tidak mau, berarti kembali ke aturan awal.”
“Iya.. iya aku setuju. Deal!!”
“Ok, mulai besok kamu harus melakukan apapun yang aku minta. Ingat itu!”
“Baik mas. Kalau begitu aku permisi.”
Nina keluar dari ruang kerja Abi dengan langkah gontai. Dia merutuki Abi yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Sedang Abi tertawa senang. Mulai besok dia bisa dengan leluasa membuat hidup gadis itu susah.
☘️☘️☘️
Abi benar-benar melakukan apa yang dikatakannya tadi malam. Terhitung hari ini Nina ditugaskan mengurus semua keperluan Abi. Mulai dari membantunya ke kamar mandi, menyiapkan pakaian, bahkan Abi meminta Nina memakaikan dasi padanya. Alhasil Nina harus kursus singkat pada Sekar karena belum bisa melakukannya.
Permintaan Abi tak berhenti sampai di situ, Nina juga harus menyiapkan makan untuk Abi. Sarapan, makan siang dan makan malam harus Nina yang menyiapkan. Terakhir Nina harus menemaninya saat bekerja di kantor atau di rumah. Sekilas Nina sudah seperti istrinya saja.
Malam ini, ketika Nina sedang menemani Abi bekerja di ruang kerja pribadinya, Nina yang penasaran dengan hubungan Juna dan Nadia mulai mencari tahu.
“Hmm.. mas, hubungan kak Juna sama kak Nadia apa ya?”
“Kenapa kamu mau tau. Kepo.”
“Ya elah pelit amat, nanya gitu doang kaga bikin mas Abi bangkrut kali.”
“Tapi tetap aja, itu informasi berharga. Kamu mau kasih apa buat bayarannya?”
“Perhitungan banget sih mas, apa-apa minta bayaran. Yang ikhlas napa biar rejekinya ngalir terus,” kelutus Nina.
“Mau tau ngga nih?”
Nina menghembuskan nafas kesal. Dia memalingkan wajahnya ke arah lain. Terlalu banyak berbicara dengan Abi ternyata tidak baik untuk kesehatan paru-parunya, bikin sesak nafas. Tapi Nina penasaran juga, diliriknya Abi yang masih berkutat dengan laptopnya.
“Mas... ayo dong cerita,” bujuk Nina.
“Ok, tapi sebagai bayarannya kamu harus nemenin aku beli pakaian kerja besok, deal?”
“Nemenin aja kan? Ngga disuruh bayarin? Deal!”
Abi mematikan laptopnya kemudian menggerakkan kursi rodanya ke arah Nina. Sebenarnya dia sudah muak menggunakan kursi roda ini. Namun demi misinya menahan Nina lebih lama di sisinya, dia menyabarkan diri.
“Apa yang mau kamu tahu?”
“Kak Juna sama kak Nadia pacaran?”
“Bisa iya bisa ngga.”
“Kok gitu?”
“Kak Juna sama Nadia emang saling cinta. Tapi mereka ngga bisa bersama karena Nadia sudah dijodohkan dengan anak sahabat orang tuanya. Dan sebagai anak yang baik, Nadia ngga mau mengecewakan orang tuanya.”
“Oh gitu... kasihan juga ya, cinta terhalang perjodohan. Aku kalau jadi kak Nadia nyesek pastinya. Emang calonnya siapa? Ganteng mana sama kak Juna?”
“Gantengan akulah,” jawab Abi enteng.
“Narsis,” desis Nina.
“Calonnya Nadia tuh laki-laki brengsek. Tukang celap celup sana sini.”
“Iiww.. kok mau sih kak Nadia. Kalo aku dah kutendang laki modelan begitu. Kaya si Fares, hobinya celap celup.”
“Mantan tunangan kamu brengsek juga ternyata.”
“Pake banget mas. Dari lulus SMA dia udah sering tidur bareng sahabatnya, gila ngga tuh. Untung aku bisa jaga diri selama pacaran sama dia. Jijik aja aku bayanginnya, otongnya udah kaya teh celup aja.”
Abi memandangi Nina yang masih saja mengeluarkan uneg-unegnya tentang Fares. Dalam hati bersyukur Nina mengetahui kebusukan laki-laki itu sebelum terlambat.
“Mas Abi ngga ada niat nolongin kak Nadia gitu? Kasihan loh kalau sampai mereka nikah. Kak Juna juga jangan diem aja, udah tikung aja. Modelan tukang celup gitu mah halal buat ditikung.”
“Nadianya ngga mau. Dia udah pasrah karena keluarganya merasa berhutang budi sama orang tua Dika. Mereka membiayai kuliah dan sebagai bayarannya Nadia harus menikah dengan anaknya. Pamrih.”
“Iya kalau mau nolong ya ikhlas ngga usah pamrih, sama kaya yang ngomong.”
Abi mendelik pada Nina, namun gadis itu cuek saja. Dia bahkan menjulurkan lidahnya ke arah Abi. Ingin rasanya saat itu Abi menyambar bibirnya.
“Aku mau tidur, besok jangan lupa kita belanja.”
Nina berdiri kemudian mendorong kursi roda Abi keluar ruang kerja. Setelah membuka pintu kamar, Nina kembali mendorong kursi roda yang diduduki Abi. Nina membantu Abi berpindah tempat di kasur. Karena tubuh Abi yang berat, Nina kehilangan keseimbangan lalu tubuhnya terjatuh tepat menimpa Abi di atas kasur.
Kedua netra mereka saling memandang dan mengunci. Cukup lama mereka terdiam menikmati degup jantung yang tak beraturan. Puas Nina memandang wajah tampan Abi dari jarak yang begitu dekat.
“Udah puas lihatinnya? Apa kamu mau sekalian nemenin aku tidur di sini?”
Nina terkesiap lalu buru-buru bangun. Wajahnya sudah seperti udang rebus. Abi mengulum senyum tipis, sangat tipis hingga Nina tak menyadarinya. Gadis itu hendak beranjak pergi namun suara Abi menahannya.
“Nin, ini kaki aku benerin dulu.”
Nina mengangkat kaki Abi sampai ke atas kasur. Lalu menarik selimut dan menutupi tubuhnya. Dinyalakannya lampu tidur sebelum Nina menjauh dari kasur. Kemudian dia keluar kamar sesudah mematikan lampu utama. Abi tersenyum lebar begitu gadis itu keluar. Semakin hari semakin senang dia mengganggunya.
Sepertinya aku sudah jatuh cinta padamu Nin. Tapi sebelum aku tahu perasaanmu padaku, aku akan terus menahannya. Aku ngga mau terluka untuk yang kedua kali.
☘️☘️☘️
**Cie.. cie.. mas Abi udah mulai bucin. Teruskan modusmu mas Abi😁
Met Malming gaeeesssss.. sebelum pergi, baca kisah ini dulu terus tinggalin jejaknya, okeh😉**