Kirana menatap kedua anaknya dengan sedih. Arka, yang baru berusia delapan tahun, dan Tiara, yang berusia lima tahun. Setelah kematian suaminya, Arya, tiga tahun yang lalu, Kirana memilih untuk tidak menikah lagi. Ia bertekad, apa pun yang terjadi, ia akan menjadi pelindung tunggal bagi dua harta yang ditinggalkan suaminya.
Meskipun hidup mereka pas-pasan, di mana Kirana bekerja sebagai karyawan di sebuah toko sembako dengan gaji yang hanya cukup untuk membayar kontrakan bulanan dan menyambung makan harian, ia berusaha menutupi kepahitan hidupnya dengan senyum.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanela cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19
Sesampainya di rumah, Yuda langsung memarkir motornya di garasi. Lampu ruang tengah masih menyala. Dari dalam dapur terdengar suara peralatan makan.
Sebenarnya mereka menyewa pembantu tapi untuk urusan masak Lasma yang memegangnya. biarpun Yuda sudah melarangnya, tapi ibunya tetap kekeh tidak mau. Katanya masakannya tidak cocok untuknya.
Yuda masuk sambil membawa kantong belanjaan.
“Bu, ini titipan Ibu,” ucapnya sambil menyerahkan kantong itu pada Lasma.
Lasma menyambutnya dengan senyum. “Alhamdulillah. Kamu lama juga ya, Yud.”
“Iya, Bu. Tadi sekalian anter Kirana pulang,” jawab Yuda jujur.
Lasma melirik sekilas ke wajah anaknya, seolah membaca sesuatu, tapi tidak berkomentar. Ia hanya mengangguk pelan.
“Ya sudah. Sana mandi dulu. Makan malam sudah Ibu siapin.”
Yuda menurut. Ia naik ke kamar, mandi cukup lama, membiarkan air mengalir di kepalanya.
Selesai mandi, Yuda berganti pakaian dan turun ke bawah. Ia dan Lasma makan malam bersama di meja makan sederhana namun hangat. Tidak banyak percakapan, hanya bunyi sendok dan piring yang saling bersentuhan.
Setelah selesai, Lasma membereskan piring ke dapur. Yuda ikut membantu, lalu kembali duduk di kursi. Ia tampak gelisah.
“Bu…” panggilnya pelan.
Lasma menoleh. “Kenapa, Yud?”
Yuda menarik napas panjang, menunduk sejenak sebelum akhirnya mengangkat wajahnya.
“Ibu… Yuda mau nanya.”
Lasma duduk kembali di depannya. “Tanya apa?”
“Menurut Ibu…” suara Yuda sedikit bergetar, “Yuda masih pantas nggak… buat nikah lagi?”
Lasma terdiam. Ia menatap anaknya lama, seolah memastikan bahwa ia tidak salah dengar.
“Dengan kondisi Yuda sekarang,” lanjut Yuda lirih, “rumah tangga Yuda gagal. Yuda juga… nggak bisa punya anak. Apa masih ada perempuan yang mau nerima Yuda apa adanya?”
Nada suara Yuda bukan putus asa, tapi penuh keraguan.
Lasma menghela napas pelan, lalu meraih tangan Yuda dan menggenggamnya erat.
“Yud… dengar Ibu baik-baik.”
Yuda mengangkat wajahnya.
“Pernikahan itu bukan cuma soal sempurna atau tidak sempurna. Bukan soal punya anak atau tidak. Tapi soal niat, tanggung jawab, dan hati,” ucap Lasma lembut namun tegas.
“Tuhan nggak pernah menciptakan seseorang itu sia-sia. Setiap orang punya ujian masing-masing. Kamu diuji dengan kegagalan rumah tangga dan kondisimu. Tapi itu bukan berarti kamu nggak pantas bahagia lagi.”
“Kalau kamu menikah lagi dengan niat yang baik, untuk ibadah, untuk saling menguatkan… dan kamu jujur dari awal tentang kondisi kamu, maka perempuan yang datang dan mau menerima kamu, dia adalah perempuan yang memang ditakdirkan buat kamu,” lanjut Lasma.
Lasma mengusap punggung tangan anaknya.
“Yang penting kamu nggak memaksa siapa pun, dan nggak membohongi siapa pun. Soal jodoh, biar Tuhan yang atur.”
Yuda mengangguk perlahan. “Iya, Bu…”
Lasma tersenyum kecil. “Dan satu lagi… jangan merasa rendah diri. Kamu laki-laki yang baik, Yud. Ibu tahu itu.”
Yuda menunduk, dadanya terasa hangat.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa… mungkin, ia masih punya hak untuk berharap.
Lasma menatap Yuda lekat-lekat, ada senyum tipis yang terselip di sudut bibirnya.
“Niatmu sudah sejauh itu… berarti sudah ada wanitanya, ya?” tanyanya pelan namun penuh selidik.
“Memang siapa wanita yang ingin kamu nikahi, Yud?”
Yuda terdiam. Ia tidak langsung menjawab. Senyum kecil perlahan terukir di wajahnya.
“Doain aja, Bu,” jawabnya singkat, suaranya lembut.
Lasma menghela napas pelan, lalu ikut tersenyum. Ia tidak memaksa. Sebagai ibu, ia tahu, ada hal-hal yang hanya bisa diucapkan saat hati benar-benar siap.
Yuda berdiri. “Yuda ke kamar dulu, Bu. Capek.”
“Iya. Istirahat yang cukup,” balas Lasma.
Yuda melangkah menuju kamarnya. Saat pintu tertutup, senyum di wajahnya perlahan memudar, berganti dengan tatapan kosong yang menatap lantai. Ia duduk di tepi ranjang, menghembuskan napas panjang.
Yuda merebahkan tubuhnya, menatap langit-langit kamar seperti malam sebelumnya.
Ia tersenyum kecil, getir.
Yuda memejamkan mata, namun bayangan itu justru semakin jelas. Ia menghela napas panjang, lalu tertawa kecil tawa yang hambar.
Apa aku siap?
Pertanyaan itu bergema di kepalanya, berulang kali.
“Tapi… apa ada perempuan yang mau menerima aku seperti ini?” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.
Yuda menelan ludah. Dadanya terasa sesak. Kenangan yang berusaha ia kubur kembali muncul tanpa izin. Wajah mantan istrinya, kata-kata yang dulu diucapkan dengan nada dingin, masih terngiang jelas.
Kamu laki-laki, Yud… tapi kamu nggak bisa jadi suami sepenuhnya.
Kalimat itu dulu seperti palu, menghantam harga dirinya tanpa ampun.
Ia membuka mata, menatap langit-langit kamar yang gelap.
“Bahkan mantan istriku sendiri pergi karena kondisi ini…” ucapnya lirih. “Terus… siapa aku buat berharap lebih?”
Yuda menghembuskan napas pelan.
“Kalau dia tahu semuanya… apa dia masih mau memandang aku sama?” bisiknya.
Tak ada jawaban. Hanya sunyi malam yang menemani kegelisahannya.
Yuda memiringkan tubuh, membelakangi cahaya lampu yang menyelinap dari celah pintu. Ia menutup mata, bukan untuk tidur, tapi untuk menenangkan hatinya yang sedang berperang dengan dirinya sendiri.
Sementara itu, di rumah kecil yang jaraknya tak begitu jauh dari sana, Kirana baru saja menidurkan Tiara. Napas putrinya sudah teratur, wajahnya tampak lebih segar dibanding beberapa hari lalu. Kirana mengelus dahi Tiara dengan penuh kasih, memastikan suhunya benar-benar normal sebelum menarik selimut hingga ke dada kecil itu.
Arka sudah lebih dulu tertidur di kamar sebelah, kelelahan setelah seharian bermain. Rumah itu akhirnya kembali sunyi.
Kirana melangkah ke ruang tengah dan duduk di sofa usang yang menjadi saksi hidupnya selama ini. Ia menyandarkan punggung, menatap kosong ke arah dinding. Pikirannya melayang, tanpa bisa dicegah.
Entah kenapa, bayangan Yuda kembali muncul.
Cara pria itu menolak uangnya dengan tenang. Tatapan tulusnya saat berkata ia ikhlas membantu. Dan sikapnya yang selalu menjaga jarak, sopan, seolah takut melangkah terlalu jauh.
Kirana menghela napas pelan.
“Kenapa harus ada orang sebaik itu…” gumamnya lirih.
Tangannya meraih ponsel yang sejak tadi tergeletak di sampingnya. Ia menatap layar, jempolnya sempat membuka percakapan dengan nama Yuda. Pesan terakhir masih tersimpan rapi. Ia membaca ulang, lalu menutupnya lagi tanpa mengetik apa pun.
Bukan karena tak ingin membalas.
Tapi karena ia takut.
Takut perasaannya sendiri.
Sejak kepergian suaminya, Kirana sudah berjanji pada dirinya sendiri: hidupnya hanya untuk Arka dan Tiara. Tak ada ruang untuk berharap pada siapa pun. Ia sudah cukup lelah dengan kehilangan.
“Jangan bodoh, Kirana,” bisiknya pada diri sendiri. “Kamu punya tanggung jawab. Jangan bawa perasaan ke tempat yang salah.”
Ia bangkit, mematikan lampu ruang tengah, lalu kembali ke kamar. Sebelum tidur, Kirana menatap wajah Tiara sekali lagi, lalu merebahkan diri di sisi ranjang.