Sean Montgomery Anak tunggal dan pewaris satu-satunya dari pasangan Florence Montgomery dan mendiang James Montgomery yang terpaksa menikahi Ariana atas perintah ayahnya. Tiga tahun membina rumah tangga tidak juga menumbuhkan benih-benih cinta di hati Sean ditambah Florence yang semakin menunjukkan ketidak sukaannya pada Ariana setelah kematian suaminya. Kehadiran sosok Clarissa dalam keluarga Montgomery semakin menguatkan tekat Florence untuk menyingkirkan Ariana yang dianggap tidak setara dan tidak layak menjadi anggota keluarga Montgomery. Bagaimana Ariana akan menemukan dirinya kembali setelah Sean sudah bulat menceraikannya? Di tengah badai itu Ariana menemukan dirinya sedang mengandung, namun bayi dalam kandungannya juga tidak membuat Sean menahannya untuk tidak pergi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perlahan Mencari Tahu
Awan pekat menggantung rendah di langit Jakarta malam itu, angin berhembus kencang seolah sedang membawa kabar penting. Sean Montgomery berdiri di balik jendela rumah kecil Ariana, matanya menatap kosong pada foto USG di genggamannya.
Di dadanya ada sesuatu yang tidak ia mengerti. Detak jantungnya terasa tak wajar, kuat dan cepat. Entah kenapa, ia merasakan sesuatu yang besar terjadi di luar sana…
Ia meneguk napas panjang, menutup mata sejenak. “Sial,” gumamnya lirih, menekan dada. Ia menolak mengakui apa pun. Tapi bayangan Ariana tiba-tiba hadir di kepalanya.
Sean tetaplah seorang ayah yang merasakan tangisan darah dagingnya untuk pertama kalinya di dunia.
Suara langkah berat mendekat. Jonash muncul, mengenakan jas hitam, wajahnya suram. Ia menunduk hormat sebelum membuka map di tangannya.
“Masih tidak ada jejak, Sean. Maaf…”
Sean tidak menjawab, matanya tetap pada menatap lurus pada lampu kota di kejauhan. Jonash menelan ludah, lalu melanjutkan dengan nada lebih hati-hati. “Namun ada satu hal yang janggal. Kecelakaan di pasar… mobil yang hampir menabrak Nyonya Ariana. Dari rekaman CCTV, jelas mobil itu sengaja menambah kecepatan searah dengan Nyonya Ariana. Itu jelas bukan kecelakaan, itu percobaan pembunuhan.”
Kata-kata itu membuat Sean berbalik tajam. Matanya menyala penuh bara. “Kau yakin?”
Jonash mengangguk, menaruh flashdisk di meja kecil. “Saya sudah mengamankan rekamannya. Dan setelah saya telusuri lagi, mobil itu terhubung dengan jaringan dunia bawah. Seseorang membayar pembunuh bayaran untuk menyingkirkan Nyonya Ariana.”
Keheningan menggantung. Lalu terdengar suara napas Sean, berat dan berbahaya.
“Siapa?”
Jonash menunduk. “Saya belum bisa memastikan nama pemberi perintah. Tapi lingkarannya kecil, hanya orang dengan uang besar dan keberanian gila yang berani bermain di wilayah Montgomery.”
Sean bersandar pada sofa kecil milik Ariana yang tidak bisa menampung tubuhnya sepenuhnya. "Siapkan anak buahmu, setelah urusan ini selesai aku akan memaksanya bicara dengan tanganku sendiri."
"Baik Tuan, saya permisi."
"Jonash!..." tangan Jonash yang belum sempat menyentuh gagang pintu terhenti. Ia berbalik menatap Sean menanti kelanjutan.
"Siapkan tempat untuk pengasingan seseorang!" perintah Sean dingin.
"Baik, Tuan." Jonash menunduk sebentar sebelum meninggalkan rumah kecil Ariana. Rumah yang selama satu bulan ini menjadi tempat tinggal pribadi Sean.
***
Ruang rapat privat di lantai tertinggi Montgomery Corp malam itu dipenuhi aura mencekam. Lampu gantung kristal menyinari meja panjang mengilap. Florence datang lebih dulu, elegan dalam balutan gaun hijau tua. Di belakangnya, Clarissa dengan setelan putih anggun dengan aroma parfum mewah menguar tajam.
Florence tersenyum puas ketika melihat Sean duduk di ujung meja. “Jadi, kau akhirnya mempertimbangkan saran Mama untuk menikahi Clarissa?” suaranya halus namun penuh kuasa. “Kau memanggil kami berdua ke sini untuk itu, bukan? Itu keputusan yang bijak, Sean.”
Clarissa menunduk malu-malu, lalu menatap Sean dengan tatapan penuh harap. Akhirnya, kemenangan itu akan tiba.
Sean terdiam, menatap kedua wanita dihadapannya bergantian nyaris tanpa ekspresi. Hingga akhirnya Sean membuka mulut, suaranya berat, menghantam udara.
“Rupanya kalian benar-benar percaya diri aku memanggil kalian ke sini untuk bicara soal pernikahan.”
Senyum Clarissa perlahan pudar. Florence mengangkat alis, masih menjaga keanggunannya. “Kalau bukan itu, lalu apa?”
Sean meraih remote kecil di meja, menyalakan layar besar di dinding. Rekaman CCTV pasar muncul. Mobil melaju kencang, hampir menabrak Ariana, lalu berhenti mendadak.
Tatapan Sean menukik ke arah mereka berdua. “Jangan pura-pura bodoh. Hanya ada dua orang yang mungkin punya motif dan akses melakukan ini yaitu… kalian berdua.”
Florence mendesis lirih. “Kau menuduh ibumu sendiri?”
“Jika ibuku mencoba membunuh darah dagingku,” Sean menjawab tanpa gentar, “maka dia bukan lagi ibuku, dia musuhku.”
Clarissa pura-pura terkejut, menutup mulut dengan tangan. “Sean, kau salah paham. Aku tidak ada hubungannya dengan itu. Aku… aku bahkan mencoba menghentikan Tante Florence waktu itu.”
Florence langsung menoleh, tatapannya menusuk Clarissa. “Apa maksudmu? Kau menuduh aku?”
Clarissa menunduk, memainkan perannya dengan piawai. “Bukan begitu Tante, aku hanya… aku tidak ingin kesalahpahaman terjadi antara aku dan Sean."
Clarissa menatap Sean lekat, mencoba menarik perhatiannya dengan gerakan tubuhnya yang manja dan memikat. “Aku bersumpah, aku tidak pernah melukai Ariana bahkan niat pun tidak Sean.”
Sean mengangkat tangannya, menghentikan perdebatan. “Cukup! Aku tidak peduli siapa pelakunya diantara kalian. Tapi yang pasti, siapa pun pelakunya aku akan membuatnya memohon untuk sebuah kematian, bahkan jika itu Mama.”
Florence berdiri, wajahnya merah padam. “Kau berani melawan ibumu sendiri?! Kau lupa dari mana kau berasal?!”
Sean menatapnya lurus. “Silakan Mama!Keluarkan aku dari Montgomery jika itu yang Mama inginkan.”
Florence membeku ia tidak pernah menduga Sean akan berkata setega itu.
Clarissa menggertakkan gigi, hatinya terbakar. Semua permainan liciknya seolah tidak ada artinya di hadapan tatapan Sean yang dingin.
Sean berdiri, menekan telapak tangannya ke meja hingga terdengar dentuman. “Satu pesan terakhir. Aku tidak suka diatur, aku tidak suka dipaksa dan aku tidak suka ditipu. Ingat itu baik-baik.”
Sean meninggalkan dua orang itu dengan pemikirannya sendiri. Florence terengah karna menahan emosi. Ini tidak masuk akal, aku sama sekali tidak menyentuh wanita sial itu.
“Tante, maaf…”
“Tutup mulutmu!” Florence berdiri cepat lalu meninggalkan ruangan.
Meninggalkan Clarissa yang pucat, getaran di tangannya tidak bisa disembunyikan lagi.
Ia harus segera menemui pembunuh itu untuk menutup mulutnya. Kalau tidak, maka ia yang akan mati.
Ruang rapat eksekutif Montgomery Corp malam itu diselimuti keheningan yang lebih menyerupai upacara kematian ketimbang pertemuan bisnis. Meja panjang dari kayu mahoni, berlapis pernis mengilap, membentang seperti panggung kekuasaan. Di atasnya berderet map kulit hitam, pena Montblanc, dan gelas kristal berisi air yang tak seorang pun berani sentuh. Masin-masing orang menjaga gerak-gerik tubuh sesuai etika kalangan atas.
Florence Montgomery duduk di ujung meja, kursi tinggi bersandaran ukir yang menyerupai singgasana. Rambutnya tersanggul anggun, lehernya dihiasi kalung mutiara tiga lapis, tatapannya menyapu para direktur satu demi satu. Tidak ada senyum di wajahnya, hanya ketegasan aristokrat yang membuat udara di ruangan itu menegang.
“Terimakasih atas kehadiran tuan-tuan semua,” ucapnya lembut namun penuh tekanan, “kita berada pada titik krusial dalam sejarah perusahaan. Montgomery Corp adalah kerajaan, dan kerajaan ini tak boleh runtuh hanya karena… emosi pribadi seseorang.”
Beberapa direktur saling pandang. Mereka tahu siapa “seseorang” yang dimaksud.
Florence mengetukkan jari rampingnya ke meja. “Putra saya, Sean telah berulang kali mengambil keputusan di luar kendali keluarga. Ia membawa nama besar Montgomery, tetapi melangkah sesuka hatinya. Apakah kalian percaya masa depan perusahaan bisa aman di tangan seorang pria yang tidak lagi tahu di mana loyalitasnya?”
Bisik-bisik kecil terdengar. Seorang direktur mencoba menahan napas gugup, seorang lainnya menggeser kacamata.
Pintu besi ganda tiba-tiba terbuka. Orang yang sedang mereka bicarakan baru saja datang.
clarissa jangan bersaing dengan upik abu, carilah saingan yang seimbang /CoolGuy/